Jumat, 16 Oktober 2015

Pro-Kontra Impor Beras

Pro-Kontra Impor Beras

Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
                                                    REPUBLIKA, 03 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah media menyodorkan pertanyaan seragam kepada saya: Perlukah Indonesia impor beras? Pertanyaan ini muncul bukan saja didasari atas kekhawatiran stok atau cadangan beras tidak aman pada akhir tahun karena dampak El Nino.

Lebih dari itu, ada kondisi logis yang membuat media--sebagai wakil dari khalayak umum-- mempertanyakan perlu-tidaknya impor beras; sikap berbeda dua pucuk pimpinan Republik, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK membuka peluang impor beras tahun ini. Besarnya, sekitar 1,5 juta ton. Sebaliknya, Jokowi menegaskan, Indonesia tidak gegabah memutuskan impor beras. Dampak El Nino terhadap produksi beras masih dihitung. Jokowi bahkan memastikan stok pangan aman.

Bagaimana menjelaskan dua sikap yang bertolak belakang itu? Sikap Wapres JK mesti dimaknai sebagai sikap objektif atas realitas penyerapan gabah/beras oleh Bulog sekaligus cerminan kondisi mutakhir cadangan beras pemerintah. Menurut Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu, stok beras Bulog saat ini 1,8 juta ton, terdiri atas beras sejahtera (dulu raskin) 1,1 juta ton dan 0,7 juta ton beras premium. Menurut Wahyu, stok itu cukup hingga enam bulan mendatang (Kompas, 29/9). Stok itu tidak aman. Karena itu, setiap saat rentan digoyang oleh aksi spekulasi.

Sebaliknya, sikap Presiden Jokowi harus dibaca dalam konteks keberpihakan terhadap petani dalam negeri. Sebagai pucuk pimpinan negeri ini, tentu Presiden harus berpihak kepada petani domestik. Sikap sebaliknya hanya akan berbuah kecaman. Nawacita yang menjadi fondasi filosofis program pembangun an Jokowi-JK akan mudah menuai cibiran. Sikap tidak gegabah membuka impor, dalam konteks politik, harus dimaknai sebagai bentuk "menjaga perasaan" publik pemilih Jokowi-JK agar tidak merasa ditelikung dan dikhianati. Kendati, sikap itu tidak menjejak kukuh pada kondisi riil.

Realitas objektif menunjukkan, cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog saat ini jauh dari aman. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, dalam setahun, Bulog memerlukan beras sekitar tiga juta ton untuk memenuhi pagu beras sejahtera (rasta), operasi pasar dan bantuan bencana. Karena tahun ini ada rasta 13 dan 14, berarti perlu tambahan 0,464 ton beras.

Agar kondisinya aman, di akhir tahun, cadangan Bulog minimal harus dua juta ton. Cadangan ini akan di-carry over ke stok pada awal tahun berikutnya. Jadi, dalam setahun stok awal ditambah pengadaan Bulog paling tidak harus mencapai 5,464 juta ton beras. Sampai akhir Agustus lalu, penyerapan beras oleh Bulog mencapai 2,1 juta ton. Karena, stok awal Januari 2015 lalu 1,4 juta ton, artinya hingga akhir tahun Bulog harus menambah pengadaan (dari manapun sumbernya) sebesar 1,964 juta ton.

Apakah penambahan pengadaan beras sebesar itu bisa dilakukan hingga akhir tahun nanti? Menurut Wahyu, Bulog kesulitan menyerap gabah/beras petani domestik lewat skema public service obligation (PSO), seperti diatur dalam Inpres Perberasan No 15/2015.

Harga gabah/beras petani saat ini selalu di atas harga pembelian pemerintah (HPP), seperti diatur dalam Inpres Perberasan. Harga gabah kering panen di Inpres Rp 3.700 per kg, sementara di pasar mencapai Rp 4.200 ? Rp 4.700 per kg. Di Inpres yang sama, harga beras medium di gudang Bulog ditetapkan Rp 7.300 per kg, sementara harga di pasar Rp 9.000 ? Rp 9.500 per kg. Bulog, kata Wahyu, masih mungkin menambah serapan beras melalui jalur komersial.

Namun, hingga akhir tahun tambahannya maksimal hanya 50 ribu ton beras. Karena, September ini merupakan akhir panen gadu. Oktober mulai musim paceklik.

Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya jalan keluar yang tersedia adalah menambah pengadaan beras dari sumber luar negeri alias impor. Masalahnya, impor akan selalu memantik kontroversi. Impor juga selalu menimbulkan resistensi. Apalagi, Kementerian Pertanian--dengan mengacu pada Angka Ramalan I BPS--yakin, produksi padi tahun ini mencapai lebih 75,55 juta ton gabah kering panen atau naik 6,6 persen dari produksi tahun lalu.

Produksi sebesar itu bukan hanya cukup memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia juga akan surplus beras. Angka surplusnya juga besar. Jika benar surplus, mengapa impor beras? Jika benar surplus, di manakah surplus beras itu saat ini?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena ujung-ujungnya mempertanyakan kesahihan data beras. Kalaupun data pro duksi beras benar adanya, antara produksi beras dan penyerapan oleh Bulog merupakan dua hal berbeda. Produksi beras yang baik tidak selalu linier atau diikuti penyerapan beras yang baik pula oleh Bulog. Demikian pula sebaliknya.

Di luar produksi, ada variabel lain yang menentukan besar kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu situasi pasar. Jika harga gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog akan kesulitan mendapatkan gabah/beras. Situasi ini sudah berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah belum menyedia kan jalan keluar dari situasi sulit ini.

Jalan keluar, sepenuhnya diserahkan ke Bulog. Salah satunya membeli lewat skema komersial. Padahal, skema ini bukan hanya tidak menyediakan jalan keluar, direksi Bulog juga bisa terkena getahnya. Pembelian lewat jalur komersial potensial membuat Bulog merugi. Jika merugi, direksi Bulog akan dinilai tidak perform. Setiap saat, direksi bisa diganti karena dianggap tidak becus.

Salah satu jalan yang tersedia agar bisa keluar dari situasi sulit ini adalah memastikan Bulog hanya mengurus penugasan PSO. Direksi sepenuhnya dibebaskan dari keharusan menyetorkan keuntungan kepada negara yang didapat dari kegiatan komersial. Posisi seperti itu akan membuat direksi bekerja sepenuh hati mengurus penugasan PSO.

Mereka tidak akan memikul beban ganda yang saling menegasikan seperti saat ini, harus untung dan penugasan PSO berjalan baik. Hampir bisa dipastikan, dengan membebaskan direksi dari keharusan untung dan bisa menyetorkan keuntungan pada negara penyerapan beras oleh Bulog akan membaik. Impor benar-benar menjadi jalan terakhir, seperti diatur dalam UU Pangan No 18/2012. Agar tidak terjadi moral hazard, pemerintah harus memastikan Bulog dalam pengawasan ketat. Pemerintah bisa mengganti direksi bila mereka korupsi dan tidak mampu melakukan tugas PSO dengan baik.

Kembali ke pertanyaan awal: Perlukah impor beras saat ini? Jika memang pemerin tah tidak menyediakan instrumen tambahan yang memungkinkan, Bulog bisa menambah pengadaan beras dari dalam negeri, satu-satunya solusi adalah impor.

Kepastian sikap peme rintah ini penting untuk mengirimkan sinyal yang jelas ke pasar; pemerintah memastikan cadangan beras aman. Cadangan ini setiap saat bisa digerakkan bila terjadi kegagalan pasar dalam bentuk harga yang melejit.

Keputusan ini penting untuk memberikan sinyal yang jelas kepada pedagang agar mereka tidak main-main mempermainkan harga beras di pasar dengan cara melakukan spekulasi. Beda lagi bila pemerintah sendiri bingung bersikap dan bahkan tidak satu suara. Ini akan menjadi makanan empuk para spekulan mempermainkan pasar.

Jika itu terjadi, harga dan inflasi akan melejit tinggi. Ujung-ujungnya, warga miskin terganggu akses daya belinya. Bukan tidak mungkin, angka kemiskinan yang sudah naik akan kembali naik jika sinyal pemerintah tak kunjung pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar