Minggu, 18 Oktober 2015

Mewaspadai Politik Tenaga Kerja bagi Perlindungan TKI

Mewaspadai Politik Tenaga Kerja

bagi Perlindungan TKI

Chasib  ;  Tenaga Profesional Bidang Strategi Lemhannas RI
                                             MEDIA INDONESIA, 15 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SELALU didengungkan bahwa tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri ialah pahlawan karena memasok devisa negara. Keberhasilan mereka tidak dapat dimungkiri, tetapi di balik keberhasilan itu terselubung penderitaan TKI, yang selalu berulang dan menurunkan harga diri bangsa. Penyelesaian persoalan tidak pernah tuntas dan cenderung bersifat sesaat agar pengadaan tenaga kerja terus berlanjut yang menguntungkan lembaga atau perusahaan hingga pengguna tenaga kerja di negara tertentu.

Belum hilang dari ingatan, peristiwa tenggelamnya kapal calon TKI ilegal di perairan Malaysia pada 1992 yang menewaskan 155 penumpang, dua hari sebelum kunjungan Presiden RI. Suguhan berita duka atas tindakan ilegal tersebut betul-betul meluluhkan diplomasi dan perkuatan posisi tawar Indonesia. 

Beberapa bulan lalu, kejadian yang seharusnya tidak perlu terjadi, berulang dan menewaskan lebih dari 50 calon TKI. Belajar dari pengalaman dan menghadapi serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia, seharusnya politik tenaga kerja perlu diketahui motif dan rancangan jangka panjangnya agar tidak merugikan TKI. Sesungguhnya sejauh mana keikutsertaan negara mengatasi permasalahan TKI?

Memahami politik tenaga kerja negara lain selayaknya dilakukan guna mengantisipasi risiko dan menjaga harga diri bangsa. Permasalahannya ialah bagaimana memahami politik tenaga kerja negara penerima TKI dan menerapkan strategi memasok tenaga kerja yang berdaya saing?

Sudah sepatutnya politik tenaga kerja yang diterapkan negara lain dievaluasi. Spekulasi penempatan tenaga kerja berlangsung sederhana apa adanya karena beranggapan negara penerima tidak menentukan parameter yang pasti. Di samping untuk menekan pengeluaran anggaran yang besar, keberadaan TKI diperlakukan pada ruang tak terkendali yang dikuasai majikan.

Politik tenaga kerja diterapkan dari level kebijakan sampai pada level bawah pengguna individu di rumah tangga. Pemasok TKI sulit mengontrol varian pekerjaan yang luas karena akses tertutup dan keterbatasan kemampuan pengelola tenaga kerja. Sampai di mana Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mampu melakukan kontrol terhadap TKI yang tersebar secara individu dengan sistem kerja yang tidak jelas?

Pendataan menjadi andalan, sementara akurasinya tergantung update yang dilakukan oleh TKI. Namun, tidak semua TKI memiliki peluang untuk memberi informasi karena sarana dan waktu serta tempat pelaporan yang tidak bisa dihubungi. Keberhasilan TKI di luar negeri umumnya dicapai oleh me reka yang bekerja pada perusahaan atau instansi yang sistem kerjanya sudah jelas. 

Jumlah tenaga kerja semacam ini tidak banyak karena tidak memberi keuntungan besar bagi pengguna. Secara legal, perusahaan harus memberi asuransi dan membayar pajak serta pemenuhan regulasi lain yang menghabiskan anggaran besar. Dengan menggunakan tenaga kerja ilegal atau legal, tetapi di bawah kendali majikan, pengguna dapat menghemat anggaran sampai dengan 40% per tahun.

Keuntungan sepihak

Dengan tidak memberi jaminan asuransi dan kewajiban biaya bagi tenaga kerja, pengguna mendapat keuntungan lain seperti pemutusan hubungan kerja secara sepihak, penahanan paspor dan lain-lain. Pada posisi lemah, TKI mendapat intimidasi untuk keperluan perusahaan seperti bekerja melebihi waktu kerja.Bagaimana menyikapi kondisi yang dari tahun ke tahun berlangsung, tetapi tidak memberi perbaikan berarti secara fundamental? Adakah kemauan politik tenaga kerja yang didukung lembaga terkait? Diperlukan komitmen kuat dari berbagai komponen bangsa sehingga masyarakat memiliki peran dalam memutus siklus pengiriman TKI ilegal.

Tenaga kerja ilegal merusak sistem penyediaan tenaga kerja seka ligus menurunkan martabat bangsa dan merusak pasar. Pengembalian dengan dasar ilegal membuat TKI tidak berkutik dan harus pasrah menerima nasib akibat kehendak majikan. Dari kasus tersebut terlihat bahwa pemerintah belum memiliki counter politik tenaga kerja negara pengguna TKI, di samping tidak memilik konsep antisipasi sebagai tangkal dini adanya penyimpangan. Pelecehan terhadap tenaga kerja tak ubahnya pelecehan kepada negara. Hilangnya kepekaan atas penurunan nilai bangsa tidak lagi dirasakan oleh pengelola.

Selama 2014, TKI yang menjadi korban di Malaysia mencapai 374 orang dari kurang lebih 75 ribu TKI, belum lagi yang tidak tercatat termasuk di negara lain.Data BNP2TKI mencatat dari jumlah 212.579 TKI, 95.274 orang di antaranya ilegal dengan 28 ribu TKI berpendidikan SD. Permasalahan klasik akan terus berlangsung khususnya bagi TKI ilegal.Haruskah kita membedakan perlakuan antara TKI ilegal dengan yang legal? TKI ilegal pun merupakan bagian kesalahan yang dilakukan oleh aparat pemerintah karena melalaikan pencegahan. Akankah kita membiarkan saudara-saudara kita dihargai murah untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup? Apakah kita rela melihat martabat bangsa direndahkan di tengah upaya menggelorakan nasionalisme dan daya saing bangsa yang tak henti¬hentinya kita suarakan?

Kita harus belajar dari peristiwa masa lalu dan melihat dengan mata hati sehingga mau menerima fakta jelek dan mengubah pembinaan. Kita jangan senang menerima laporan kesuksesan tanpa melihat ekses perlakukan yang diterima oleh TKI di negara mereka bekerja. Kita harus berani berhenti sejenak untuk menata dan membenahi persiapan sehingga dapat melakukan loncatan dalam penempatan dan perlindungan terhadap TKI.

Memahami politik tenaga kerja negara pengguna merupakan keharusan bagi semua pihak terkait agar mampu menyiapkan antisipasi yang memberikan perlindungan maksimal kepada TKI. Pengelola tenaga kerja hendaknya menyiapkan konsepsi yang sistematis dan terencana agar dapat meningkatkan daya saing TKI di luar negeri. Namun demikian, yang terpenting ialah kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan adanya calo atau majikan yang menjaring langsung calon TKI sehingga dapat mengurangi bahkan memutuskan mata rantai tersebut. Badan pengelola harus dapat memberikan perlindungan sejak awal sampai akhir kontrak kerja TKI. Dengan cara demikian, daya saing TKI akan semakin meningkat dan harkat serta martabat bangsa akan terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar