Selasa, 27 Oktober 2015

Tugas Paling Sulit Seorang Hakim

Tugas Paling Sulit Seorang Hakim

Adi Andojo Soetjipto  ;  Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
                                                       KOMPAS, 24 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

- The most difficult question a judge has to decide is what sentence he should impose on an offender he found guilty -

Ungkapan tersebut pernah diucapkan oleh seorang hakim, saya lupa namanya, yang melekat di benak saya sampai sekarang.

Sebagai seorang mantan hakim yang pernah bertugas di pengadilan paling bawah (pengadilan negeri) sampai paling atas (Mahkamah Agung) selama 40 tahun, saya sangat setuju dan bisa meresapi apa yang diucapkan oleh hakim tersebut. Memang, yang paling sulit yang dihadapi seorang hakim dalam melaksanakan tugas adalah ketika dia harus menjatuhkan putusan hukuman apa dan berapa berat terhadap terdakwa yang telah dinyatakan terbukti bersalah.

Di sinilah indra keenam hakim akan turut bicara. Dia akan mempertimbangkan banyak sekali hal, seperti umur terdakwa, profesinya, jenis kelaminnya, motifnya apa, dan banyak lagi. Dari situlah dia akan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

Tulisan ini dibuat sebagai rasa keberatan saya terhadap sikap MA, yang akhir-akhir ini memperberat hukuman terhadap koruptor. Bahkan sampai beberapa kali lipat daripada hukuman yang dijatuhkan olehjudex facti (hakim yang memeriksa bukti perkara di pengadilan negeri/pengadilan tinggi) dalam perkara tindak pidana korupsi.

Hukuman yang memperberat itu terkesan semata-mata hanya untuk membuat para koruptor jera. Titik! Kesan yang saya dapat, hakim tidak mempertimbangkan hal lain sehingga terkesan hukuman itu dijatuhkan secara hantam kromo, atau sekadar mencari popularitas. Itu kesan yang didapat masyarakat.

Bukan saya tak setuju hukuman berat kepada para koruptor. Saya adalah salah seorang yang pernah menjabat ketua tim pemberantasan korupsi, jadi saya setuju sekali apabila korupsi diberantas dengan berbagai macam cara. Akan tetapi, tentu jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak boleh asal-asalan.

Dalam menjatuhkan hukuman hendaknya selalu dipikirkan antara ”lamanya” hukuman dan ”beratnya” hukuman yang dijatuhkan. Sebab, kedua hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Lamanya hukuman boleh sama, misalnya lima tahun, tetapi mengenai beratnya akan dirasakan berbeda.

Contohnya, bagi terdakwa wanita yang kedudukan sosialnya cukup terpandang, sekaligus punya anak kecil yang sekonyong- konyong harus direnggut dengan paksa dari pelukannya, penderitaan ini pasti akan dirasakan lebih berat bagi terdakwa tersebut. Belum lagi kalau anak-anaknya itu akhirnya terpaksa diserahkan kepada seorang pengasuh yang tidak baik, bukan tak mungkin si anak akan menjadi anak-anak ”salah asuhan” yang justru akan menjadi beban negara di kemudian hari.

Kalau tujuan pemberatan hukuman yang dijatuhkan itu semata-mata untuk memberikan efek jera bagi para koruptor agar tidak melakukan korupsi lagi, hal itu juga belum terbukti berhasil. Sebab, pada kenyataannya, sampai sekarang korupsi masih merajalela.

Menurut saya, korupsi akan habis diberantas tidak dengan cara memperberat hukuman sampai berlipat ganda, tetapi dengan cara lain, yaitu dengan menyadarkan mereka. Lagi pula, katanya Mahkamah Agung adalah benteng terakhir keadilan. Namun, sekarang orang menjadi takut naik kasasi karena khawatir hukumannya akan diperberat, padahal mereka belum puas atas putusan judex facti yang dirasakan masih mengandung kesalahan.

Itu hal yang pertama. Hal yang kedua yang saya belum yakin adalah soal strafmaat (hukuman yang dijatuhkan), yang sekarang termasuk menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk mengubahnya.

Sewaktu saya masih bertugas di lembaga itu, soal hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan negeri/pengadilan tinggi tidak masuk wewenang Mahkamah Agung untuk mengubahnya. Mahkamah Agung hanya berwenang membatalkan putusan pengadilan negeri/pengadilan tinggi apabila badan peradilan itu telah ”salah menerapkan hukum” atau ”hukum tidak diterapkan”. Apakah Mahkamah Agung sekarang sudah ”omgaan” dari pendiriannya semula dan apa ada dasar hukumnya?

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi masukan kepada masyarakat agar kalau ada yang salah dapat segera dikoreksi. Kita sebagai sesama warga negara harus saling mengingatkan.

Tentu saja bukan maksud yang jelek, tetapi justru sebaliknya: agar tidak berlanjut apabila ada kesalahan. Saya mohon maaf apabila ada yang tersinggung dengan adanya tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar