Jumat, 16 Oktober 2015

Memutus Peristiwa 65 dengan Skema 1-5-1; Rekonstruksi Cara Pandang Gus Dur

Memutus Peristiwa 65 dengan Skema 1-5-1; Rekonstruksi Cara Pandang Gus Dur

Aan Anshori  ;  Koordinator Jaringan Islam AntiDiskriminasi (JIAD) Jawa Timur; Sekretaris Lembaga Penyuluhan & Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Jombang;
Mengisi beberapa kali Kelas Pemikiran Gus Dur
                                                INDOPROGRESS, 05 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SUDAH beberapa tahun ini, Jaringan GUSDURian memobilisasi kampanye hari Perdamaian Internasional. Aksi yang selalu dihelat setiap tgl 21 September ini biasanya serentak dilakukan di berbagai kota dengan mengambil momentum persoalan lokal. Khusus tahun ini, tagline yang diusung mengambil salah satu kutipan masyhur alm. Gus Dur; Perdamaian tanpa Keadilan adalah ilusi. Bapak pluralisme yang wafat 6 tahun lalu itu agaknya cukup menyadari; di tangan mayoritas despotik seperti Indonesia, perdamaian tidak selamanya linier dengan keadilan.

Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian menegaskan perdamaian hanya bisa tegak ketika tidak ada pihak yang dipaksa dan ditindas untuk diam menerima kenyataan yang tidak adil bagi mereka.[1] Pada September-Oktober, jargon ini terasa mencakar kembali ingatan kita terhadap luka lama yang kebusukannya telah tertimbun hampir 50 tahun. Maka, menjadi relevan mengajukan pertanyaan serius; bagaimana Gus Dur –tokoh sentral Jaringan GUSDURian- menerapkan konstruksi penyelesaian atas Kejahatan kelam ini?

Semua bermula dari konflik internal di tubuh AD yang merenggut nyawa 10 perwiranya pada 1 Oktober 1965. Kudeta gagal yang menyalak di Jakarta dan Jogjakarta berdampak sangat mengerikan. Betapa tidak, Suharto yang saat itu berpangkat mayor jendral, mengomandani gerakan penumpasan hampir seluruh anggota PKI dan orang yang dituduh PKI. Bagi dia, partai ini dianggap dalang, sehingga penumpasan merupakan upaya pantas sebagai ganjarannya.

Problem terbesar Peristiwa 65 terletak pada banyaknya jumlah korban yang dibantai saat itu. Ratusan ribu orang – bahkan hingga jutaan sebagaimana pengakuan Sarwo Edhi Wibowo[2]– dibunuhi dengan berbagai cara yang sadis. Perkaranya sepele: hanya karena mereka dituduh PKI. Selain pemerkosaan, penyiksaan, perampasan harta benda, perbudakan serta pengasingan, yang semua itu dilakukan tanpa melalui pengadilan, yang jahat dari Peristiwa ini adalah digunakannya kekuatan sipil oleh militer untuk juga ikut berkubang dalam lumuran darah pembantaian.

Secara cerdik, militer melibatkan sipil dengan memanfaatkan sentimen perbedaan ideologi politik, dan stigmatisasi identitas. Provokasi militer terhadap sipil -dengan dukungan Amerika Serikat – mengambil berbagai macam bentuk. Jika sipil tak mempan lagi dengan bujuk-rayu dan provokasi, militer tak segan menggunakan taktik ‘to kill or to be killed‘. Taktik ini sangat ampuh dan represif. Orang dipaksa membunuh Tertuduh-PKI. Jika menolak, dirinya yang justru akan dibunuh –oleh militer- karena dianggap PKI[3].

1-5-1 Jalan Keadilan 65

Hingga kini, ribuan Tertuduh PKI masih hidup seperti warganegara kelas tiga. Masih sangat banyak dari mereka menjalani hidup dengan menanggung beban diskriminasi dan stigmatisasi yang luar biasa. Suasana damai seperti saat ini tak ubahnya seperti sekuel film American Beauty; terlihat harmonis di permukaan namun sejatinya remuk-redam didalamnya. Potretnya cukup jelas, perdamaian tanpa keadilan. Karib saya hingga saat ini masih mencari jasad kakeknya yang ikut dibinasakan tahun itu. Ibu bapaknya sempat ‘menikmati’ penjara dan dibuang ke Pulau Buru. Orang-orang seperti karib saya ini dipaksa menerima keadaan represif seperti ini. Setiap upayanya menuntut keadilan selalu dicurigai sebagai ikhtiar menghidupkan kembali PKI.

Perdamaian ilusif Peristiwa 65 nampak jelas disadari oleh Gus Dur. Dalam penyelesaian Peristiwa 65, Presiden RI keempat ini tercatat sebagai satu-satunya figur sentral -yang dianggap merepresentasi keterlibatan kelompok milisia sipil saat itu- yang paling konsisten menyuarakan pembelaannya pada Tertuduh-PKI. Secara umum, Gus Dur mengerangkai sikap dan lakunya dalam format 1-5-1 dengan basis justifikasi-quranik yang ketat. Poros utama dari konstruksinya adalah keadilan. Lima lainnya yakni menolak apriori, menemukan kebenaran, bersikap ksatria, reparasi Korban, berani berani berani. Dan, satu yang terakhir adalah perjuangan sebagai pelaksanaan kata-kata.

Keadilan

Tidak ada yang lebih menonjol dari gagasan Gus Dur selain keadilan itu sendiri. Baginya, konstitusi telah memberikan kewajiban pada Negera dan warganya untuk bersikap adil pada semua golongan, tanpa terkecuali. Segeram apapun Gus Dur atas praktek kekerasan yang kerap dipertontonkan FPI, misalnya, dirinya tidak setuju organisasi ini dibubarkan secara sepihak. Kebebasan berserikat adalah hak mendasar yang tidak boleh dirampas siapapun.

Saat menjabat Presiden, seorang kiai pernah menasehatinya agar tidak buru-buru bersikap mengenai PKI dan komunisme. Namun Gus Dur menyatakan negara terikat dengan asas demokrasi yang tidak mengenal perbedaan perlakuan antara komunis dan tidak-komunis. Dia mengunci sikapnya dengan mengatakan “bila ada yang tidak setuju, silahkan mendidik rakyat agar tak tertarik pada komunisme. Bukan dengan memanfaatkan pemerintah (untuk melarang komunisme)’[4].

Cucu hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini nampaknya mempunyai kesadaran penuh bahwa keadilan adalah perintah utama ilahiyyah bagi setiap muslim, sebagamana tercantum dalam QS. Al-A’raaf (7):29.


قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ

“Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”

Menolak Apriori

Hambatan terbesar penyelesaian 65 terletak pada kuatnya stigma yang terus dilanggengkan melalui banyak jalur. Kuasa pengetahuan yang ditopang oleh struktur pemerintahan, organisasi keagamaan dan masyarakat serta imperialisme-kapitalistik, seringkali menjebak akal publik hilang kewarasannya. Apriori menjadi rabuk suburnya kebencian terhadap apapun yang berkaitan dengan PKI atau G30S.

Kebencian tersebut pada fase lanjutan seringkali menyebabkan seseorang berlaku tidak adil. Gus Dur memilih tetap berpikir waras. Dia tidak mengizinkan kecamuk kebencian menghalanginya bertindak adil. “….tetapi, membuat Tap MPRS (XXV/1966) itu keliru mengenai tadi itu, tentang hak hukum seseorang. Karena itu, saya minta TAP ini dicabut, bukan mencabut soal politiknya, tetapi jangan sampai hak hukum orang kita langgar karena kita jengkel”.[5] Bapak dari Alissa, Yenny, Anita dan Inayah ini nampaknya berkehendak agar tiap orang memikirkan lebih serius QS. al-Maidah (5):8.


وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kemanusiaan bagi Gus Dur merupakan poros penting dalam pembelaannya bagi yang Tertindas. Saat memberi sambutan pada haul keempat Gus Dur di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret Yogyakarta, KH Mustofa Bisri menyatakan bahwa almarhum Gus Dur menganggap orang komunis sebagai sesama manusia, bukannya orang-orang kafir[6]. Konfirmasi ini sekaligus menantang klaim banyak pihak yang kerap menjadikan kekafiran/ateis sebagai basis pemusnahan Tertuduh-PKI.

Menemukan kebenaran

Upaya menyelesaikan Peristiwa 65 tidak mungkin dilalui tanpa menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Terutama, untuk menjawab siapa yang bersalah dalam kekejaman setara Holocaust tersebut. Militer dan kekuatan rival PKI berkilah praktek kekerasan itu merupakan kewajiban untuk mempertahankan NKRI. Klaim suasana perang disuguhkan sebagai justifikasinya. Namun tidak demikian halnya bagi para penggiat HAM dan para Tertuduh-PKI. Negara dituding aktif mensponsori praktek kekerasan, yang oleh karenanya punya kewajiban mempertanggungjawabkan.

Gus Dur berpandangan, perbedaan pendapat ini harus diputus oleh pengadilan. Hanya melalui mekanisme ini dapat terlihat apakah terbunuhnya jutaan Korban 65 –dan bentuk penindasan lainnya- dapat dibenarkan secara hukum. Pengadilan, baginya, merupakan medium tepat untuk memutus persengketaan menyangkut siapa yang bersalah dalam Peristiwa itu. “Belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi.”[7] Segamblang apapun pembelaan Gus Dur menyangkut Korban 65, suami Sinta Nuriyah ini tetap menjadikan hukum sebagai panglima. Sikapnya lurus segaris dengan firman Allah QS. al-Maidah (5):42.


وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

 “Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30S dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. “Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar“. Dia menyetujui gagasan tentang peninjauan kembali sejarah seputar Peristiwa 65. Demi mewujudkan rekonsiliasi nasional, misteri kelam Peristiwa ini harus disingkap kembali.[8]

Bersikap Ksatria

Pandangan Gus Dur menyerahkan sengketa 65 ke pengadilan bukanlah hal yang mudah. Jika kotak pandora 65-66 dibuka, bisa dipastikan keterlibatan puluhan kelompok militan sipil yang tergabung dalam KAP Gestapu akan terkuak. Pada umumnya, tidak ada seorang pun rela aib keluarganya dibuka dan menjadi perbincangan publik. Gus Dur bisa jadi bercanda saat mengatakan soal pengadilan, namun dia tidak pernah meralat sikap tersebut sampai dirinya meninggal dunia. Dia berpandangan salah adalah salah, benar adalah benar, tanpa mempedulikan siapa dan kapan. “Saya minta TAP ini dicabut, bukan mencabut soal politiknya, tetapi jangan sampai hak hukum orang kita langgar karena kita jengkel. Itu bukan seorang muslim. Seorang muslim yang benar, apa pun -senang atau tidak senang- kebenaran adalah kebenaran. Nah di sini yang penting, kenapa saya ngotot“.[9]

Sikap ksatria ini agaknya mengingatkan kita pada cerita populer dari Aisyah RA yang terbakukan dalam Sahih Bukhari-Muslim.[10] Di dua kitab tersebut, Usamah diceritakan pernah melobi Nabi Muhammad agar memberi keringanan pidana pencurian yang dilakukan seorang perempuan Bani Makhzumiyyah.[11] Suami Aisyah itu dengan lantang menjawab; wa aymu allohi law anna fathimatan binta muhammadin syaraqat laqata’tu yadaha (Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad (putrinya sendiri) mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya).

Gus Dur tampaknya menyadari bahwa posisi politiknya -baik sebagai pemimpin negara maupun patron organisasi Islam terbesar di Indonesia, tidak akan diuntungkan dengan pilihan ini. Malahan justru sebaliknya, kolega Gus Dur di NU hampir semuanya menyatakan ketidaksetujuan mereka. Namun demikian, Gus Dur meyakini konstitusi mengharuskannya bersikap adil, bahkan terhadap ‘tubuhnya’ sendiri. Ketegasan sikap menghadapi dilema semacam ini telah disinggung dalam QS. al-Nisa’ (4):135.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar- benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (tergugat/terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Keksatriaan Gus Dur juga jelas tercermin pada saat hampir semua pemimpin ormas, parpol dan elite militer memilih diam dan bahkan tidak sedikit yang defensif saat disinggung keterlibatan institusi mereka pada Peristiwa 65. Di hadapan kamera TVRI yang disiarkan langsung dari halaman istana, Dia membuat pengakuan yang mengagetkan banyak pihak. “ Dan, maaf ya, hal semacam itu terjadi, justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU. Padahal saya Ketua NU, untungnya setelah itu (setelah peristiwa G30S terjadi-Red). Saya nggak pernah nutup-nutupi, memang begitu kok,” katanya.

Sikap ksatria Gus Dur bermakna tiga hal; mengakui keterlibatan ‘tubuhnya’ dalam Peristiwa 65, menunjukkan penyesalan mendalam dan permintaan maaf atas hal itu, serta mendorong upaya pencarian kebenaran melalui jalur hukum. (4:135)

Reparasi Korban

Gagasan ini bermakna semua pihak, terutama Negara, perlu secara konsisten melakukan pemulihan atas apa yang seharusnya diterima Korban; rehabilitasi nama baik, pemberian kompensasi, serta pemulihan seluruh hak-hak Korban yang telah terenggut puluhan tahun. Semasa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid telah mulai meretas hal ini. Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional atau kerap disingkat Bakorstanas, institusi jelmaan Kopkamtib yang setara dengan Tuhan, dibubarkan[12]. Wahid juga menemui para eksil di luar negeri, meminta mereka pulang kembali jika berkenan.

Poinnya, keadilan restoratif bagi Korban merupakan upaya penting selain menghukum para pelaku. Dalam al-Quran, keadilan semacam ini mempunyai basis tekstual yang kokoh. Setidak terdapat dua ayat penting yang mendasari hal ini, yakni QS. al-Baqarah (2): 178 serta QS. al-Nisa’(4):92.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”



وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”



gdIlustrasi gambar oleh Andreas Iswinarto

Berani Berani dan Berani

Dalam sebuah forum simposium, KH. Mustofa Bisri, karib Gus Dur sejak di Baghdad hingga akhir hayat, dikabarkan pernah mendaku dirinya adalah Gus Dur, minus satu hal; keberanian. Selama periode singkatnya sebagai presiden, keberanian Gus Dur ditunjukkan dengan kebijakannya mempretheli kedigdayaan militer dalam kancah politik nasional. Supremasi sipil diwujudkan, salah satunya dengan cara mengisi pos menteri pertahanan bukan dari kalangan militer. Sebuah hal yang penuh resiko karena jelas mengusik eksistensi politik militer.

Gebrakan beraninya dalam memperjuangkan penuntasan Peristiwa 65 selama di kepresidenan, ditandai dengan empat kebijakan penting; mengijinkan pengasingan politik untuk pulang dan mendapatkan kewarganegaraannya kembali jika berkehendak, membubarkan Bakorstanas, meminta maaf kepada Korban 65, dan mengajukan pencabutan Tap MPRS XXV/1966.

Jika Mandela gigih memperjuangkan runtuhnya rezim apartheid karena dia -sangat mungkin- merasa bagian dari Korban, Gus Dur melampaui itu. Putera sulung KH. Wahid Hasyim ini tidak mewarisi identitas sebagai korban. Justru sebaliknya, dia lahir dari keluarga pesantren terkemuka yang -kurang lebih- memiliki sikap berseberangan menyangkut Peristiwa 65 dan paham komunisme. Gus Dur –sebagaimana diakui Yenny Wahid- bukanlah seorang politisi yang “baik” di mana selalu ada ruang berkompromi. Dalam menyelesaikan Peristiwa 65, Gus Dur tidak mengenal kompromi. Baginya, jika sudah menyangkut hal yang paling fundamental, yakni penegakan hak asasi manusia, maka siapapun harus berani.[13]

KH. Mustofa Bisri juga pernah testimoni, “Ada kiai sepuh yang bilang, Gus Dur tetap dianggap keramat hingga selepas meninggal karena mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan kiai mana pun,”. Kiai sepuh itu – lanjut Gus Mus- mencontohkan keberanian Gus Dur melawan arus besar di Nahdlatul Ulama dengan menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Sikap, yang diikuti dengan usulan Gus Dur untuk pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, itu menurut Gus Mus menunjukkan karakter Gus Dur yang mampu meminta maaf sekaligus memaafkan dalam urusan politik yang sensitif.[14]

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Idiom ini mengingatkan siapa saja agar berkomitmen sekuat tenaga merealisasikan apa yang diyakini sebagai kebenaran, apapun resikonya. Nampak jelas terdapat dua pijakan tekstual penting akan laku Abdurrahman Wahid dalam aspek ini. Pertama, QS. 61:2-3 yang berisi sindiran pedas Tuhan kepada manusia yang tidak melakukan apa yang telah dia ucapkan. Tindakan tersebut berstatus sebagai kebencian yang sangat besar.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ || كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? | Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Cukup banyak pemimpin negeri ini yang berpandangan TAP MPRS XXV/1966 bersifat diskriminatif, termasuk Gus Dur sendiri. Bedanya, tidak sedikit di antara mereka memilih diam karena satu dan banyak sebab. Sedangkan Gus Dur, menapaki jalan terjal tidak populer dengan mengusulkan pencabutan regulasi tersebut secara resmi meski akhirnya ditolak MPR. “Di samping itu, saya hanya mengajukannya (kepada MPR). MPR-lah yang berhak untuk mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Jika MPR menolaknya, maka itu adalah tanggung jawab MPR itu sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab saya. Setelah klarifikasi ini, saya akan berhenti berbicara tentang gagasan ini.”[15]

Kedua, Gus Dur menjadikan QS.16:125 sebagai tata laksana dakwahnya.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[16] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Mandat ayat tersebut sangat jelas; menyeru kebaikan dengan hikmah (wisdom) dan perkataan yang baik serta berdebat dengan cara-cara terhormat dan beradab. Gus Dur tidak pernah memaksakan kehendaknya dengan cara yang eksesif, apalagi menggunakan pendekatan militeristik. Bagi Gus Dur perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah dalam demokrasi.

Salah satu kekuatan Gus Dur dalam memperjuangkan keadilan Peristiwa 65 terletak pada kegigihannya melakukan silaturahmi ke semua pihak. Menit awal pasca terpilih sebagai Presiden, GD berangkat ke Cendana mengunjungi Soeharto – sosok penting yang kerap dituding sebagai dalang Peristiwa 65. Gus Dur juga mengundang Pramoedya Ananta Toer ke Istana Negara. Gus Dur sama sekali tidak peduli meski Pram mengkritik pedas pemaafannya. Namun kritik Pram justru dibalas Presiden Wahid dengan indah; dia mengajak Inayah ‘sowan’ ke rumah Pram di kawasan Utan Kayu. Saat disinggung mengenai sikap Pram soal maafnya, Gus Dur menjawab dengan santai, ‘Kritik begitu boleh-boleh saja, itu kan pendapat pribadinya Pak Pram‘.[17]

Epilog

Dalam Kompas 13 Maret 2006, Salahuddin Wahid menyatakan kita tanpa kecuali, telah melakukan kesalahan besar sebagai bangsa di masa lalu dan harus belajar dari kesalahan itu untuk tidak mengulanginya di masa depan. Gus Dur barangkali belum berhasil menyelesaikan kewajibannya sebagai presiden dalam Kejahatan 65. Regulasi-momok berbentuk TAP MPRS XXV/1966 masih bercokol laksana duri dalam konstitusi. Namun demikian, melalui formasi 1-5-1 Presiden Wahid tidak hanya berhasil melakukan terobosan pendidikan politik kewarganegaraan. Lebih jauh, dia telah mewariskan idealitas penyelesaian Kejahatan 1965; sebuah pekerjaan berat bagi siapapun yang mendaku sebagai penerus perjuangannya.

—————-
[1] Pesan JGD di Hari Perdamaian Dunia, 19 September 2015, http://gusdurian.net
[2] Ramadhian Fadlillah, Sarwo Edhie: Jangan Berikan leher Kalian Gratis pada PKI, 1 Oktober 2013, http://merdeka.com
[3] Salahuddin Wahid, KOMPAS, 29 September 2015
[4] Portal Tajuk.com, Gerakan Balas Dendam PKI?, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/24/0024.html
[5] Kompas, 1 April 2000
[6] Addi Mawahibun Idhom, Gus Mus: Bagi Gus Dur, Orang Komunis Bukan Kafir, http://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/17/078538186/gus-mus-bagi-gus-dur-orang-komunis-bukan-kafir
[7] Kompas, 15 Maret 2000
[8] Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan, ELSAM, 2004.
[9] Kompas, 1 April 2000
[10] Sahih Bukhari Vol.8, Book 81, Number 778, http://www.usc.edu/org/cmje/religious-texts/hadith/bukhari/081-sbt.php#008.081.779 Sahih Muslim Book 17, Number 4190, http://www.usc.edu/org/cmje/religious-texts/hadith/muslim/017-smt.php#017.4190
[11] Suku terpandang yang mempunyai peran politik signifikan di Mekkah pra islam, lihat M.Hinds, al-Makhzumi, dalam C.E. Bosworth, The Encyclopaedia of Islam, volume VI, Leiden, 1991
[12] Marsilam Simanjutak juru bicara Presiden Wahid mengatakan keputusan ini bertujuan membangun sebuah asumsi yang baik terhadap setiap orang. Bagi Gus Dur mengatakan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan terbukti bersalah, dan bahwa tak satu pun dinyatakan sebagi ancaman sebelum hal tersebut muncul dan dideteksi oleh lembaga intelijen negara, lihat Budiawan, 2004, dan Kompas, 9 Maret 2000.
[13] Dalam sajak yang dibacakan Yenny Wahid pada acara Mata Najwa episode “Belajar dari Gus Dur’, dia mensimbolkan keberanian dengan burung rajawali, “Bapak mungkin akan senang karena teman Bapak, Buya Syafi’i Maarif memberi nasehat kepada presiden Jokowi agar jadi rajawali”.
[14] Addi Mawahibun Idhom, opcit.
[15] Kompas, 30 Mei 2000
[16] Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil, lihat Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama.
[17] Kompas, 3 Mei 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar