Selasa, 20 Oktober 2015

Umat Tanpa Pemimpin

Umat Tanpa Pemimpin

Abdul Mu’ti  ;  Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                  KORAN SINDO, 14 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kamis (8/10), Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerima kunjungan kehormatan Pimpinan KAHMI Pusat. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam dibahas berbagai masalah umat dan bangsa. KAHMI dan PP Muhammadiyah mengkhawatirkan kondisi dan masa depan umat bangsa. Beberapa masalah umat yang dirasakan sangat berat dan perlu dilakukan penyelesaian adalah persoalan lemahnya ekonomi, rendahnya daya saing, dan tidak adanya kepemimpinan. Artikel ini hanya membahas masalah krisis kepemimpinan umat.

Umat yang Terbelah

Merujuk pada tesis Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid, umat Islam mengalami masalah segregasi sosial yang serius. Lantas, mengacu pada peristiwa seputar Reformasi 1998 Kuntowijoyo berpendapat bahwa generasi muda sudah terbelah antara satu dengan yang lain.

Selain karena faktor orientasi politik, juga karena masjid sudah kehilangan fungsinya sebagai pemersatu umat. Perbedaan di kalangan aktivis muda secara kontinum terjadi ketika mereka tampil memimpin organisasi Islam, partai politik, birokrasi, dan organisasi sosial. Harus diakui saat ini umat Islam tidak memiliki pemimpin. Yang ada sekarang adalah pemimpin organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al- Washliyah, Mathlaul Anwar, Tarbiyah Islamiyah.

Mereka masing-masing diterima di lingkup internal organisasinya. Umat tidak memiliki pemimpin yang diterima luas, pemersatu, dan pembangun solidaritas semua organisasi Islam. Bahkan di kalangan internal organisasi juga terdapat friksi dan faksi sebagaimana terlihat dalam suksesi kepemimpinan dan perpecahan selepas perhelatan permusyawaratan. Walaupun di permukaan tampak rukun, potensi perpecahan umat Islam relatif tinggi.

Di dalam tubuh umat tumbuh kelompok takfiri yang berislam secara ekstrem dan menempatkan kelompoknya sebagaipemegangotoritastunggal kebenaran agama. Kaum takfiri mengafirkan pihak lain di luar organisasinya dan varian lain di dalam sesama organisasi, misalnya dengan label liberal, sekuler, dsb. Di akar rumput sering terjadi perebutan jamaah, masjid, dan aset sosial.

Tidak adanya pemimpin umat disebabkan beberapa faktor. Pertama , modernisasi organisasi Islam yang berdampak terhadap pergeseran nilai dan kultur kepemimpinan. Di satu sisi modernisasi berdampak positif terhadap sistem administrasi, manajerial, serta akuntabilitas kinerja dan keuangan.

Namun pada sisi lain, modernisasi melemahkan kepemimpinan karismatik yang bersendi pada kualitas keulamaan dan keutamaan akhlak. Modernisasi melahirkan pemimpin formal yang kepemimpinannya ditentukan oleh jabatan struktural. Berkelindan dengan demokratisasi, modernisasi organisasi Islam melahirkan pemimpin populis yang kehilangan peran sebagai pemandu umat dan penegak kebenaran.

Faktor kedua adalah orientasi politik kekuasaan. Banyak pemimpin organisasi Islam yang menduduki jabatan strategis partai politik. Sebagian mereka menjadi pejabat publik. Dari sudut perjuangan politik, hal tersebut merupakan capaian politik santri. Tapi, dari sudut persatuan dan sinergi perjuangan umat Islam hampir selalu gagal. Fenomena kanibalisme sesama partai dan rivalitas di antara pemimpin muslim semakin terasa.

Laksana pepatah the winner takes all, di kalangan organisasi Islam tidak terjadi distribusi dan meritokrasi jabatan. Monopoli dan dominasi kekuasaan oleh kelompok mayoritas begitu kasatmata dalam kementerian tertentu. Etik tersingkirkan oleh libido kekuasaan. Faktor ketiga adalah kurangnya komunikasi, silaturahmi, dan sillatul fikri (tukar-menukar pemikiran) di antara para pemimpin organisasi Islam sehingga tidak terjalin personal proximity.

Pertemuan sering kali bersifat seremonial, sporadis, dan kasuistis. Ketika warga Palestina diserang Israel umat Islam segera melakukan “ritual” kutukan dengan nada bahasa dan isi yang hampir sama. Ketika umat Islam di Tolikara diserang kelompok Kristen fundamentalis, para tokoh muslim segera bertemu. Sayup-sayup suara jihad berkumandang. Tapi seruan itu menjadi lemah ketika pemimpin muslim lainnya membuat pernyataan yang berbeda.

Membangun Dialog dan Kerja Sama

Dalam sejarah, umat pernah memiliki pemimpin umat seperti Buya Hamka. Walaupun berlatar belakang Muhammadiyah, Buya bisa diterima oleh hampir seluruh umat. Pernyataannya sangat di dengar dan akhlaknya menjadi teladan.

Sekarang ini memang sulit memiliki pemimpin karismatik sekelas Buya Hamka. Konteks sosial, politik, dan keagamaan umat jauh berbeda. Tapi umat masih mungkin memiliki pemimpin yang mampu menjalin komunikasi dan membangun solidaritas umat. Pertama, para pemimpin muslim perlu membangun komunikasi yang lebih intens dan persahabatan pribadi.

Salah satunya melalui pertemuan nonformal dan saling mengunjungi. Memang hal ini tidak mudah karena kesibukan masingmasing. Berbagai ketegangan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah nonformal. Kedekatan para tokoh di tingkat nasional bisa menginspirasi pemimpin di akar rumput. Kedua, perlu ada jiwa besar dan kedewasaan untuk saling memberi dan menerima.

Perlu keikhlasan untuk menjadi makmum dengan tidak memaksakan diri menjadi imam. Umat perlu membangun tradisi followership tidak hanya leadership. Sesama pemimpin perlu saling mengisi. Ketiga, diperlukan peningkatan kerja sama di antara organisasi Islam. Kerja sama tersebut bisa bersifat bilateral. Lembaga seperti MUI bisa lebih berperan dalam mewadahi organisasi Islam yang lebih inklusif.

Sewaktu menjabat sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Din Syamsudin pernah membentuk forum Silaturahmi Organisasi dan Lembaga Islam (SOLI) sebagai sarana membangun dan mempererat kerja sama pendidikan, ekonomi, dan dakwah. Sayang forum tersebut tidak berjalan dengan baik. Di tengah semangat tahun baru Islam 1437 H, umat Islam perlu lebih serius memikirkan bagaimana menjalin ukhuwah dan kerja sama.

Tantangan keumatan yang semakin berat di tengah ancaman perpecahan memerlukan memimpin yang bisa menjadi penyambung lidah umat, solidarity maker, dan dirigen yang mengorkestrasi suara umat menjadi harmoni yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar