Selasa, 27 Oktober 2015

Tekanan Rupiah Mereda dan Revaluasi Aset

Tekanan Rupiah Mereda dan Revaluasi Aset

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                       KOMPAS, 26 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah tertekan hingga Rp 14.700 per dollar AS, rupiah mengalami apresiasi secara cepat hingga Rp 13.400 per dollar AS. Namun, akhirnya rupiah mulai stabil di level Rp 13.600 per dollar AS pada akhir pekan lalu. Apa yang terjadi?

Yang terjadi, Amerika Serikat mulai menuai dampak negatif yang disebabkan penguatan dollar AS. Buktinya, daya serap tenaga kerja oleh sektor-sektor di luar pertanian menurun drastis menjadi hanya 140.000 orang. Sebelumnya, daya serap itu hingga 200.000-300.000 orang setiap bulan.

Investor global rupanya mulai menyadari, dollar AS tidak mungkin terus-menerus menguat. Suatu saat, pada titik tertentu, penguatan dollar AS akan berhenti sehingga terjadi koreksi. Namun, kita sulit mengukur kapan peristiwa itu akan terjadi.

Ternyata tidak perlu menunggu terlalu lama "gelembung" dollar AS mulai menemukan titik jenuh. Ketika dollar AS menjadi terlalu mahal (overvalued), harga produk-produk AS menjadi mahal, daya saing pun turun. Hal ini tecermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang mulai menurun dari semula 3 persen menjadi 2,5 persen. Penguatan dollar AS mulai menuai dampak negatif. Inilah peristiwa yang biasa dalam perekonomian: tidak ada yang abadi, tidak ada fenomena yang selalu membawa dampak positif.

Itulah sebabnya, bank sentral AS, The Fed, belum juga berani menaikkan suku bunga acuan. Di satu pihak, kenaikan suku bunga diperlukan agar likuiditas tidak berlebihan. Sebelumnya, The Fed sudah memompa likuiditas selama quantitative easing (2009-2013) sehingga perlu disedot kembali melalui kenaikan suku bunga. Likuiditas global yang besar memberi peluang tindak spekulasi. Namun, jika suku bunga dinaikkan, kurs dollar AS bakal meningkat sehingga perekonomian AS rugi.

The Fed terjepit di tengah dilema ini: menaikkan suku bunga salah, tetapi jika tidak menaikkan juga salah. Sementara itu, tren positif data tenaga kerja tidak berlanjut. Kurs dollar AS akhirnya terkoreksi melemah. Rupiah pun menguat. Terlebih lagi pemerintah sudah meluncurkan berbagai paket deregulasi.

Kendati secara umum deregulasi berdimensi jangka menengah dan panjang, semangat reformasi mulai "dibeli" pasar. Pasar mendeteksi perbaikan iklim investasi dan berusaha di Indonesia. Berbisnis di Indonesia menjadi lebih mudah, birokrasi lebih ramah, sehingga gairah investasi akan meningkat. Inilah bekal penguatan rupiah dari sisi internal (domestik).

Di tengah momentum positif ini, pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi V, meliputi insentif pajak bagi revaluasi aset, penghindaran pajak berganda bagi kontrak investasi kolektif real estat, serta relaksasi aturan perbankan syariah. Revaluasi aset adalah isu yang sudah lama menjadi wacana, tetapi terbentur ketentuan pajak yang relatif tinggi.

Revaluasi aset adalah langkah korporasi untuk menilai kembali aset-aset perusahaan. Tujuannya, memperoleh angka (nilai) yang lebih realistis, obyektif, dan terkini terhadap aset milik perusahaan. Dengan nilai terbaru, sebuah perusahaan akan memiliki nilai aset lebih besar. Konsekuensinya, perusahaan bisa meminjam kredit lebih banyak dari bank untuk membiayai aksi korporasi. Pada gilirannya, hal itu dapat menaikkan penyerapan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, nilai aset yang meningkat membawa konsekuensi tambahan kekayaan, yang menimbulkan penarikan Pajak Penghasilan sebesar 10 persen. Inilah faktor yang selama ini menghambat perusahaan karena beban pajak terlalu besar.

Melalui deregulasi kali ini, insentif pajak diberikan, yakni pajak hanya 3 persen jika revaluasi diajukan sebelum akhir tahun ini, 4 persen jika dilakukan pada semester I-2016, dan 6 persen jika diajukan pada semester II-2016.

Menurut saya, skema ini masih kurang realistis dan agresif. Saya tidak yakin bakal ada perusahaan yang siap merevaluasi aset pada akhir tahun ini. Sekarang sudah akhir Oktober 2015, mungkinkah korporasi punya waktu melakukan revaluasi atau setidaknya mengajukannya dalam 1,5 bulan ini? Korporasi biasanya sudah mulai menghentikan kegiatan pada pertengahan Desember.

Dua bulan terakhir pada 2015 anggap saja masa sosialisasi. Biarlah korporasi memahami dulu aturan ini, baru mulai melakukannya pada Januari 2016. Oleh karena itu, insentif yang menarik hendaknya diberikan hingga semester I-2016, kemudian 4 persen pada semester II-2016. Ke depan, insentif masih perlu diberikan. Pajak tidak usah ditetapkan 10 persen, tetapi perlu lebih rendah, misalnya 7 persen. Jika korporasi antusias, bukan saja pertumbuhan ekonomi akan meningkat, melainkan perolehan pajak juga akan kian membesar.

Kebijakan insentif revaluasi aset ini, sekali lagi, menunjukkan pemerintah ingin segera membenahi segala sesuatu secara cepat. Di satu pihak, saya bisa mengerti, pemerintah harus melakukan banyak hal secara cepat. Sebab, tekanan publik juga menghendaki semua perbaikan dilakukan dengan segera. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus sadar, tidak ada solusi yang instan. Semuanya perlu waktu, semuanya berproses, sehingga harus agak sabar.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Kementerian Perdagangan pernah menargetkan peningkatan ekspor 300 persen yang kemudian dikritik banyak pengamat.

Ada juga target kenaikan penerimaan pajak 30 persen dalam setahun, yang sudah pasti tak tercapai di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi. Kasus serupa kini terulang lagi dalam deregulasi revaluasi aset meskipun tidak sebegitu parah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar