Minggu, 18 Oktober 2015

Tubuh dan Ranjang Kebudayaan

Tubuh dan Ranjang Kebudayaan

Eko Wijayanto  ;  Dosen Filsafat Universitas Indonesia;
Doktor di Bidang Evolusi Kebudayaan
                                                       KOMPAS, 18 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perhatian terhadap konteks perkembangan tubuh lebih kepada pentingnya perubahan tubuh kebudayaan, terutama karena perkara maraknya perubahan gaya hidup dalam sebuah lingkup sosial ekonomi budaya yang bermutasi dengan cepat. Penyebabnya antara lain ongkos kehidupan ekonomi, sosial, politik—dan demokrasi yang mahal, misalnya untuk menjadi kepala daerah ataupun wakil rakyat harus senantiasa menjaga penampilan dan citranya—dalam budaya kapitalisme dewasa ini turut menyeret bagaimana tubuh dikelola dan dikendalikan.

Pada tahun-tahun belakangan ini, tubuh dianggap bernilai secara mendasar oleh ilmu pengetahuan ataupun filsafat. Ilmu pengetahuan mengatakan bahwa tubuh dapat dibongkar dan disusun kembali. Sedangkan filsafat membantah superioritas tradisional pikiran atas tubuh bahwa keragawian bersifat sentral pada sebuah pengalaman. Namun, yang terpenting adalah tubuh telah didefinisikan tidak hanya sebuah realitas natural, tetapi juga sebuah konsep kultural.

Citra tubuh itu sendiri meliputi struktur-struktur signifikansi, yakni bahwa tubuh merupakan obyek yang digambarkan ataupun sebuah organisme yang dikelola untuk menggambarkan pengertian-pengertian dan hasrat-hasrat politik kebudayaan. Gambaran sistem tersebut akan saling terjalin dan tumpang tindih. Dan semua masyarakat akan berusaha menciptakan citra tubuh yang ideal untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, yaitu dengan identitas sosial.

Identitas sosial merupakan cara bagaimana seseorang memahami tubuh mereka sendiri dan tubuh orang lain. Hal ini yang menjelaskan mengapa budaya yang berbeda mencoba membatasi tubuh melalui sejumlah hukum dan ritual demi menegakkan batasan- batasan di sekelilingnya. ”Membingkai” tubuh merupakan suatu cara untuk melanggengkan suatu struktur kekuasaan, pengetahuan, makna, dan hasrat. Meskipun demikian, tubuh memiliki kemampuan untuk mematahkan suatu bingkai. Inilah kenapa bagi sebagian politisi yang hendak tampil ke publik, busana dan dandanan menjadi penting. Bagaimana tubuh yang tampil harus dicitrakan. Tampilan necis, kopiah, dan bahkan kerudung menjadi penting dan utama ketika tampil di publik ataupun di spanduk.

Tubuh memiliki substansi dan emosi yang secara relatif mempunyai sedikit kontrol atas kesesuaian dan keberlebihan substansi dan emosi tersebut. Tubuh dapat diisi dengan kemarahan ataupun kesedihan pada saat yang sama. Selain ketidakstabilan tubuh, tubuh juga memainkan peranan penting dalam penafsiran kita terhadap dunia, asumsi atas identitas sosial kita, dan perolehan pengetahuan kita.

Ilmu pengetahuan memberi penekanan terhadap peran penting yang dimainkan tubuh dalam perolehan pengetahuan. Misalnya, bayi yang baru lahir belum mampu berkomunikasi secara verbal. Mereka berusaha memahami dunia sekitar dengan tubuh mereka, meniru ekspresi wajah dan nada suara. Pada usia tiga bulan, mereka mulai dapat memahami hubungan sebab akibat melalui tubuh mereka, misalnya ketika ujung jari seorang bayi diikatkan pada sebuah tali kemudian ujung yang lain dari tali tersebut diikatkan pada sebuah mobil, dia akan menggerakkan mobil itu dengan cara menggerakkan tubuhnya.

Pada bulan keenam, bayi mulai memahami obyek-obyek, misalnya, pemahaman yang berkaitan dengan penerimaan bahasa orang dewasa. Pada usia delapan bulan, mereka mulai mampu memahami orang lain sebagai bagian yang terpisah dan mulai mengerti bahwa tidak semua orang merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan. Mereka mulai belajar mengatasi lingkungan dengan mengatur ekspresi mereka ataupun gerakan mereka terhadap apa yang mereka rasakan di sekeliling mereka. Hal semacam ini membutuhkan peniruan terhadap orang lain yang lebih tua. Peniruan ini pun berpotensi terjadi tanpa ada kontak fisik langsung. Jadi, peniruan membantu mereka memahami bahwa ada benda-benda yang keberadaannya tidak dapat disentuh, bahkan dilihat, seperti, pemikiran, emosi, dan hasrat.

Tubuh sering dipandang sebagai cara untuk menampilkan kekuatan, energi, dan keindahan manusia. Namun, secara bersamaan, tubuh juga didematerialisasikan oleh beragam cara bahwa arti penting simbolisnya lebih diprioritaskan di atas keberadaan fisiknya, seperti dalam dunia fotografi dan dunia politik.

Namun, sering kali potret-potret tidak menggambarkan tubuh yang sebenarnya, tetapi hanya sebuah versi idealisasi dari obyek yang dipotret. Hal ini disebabkan tubuh sebagai obyek fisik rentan terhadap perubahan, penjajahan, dan eksploitasi, misalnya dimodifikasi oleh sejumlah faktor, seperti lingkungan ataupun rekayasa. Ketika problem gaya hidup kapitalisme bermutasi dalam tubuh kebudayaan, yang dituduh biang keladinya adalah logos spermatikos. Sering diingatkan bahwa godaan bagi pemimpin adalah harta, takhta, dan wanita. Menilik kasus-kasus korupsi yang tengah ditangani KPK, begitu banyak godaan itu yang terkait, baik sebagai modus mistifikasi, modus pencucian uang, maupun lainnya.

Ketika seni dan estetika tidak mampu mengontrol materialitas tubuh, ilmu pengetahuan [dan khususnya ilmu kedokteran] juga tidak berhasil dalam menjelaskan tubuh dengan cara yang rasional. Mereka tidak mampu menjelaskan pendekatan tubuh yang berkaitan dengan mistis, mitos, magis, dan fantasi. Kaitan antara wacana medis dan wacana mitologis juga dikuatkan oleh sikap-sikap untuk membedah terputusnya batas-batas ragawi. Tema semacam ini telah muncul sejak zaman dahulu dalam ranah naratif, misalnya fenomena kerasukan terhadap tubuh individu oleh jin, setan, dan alien. Hal ini membuat manusia merasa gelisah dan tidak aman dengan bingkai fisiknya.

Terdapat sebuah tulisan-tulisan yang menjelaskan hubungan antara tubuh dan ilmu pengetahuan, yang telah mencurahkan perhatian pada sikap atau budaya terkait dengan makanan. Dalam konteks ini berkaitan dengan kesehatan dan kebugaran ataupun citra simbolisme dandanan serta pakaian. Perubahan sikap terhadap tubuh tidak dapat dipisahkan dari perubahan dalam pendekatan budaya.

Pada abad pertengahan, misalnya, suatu hal yang umum bagi semua kelas sosial mengalami pergiliran antara kesederhanaan dan pesta pora, puasa dan rakus. Pergiliran ini disebabkan kondisi hidup yang sulit sehingga kerap terjadi kelaparan dan tingkat kematian yang tinggi. Pada masa Renaissans, kemampuan memenuhi diri sendiri mulai dianggap sebagai penanda kekuasaan dan kesejahteraan, kecanggihan dan etiket dipandang sebagai konsep yang pada praktiknya tidak relevan. Misalnya, pada abad ke-18 bahwa kerakusan dinilai sebagai hal yang memalukan. Pembudayaan nafsu makan yang demikian memunculkan pengenalan terhadap disiplin tata cara makan, elaborasi terhadap keahlian-keahlian kuliner yang sopan, serta bahwa makanan yang lezat dan selera memerlukan pengendalian diri. Kemudian timbul analogi antara wacana makanan dan kebiasaan berbusana.

Pada masa Renaissans (abad ke-16), makan berlebih-lebihan sebagai suatu penanda kekuasaan disejajarkan dengan pertunjukan cara berpakaian. Jadi, fokus perhatiannya di sini adalah pada kegendutan fisik dan lapis-lapis pakaian yang dihias dengan mewah. Namun, cara berpakaian demikian meskipun membawa kekokohan fisik, menimbulkan dampak yang berkebalikan, tubuh cenderung tampak lemah dan tidak substansial.

Begitu pun pada abad ke-18 perubahan pada masa itu diiringi dengan perubahan fashion. Kesopanan dihubungkan dengan sikap menghindari perbuatan yang berlebih-lebihan dan pemborosan pakaian dengan sikap suka bersolek.

Pada abad ke-19, suatu hal yang umum menghubungkan perut buncit dengan para politisi dan pebisnis serta kekayaan material, dan tubuh langsing kaum aristokrat. Pembudayaan itu mengubah perspektif masyarakat sehingga kegemukan tidak lagi menjadi mode dan akhirnya digantikan dengan sosok tubuh yang ramping. Pada abad ini, bisa kita lihat dari penampilan necis dan modis para pejabat, wakil rakyat, dan para wirausaha dalam tayangan di televisi.

Filsuf Susan Bordo melalui penelitiannya terkait sikap-sikap kontemporer terhadap makanan dan ukuran fisik yang memfokuskan riset pada evolusi wacana tentang diet. Sejak akhir abad ke-19, diet telah menjadi perhatian besar bagi kelas menengah dan pusat perhatian itu sendiri pada tubuh serta penampakan-penampakan luarnya. Menurut Bordo, tubuh seorang individu adalah sebuah mikrokosmos yang mereproduksi kegelisahan dan kerentanan makrokosmos, yaitu tubuh kebudayaan. Politik kontemporer mencerminkan kontradiksi kapitalisme dan budaya konsumtif. Misalnya, gagasan tentang perempuan yang bersikap seperti laki-laki dapat dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan stereotip tentang feminitas yang menghubungkan perempuan dengan kemampuan reproduktif.

Gagasan tersebut merupakan indikator kerapuhan dan ketidakberdayaan yang membantu melanggengkan stereotip lainnya bahwa perempuan sebagai wadah yang lebih lemah. Kapitalisme mulai memicu perkembangan mentalitas yang terbelah bahwa produsen diharapkan memperkuat etika terhadap penghematan dan efisiensi, sedangkan konsumen didorong untuk memperturutkan hasrat konsumtifnya. Kondisi ini dapat dilihat dari banyaknya majalah perempuan yang menjajarkan gambar hidangan lezat dan diet rendah kalori.

Analogi antara tubuh fisik dengan tubuh dan ranjang kebudayaan sebagai wadahnya menekankan keserbaragaman makna—yang membawa kita untuk melakukan interpretasi kebudayaan. Dengan demikian, pada saat ini tubuh agak susah dibayangkan sebagai sesuatu yang tunggal, yakni manifestasi identitas individual. Tubuh dapat dipandang bersifat kolektif, yakni sebagai sebuah manifestasi identitas korporatif. Identitas korporatif, sebaliknya, mengacu pada tubuh kebudayaan, seperti lokasi geografis, tren dan intrik populer, serta cara mengongkosi semuanya pada tubuh immaterial, yaitu kumpulan kepercayaan, mitos, dan ritual melalui ideologi-ideologi yang memaksakan dan mengonsolidasikan dirinya sendiri pada tubuh kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar