Senin, 26 Oktober 2015

Polisi

Polisi

James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 24 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selama kurun waktu tiga tahun, Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga yang paling banyak diadukan masyarakat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait dengan dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Selain bertindak sewenang- wenang, polisi juga dilaporkan lamban dalam menangani kasus.

”Pelanggaran HAM yang dilakukan biasanya berbanding lurus dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki sehingga merasa berhak melakukan itu. Saat Orde Baru, TNI (Tentara Nasional Indonesia) selalu menempati posisi tertinggi. Sekarang gantian kepolisian yang banyak diadukan,” ungkap komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswida, saat pemaparan analisis Laporan Pengaduan Masyarakat Periode 2012-2015 di ruang rapat pleno Komnas HAM, Jumat (16/10) (Kompas, 17/10, halaman 3).

Pertanyaannya, haruskah kita heran melihat laporan itu? Mestinya, sih, tidak!

Memang, pada 1 Juli 1999, menyusul berakhirnya era Orde Baru, Polri dipisahkan dari TNI. Pemisahan itu ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

Isi Tap MPR No VI/MPR/2000 antara lain, TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sementara Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Dalam hal terdapat ketertiban kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.

Adapun isi Tap MPR No VII/MPR/2000 antara lain, Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. Dan, anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum.

Dengan pemisahan Polri dari TNI, pada hakikatnya Polri menjadi lembaga sipil. Sebagai lembaga sipil, diharapkan wajah Polri semakin ramah dan bisa bersahabat dengan masyarakat. Namun, itu adalah harapan. Dalam kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir Polri merupakan lembaga yang paling banyak diadukan masyarakat ke Komnas HAM terkait dengan dugaan pelanggaran HAM.

Seperti jawaban atas pertanyaan di atas, mestinya kita tidak heran. Memisahkan Polri dari TNI tidak serta-merta membuat wajah Polri lebih ramah dan bisa bersahabat dengan masyarakat. Diperlukan usaha ekstra keras untuk dapat melakukan itu. Hingga kini sudah 14 tahun Polri berpisah dari TNI, tetapi wajah Polri masih tetap sama. Sama seperti masih bergabung dengan TNI dulu, dari tahun 1961 hingga tahun 2000.

Senjata

Persoalannya memang bukan pada bergabung atau berpisah dengan TNI, melainkan pada perilaku Polri itu sendiri. Memang, setelah berpisah dengan TNI, Polri menjadi lembaga sipil, dan sesuai Tap MPR No VII/MPR/2000, anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Namun, seperti TNI, walaupun Polri adalah lembaga sipil, secara sah diizinkan memegang senjata. Dengan memegang senjata, secara terbatas Polri pun memegang ”kekuasaan”.

Kita ingat kata-kata bijak Lord Acton (1834-1902), yakni, ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, yang artinya ”Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti disalahgunakan”. Persoalannya, siapa yang mengawasi institusi Polri.

Kegalauan ini pula yang menjadikan Jenderal George Washington (1732-1799) mengatakan, ”Orang-orang merdeka sebaiknya tidak hanya dipersenjatai dan didisiplinkan, tetapi mereka juga harus mempunyai senjata api dan amunisi yang memadai untuk mempertahankan status kemerdekaannya dari orang-orang yang mungkin mencoba untuk ’mengganggunya’, bahkan juga pemerintah mereka sendiri.”

Jenderal George Washington memimpin perang kemerdekaan Amerika Serikat dan kemudian mengundurkan diri dari militer, menjadi warga sipil, dan selanjutnya terpilih menjadi presiden pertama AS (1789-1797). Hal yang hampir sama dinyatakan presiden ketiga AS, Thomas Jefferson (1801-1809). Thomas Jefferson menyatakan, ”Orang merdeka tidak pernah boleh dilarang menggunakan senjata api.”

Secara selintas dengan mudah dapat dikatakan bahwa kedua presiden AS itu menyetujui penggunaan senjata api secara bebas. Namun, jika dibaca dengan saksama dan dikontekskan dengan situasi politik AS pada saat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh kedua presiden AS itu adalah kegalauan jika kemerdekaan rakyat itu dirampas oleh lembaga-lembaga yang memiliki senjata api.

Memang, kegalauan di AS itu muncul lebih dari 200 tahun yang lalu, tetapi kegalauan itu masih sangat relevan di negeri ini, pada saat ini. Harus ada lembaga di luar Polri yang dapat secara efektif mengawasi Polri agar pelanggaran HAM itu tidak terus terjadi.

Selama ini, pengawasan terhadap Polri dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun, kita tahu bahwa Kompolnas tidak berada dalam posisi untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap Polri. Kompolnas kurang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengawasi Polri. Kita tentunya belum melupakan bahwa salah seorang komisioner Kompolnas meminta maaf kepada Kepala Polri saat diperiksa oleh polisi karena bersikap kritis terhadap Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar