Sabtu, 24 Oktober 2015

Prioritaskan Investor Abaikan Koruptor

Prioritaskan Investor Abaikan Koruptor

Febri Hendri AA  ;  Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
                                                       KOMPAS, 23 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih memprioritaskan investor daripada membasmi koruptor. Mungkin inilah kalimat yang tepat menggambarkan upaya pemberantasan korupsi pada satu tahun pemerintahan baru ini.

Mendatangkan investor memang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Akan tetapi, apalah artinya pertumbuhan ekonomi jika kesejahteraan belum merata karena korupsi masih merajalela? 

Meski gigih mendatangkan investor, pemerintahan baru justru kedodoran dan belum menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan tegas dalam memberantas korupsi serta membangun pemerintahan demokratis dan bersih. Bahkan, pemerintah seakan- akan menyalahkan pemberantasan korupsi sebagai biang kegaduhan yang bisa membuat investor enggan datang.

Namun, pemerintahan baru telah berupaya membangun demokrasi dan memberantas korupsi dengan mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) dan memilih panitia seleksi calon pimpinan KPK. Sayang, secara keseluruhan pemerintah kehilangan momentum dan kesempatan dalam memperkuat demokrasi dan pemberantasan korupsi sesuai Nawacita dan janji kampanye 2014.

Beberapa momentum yang terlewatkan adalah, pertama, pembentukan anggota kabinet ramping sebagai titik tolak reformasi birokrasi agar lebih efektif, efisien, dan profesional dalam melayani rakyat. Akan tetapi, program besar ini justru bermasalah dengan politik. Cita-cita regulasi, kelembagaan, dan birokrat bersih berbenturan dengan kepentingan politik.

Maka, Presiden pun melantik "kabinet gendut" berjumlah 33. Sebagian besar anggota kabinet berasal dari kekuatan politik bisnis pendukung Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014. Hal ini memicu kontroversi pada rekrutmen terbuka pejabat eselon I dan II di kementerian atau lembaga.

Kedua, pemilihan Kepala Polri, Jaksa Agung, pemimpin KPK, serta konflik KPK versus Polri. Pemilihan ketiga pimpinan penegak hukum merupakan hal sangat penting dan strategis dalam konteks pemberantasan korupsi. Penindakan korupsi akan sulit berhasil jika masing-masing pemimpin tertinggi penegakan hukum tersangkut kasus korupsi, memiliki kepentingan politik, dan berupaya melemahkan salah satu institusi penegak hukum. Selama itu pula, perseteruan KPK dan penegak hukum lain hampir pasti akan terjadi.

Presiden sebagai kepala negara seharusnya menjadikan momentum konflik ini untuk mendorong perubahan terutama pada penegak hukum yang belum bersih dari korupsi. Reformasi birokasi di internal penegak hukum, transparansi serta akuntabilitas penindakan merupakan syarat mutlak. Namun, Jokowi-Kalla tampaknya memandang hal ini bukan akar masalah.

Perkembangan terakhir terkait penindakan korupsi adalah penetapan tersangka Sekretaris Jenderal Partai Nasdem terkait kasus suap hakim PTUN Medan. Kasus ini telah memicu spekulasi publik bahwa ada intervensi atas penetapan tersangka kasus dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Inilah salah satu bentuk kerawanan jika kader parpol menduduki jabatan tertinggi lembaga penegak hukum. Tidak hanya itu, penegakan hukum kasus korupsi juga bisa menjadi instrumen politik memperluas pengaruh partainya.

Ketiga, pemerintahan baru seharusnya menangkis isu revisi UU KPK yang bergulir di DPR dengan memperkuat KPK. Jokowi pernah berjanji pada kampanye pilpres akan memperkuat KPK melalui peningkatan anggaran dan penambahan penyidik berkali lipat. Janji tersebut sampai kini belum terealisasi. Pemerintahan justru menunda agenda revisi UU KPK dengan alasan memfokuskan penanganan ekonomi. Tidak ada kata tegas dari Presiden bahwa UU KPK belum saatnya direvisi.

Keempat, pemerintahan melonggarkan remisi bagi koruptor dengan alasan whistle blower dan justice collaborator. Remisi bagi koruptor harusnya diperketat agar dapat memberi efek jera bagi koruptor maupun pihak lain yang rawan melakukan korupsi. Akan tetapi, pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM justru menerbitkan remisi bagi narapidana kasus korupsi pada Agustus 2015.

Presiden harusnya tetap pada prinsip bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan pelakunya tidak mendapatkan keistimewaan sedikit pun dalam hukum atau sanksi. Dengan demikian, remisi koruptor seharusnya sangat ketat, utamakan pada narapidana yang bekerja sama membongkar kasus korupsi.

Kelima, belum ada pendidikan rakyat yang masih mengisi demokrasi dan menggerakkan rakyat dalam memberantas korupsi. Pemerintahan baru seharusnya dapat menggunakan momen kemenangan pilpres dalam memobilisir kekuatan rakyat untuk memperkuat demokrasi dan memberantas korupsi.

Sayangnya, momen ini belum dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, pemerintahan Jokowi-Kalla justru dicemarkan oleh pembentukan situs revolusi mental yang pembuatannya berlawanan dengan semangat revolusi mental itu. Situs ini diduga menyontek karena memiliki banyak kemiripan dengan situs Obama. Situs yang memakan biaya miliaran rupiah dan didanai APBN ini justru dikritik publik karena dananya jauh lebih kecil dari dana yang telah dihabiskan membangun situs tersebut.

Harapan

Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah kelesuan ekonomi global. Akan tetapi, hal ini jangan menjadi dasar untuk mengabaikan gerakan anti korupsi dan penguatan demokrasi. Sebaliknya, penguatan ekonomi justru akan terjadi bersamaan dengan penguatan demokrasi dan mendorong pemerintahan bersih dari korupsi.

Pembelajaran dari rezim Orde Baru telah membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa demokrasi akan menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kekuatan elite dan kelompok bisnis. Oleh karena itu, mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan demokrasi dan pemberantasan korupsi justru akan memperkuat relasi politik-bisnis para elite dan tidak memberdayakan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Dalam debat Capres-Cawapres Pilpres 2014, Jokowi menyatakan "Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya. Oleh sebab itu, kenapa kami datang ke kampung-kampung, datang ke pasar-pasar, datang ke bantaran sungai, datang ke petani, datang ke pelelangan ikan, karena kami ingin mendengar suara rakyat."

Pernyataan ini cukup tepat dalam konteks Indonesia saat ini di mana demokrasi tidak lagi berpihak kepada rakyat. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengonsolidasikan kekuatan rakyat untuk melawan pembajakan demokrasi. Sebagai pemimpin Jokowi-Kalla juga harus di garis depan dalam menggalang kekuatan rakyat untuk membangun demokrasi dan pemberantasan korupsi. Masih ada empat tahun untuk perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar