Senin, 26 Oktober 2015

Warisan Kejujuran dan Kecurangan

Warisan Kejujuran dan Kecurangan

Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
                                                       KOMPAS, 24 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bahkan para pencuri recehan sekalipun masih punya ”idealisme”. Mereka tak ingin anak dan cucunya jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh lebih terdidik, berkuasa, dan ”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya malu jika mewariskan tradisi kecurangan dan pencolongan kepada generasi penerus bangsa.

Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah kejujuran. Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi harta kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran, negeri ini merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum akhirnya terpuruk seperti saat ini akibat maraknya korupsi.

Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci telah memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi harus dikatakan dan dijalani.

Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi kepuasan duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga dibenci.

Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika, estetika, moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat baik, berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan modal utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang bermakna bagi kemanusiaan, masyarakat, dan negara. Dalam konteks bernegara, di titik kebenaran itulah seluruh kepentingan rakyat bermuara.

Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara pun bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan penderitaan rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas negara.

Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan berbagai retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari ulah badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat bisa bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”

Konser korupsi

Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR untuk merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan pendukung revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga sementara dan karena ”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas dari korupsi, KPK harus out dari negara.

Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan usia KPK itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke depan sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang, ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12 tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?

Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit ringan yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan moral bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk empat komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara harmonis menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama dahsyat, membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan kemakmuran bangsa rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu berkekuatan ”gaib” dan mampu menjadikan bangsa kita miskin.

Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi pengampunan bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi. Kenapa para penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada koruptor yang sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa? Kenapa terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai kekayaan dan kebaikan?

KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh KPK sama dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam apa yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya, pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun tradisi.

Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya menjadi bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus. Sayangnya, nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke depan, generasi penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?

Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan dan peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu memperjuangkan masa depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar