Minggu, 22 November 2015

Fokus Pengurangan Kemiskinan

Fokus Pengurangan Kemiskinan

Haryono Suyono  ;  Mantan Menko Kesra dan Pemberantasan Kemiskinan
                                                     KOMPAS, 21 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam suatu paparan menarik beberapa waktu lalu, Bappenas melihat bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum efektif dan optimal dalam pelaksanaan program dan kegiatannya. Hal itu antara lain disebabkan tak tepatnya sasaran, tak adanya keterpaduan lokasi, waktu, dan lemahnya koordinasi antarprogram dan kegiatan antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi dianggap belum seluruhnya selaras. Juga diakui masih ada marjinalisasi pada penerima program penanggulangan kemiskinan

Bappenas pun mengakui masih ada ketimpangan pemahaman terhadap kebijakan makro dalam melihat upaya pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah. Di samping itu, pada tiap daerah terdapat kesenjangan di antara berbagai pemegang tanggung jawab terhadap hal yang sama. Biar pun tidak seluruhnya tepat, dilihat juga oleh Bappenas, kesadaran sebagian masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan serta kesehatan ibu dan anak masih rendah.

Dari segi kebijakan, ada jurang penyerapan tenaga kerja yang belum optimal serta sistem logistik yang kurang efisien. Sementara dari sudut akses, bagi keluarga miskin diakui kurangnya jangkauan pelayanan dasar, rendahnya akses kredit usaha bagi keluarga miskin, serta rendahnya pemilikan aset bagi keluarga miskin. Akibatnya, perkembangan ekonomi di Indonesia lebih mengarah ke sektor industri dan jasa, sementara keluarga miskin bekerja di sektor pertanian.

Sebab musabab itu yang kiranya menyebabkan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia selama 15 tahun terakhir boleh dikatakan gagal. Seperti ditargetkan dalam Pembangunan Abad Millennium, kita gagal melaksanakan amanat menurunkan tingkat kemiskinan separuh dari keadaan sebelum tahun 2000. Kalau upaya yang akan dilakukan dalam 15 tahun mendatang tidak diperbaiki, hampir pasti target dalam era Pembangunan yang Berkelanjutan (SDGs), yang diputuskan PBB akhir bulan lalu, akan gagal. Lebih parah lagi, kesenjangan hampir pasti akan lebih menganga di mana keluarga kaya melejit dan keluarga miskin akan jauh lebih sengsara.

Langkah pemerintah

Dari berbagai pernyataan Presiden dan para menterinya, tercatat bahwa upaya pembangunan dan pengentasan kemiskinan akan dimulai dari daerah pinggiran. Awalnya, ada sekitar 500 desa di daerah perbatasan diberikan dukungan melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta aparat pemerintah di daerah. Pada tahun kedua ditingkatkan menjadi 1.000-1.500 desa dan selanjutnya akan meningkat lebih tinggi lagi. Kementerian Sosial akan menangani sekitar 5.000 keluarga harapan dan memberikan santunan keluarga miskin dengan berbagai skim dan bantuan beras bagi warga miskin alias raskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat akan menggarap sekitar 6.000 kelurahan yang dianggap memiliki masalah kemiskinan yang parah.

Angka-angka itu boleh dikata sangat impresif kalau kita lihat betapa sibuknya mengurus ribuan desa dengan sasaran keluarga miskin. Belum yang digarap oleh pemerintah daerah melalui skim yang sama impresifnya. Namun, kita juga menyimak bahwa dewasa ini masih terdapat tidak kurang 6 juta keluarga miskin dan masih banyak lagi yang dengan goncangan sedikit saja akan jatuh miskin.

Dilaporkan pula bahwa terdapat sekitar 550.000 permukiman kumuh di seluruh Indonesia, sekitar 440.000 ada di Jawa dan Sumatera, bukan hanya di daerah perbatasan dan bukan pula hanya di desa terpencil. Dari data tersebut terlihat, angka-angka impresif yang akan dikerjakan oleh pemerintah pada tahun pertama dan tahun kedua nanti masih sangat kecil dan perlu ditingkatkan jauh lebih besar lagi.

Ini artinya komitmen politik yang telah disepakati pemerintah di PBB harus diterjemahkan menjadi komitmen operasional, disertai penguatan anggaran dan personel yang secara khusus diarahkan untuk mengawal program yang tak menunggu keluarga miskin mengakses, tetapi program dan kegiatan yang diantarkan kepada mereka oleh semua kekuatan pembangunan, bukan hanya oleh pemerintah.

Kalau keluarga miskin ditunggu mengakses pelayanan yang disediakan, kesadaran untuk mengakses kesempatan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan modal untuk usaha tentu akan lama sekali. Umumnya keluarga miskin ”takut” mengakses kesempatan itu karena kemiskinan yang dideritanya menghambat tingkah laku dan membuat rasa kaku dan tidak berani mengakses sesuatu yang dianggapnya ”mustahil”. Pelayanan kesehatan sebagai penyangga utama tak boleh hanya ”disediakan”, tetapi harus diantarkan kepada keluarga miskin dengan penuh kasih sayang. Ukuran pelayanan bukan hanya kualitasnya yang luar biasa, tetapi diantar dengan kasih sayang dan memberi dampak yang hampir langsung.

Membangun kerja sama

Dokumen yang disepakati sebagai SDGs dengan 17 sasaran itu memuat pula anjuran untuk membangun kerja sama antarnegara. Kiranya anjuran kerja sama antarnegara itu juga dibaca secara nasional dan lokal, yaitu anjuran bekerja sama antarkekuatan pembangunan yang ada pada setiap tingkat: nasional, regional dan—utamanya—pada tingkat akar rumput.

Kemampuan pemerintah yang luar biasa untuk merumuskan program dan cara-cara yang baik melaksanakannya tidak dapat disaingi oleh siapa pun karena semua kekuatan sumber daya tersedia dan kemampuan untuk mengundang siapa saja yang mampu ada pada pemerintah. Alangkah baiknya kalau semua keputusan cara pelaksanaan operasional yang diciptakan pemerintah itu dibagikan secara luas kepada semua kekuatan pembangunan yang ada di akar rumput sebagai pedoman atau referensi.

Aparat pemerintah perlu lebih terbuka dan di daerah yang tidak ada program atau kegiatan pemerintah, aparat tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan desa perlu diarahkan untuk ikut membantu atau minimal memberikan perhatian kepada lembaga swadaya masyarakat atau kekuatan perorangan yang mengabdi memberi perhatian dan berbagi kepada masyarakat luas. Bukan sebaliknya, karena bukan proyek pemerintah, lalu tidak diberi perhatian atau malah dianggap tidak menguntungkan rakyat banyak.

Jangan dilupakan bahwa penduduk dan keluarga Indonesia umumnya tak ingin hidup dalam isolasi. Maka, diperlukan suatu forum guna membangun kebersamaan dan solidaritas. Itulah sebabnya kita menganjurkan pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di setiap desa. Posdaya dijadikan forum silaturahim antarkeluarga guna saling berbagi dan menolong sesama. Melalui forum ini setiap keluarga bisa saling memberi dan menerima sehingga mereka bisa merasa tidak terkucil dalam masyarakatnya.

Proses pemberdayaan yang dilakukan Posdaya, yang semula difokuskan pada bidang kesehatan dan pendidikan, sudah mulai mengarah pada upaya pemberdayaan ekonomi. Kegiatan pemberdayaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang mandiri dan diantarkan kepada keluarga miskin tidak mudah. Keputusan politik dan dukungan komitmen dari pimpinan di setiap wilayah diperlukan agar pelayanan pendidikan itu sekaligus memberi kesempatan kepada keluarga miskin untuk ikut aktif dan mendapatkan keuntungan dengan bebasnya keluarga dari kemiskinan dan kemungkinan kelaparan. Begitupun upaya kegiatan pemberdayaan ekonomi perlu lebih didukung dengan fasilitasi berbagaiaparat pemerintah.

Keputusan politik PBB bukan suatu keputusan yang mudah untuk dilaksanakan karena keluarga menengah dan atas akan iri kalau ”kue”-nya dikurangi. Keluarga menengah dan kaya tetap ingin mendapat kemudahan yang sama karena kemudahan dalam bidang kesehatan dan pendidikan itu mengurangi pengeluaran yang juga mahal bagi keluarga kaya.

Bukan urut kacang

Setelah pelaksanaan delapan target MDGs, PBB memperluas target SDGs menjadi 17 sasaran. Dalam target ini disajikan adanya opsi baru, misalnya dalam bidang ekonomi kelautan dan hasil laut, dalam lingkungan darat dengan segala upaya yang bisa menyajikan kesempatan baru, dan kewaspadaan mengantisipasi perubahan musim serta kemampuan untuk mengatur pola konsumsi yang sehat dan tidak meninggalkan sisa. Dimasukkan juga syarat-syarat yang harus dianut oleh aparat pemerintah yang makin peduli terhadap keluarga miskin atau keluarga prasejahtera, serta persyaratan perdamaian dan perhatian terhadap hak-hak asasi manusia dengan keadilan yang lebih baik.

Ke-17 sasaran itu, menurut pengalaman sewaktu melaksanakan MDGs, bukan harus diikuti seperti urutan antre karcis atau urut kacang: mulai nomor satu sampai 17. Namun, harus dibaca dengan cermat bahwa nomor satu dan dua adalah target utama, sementara target nomor tiga sampai 17 harus bersifat mendukung dua target utama tersebut. Artinya, upaya pengentasanmasyarakat dari kemiskinan dan bebas dari kelaparan adalahsatu-satunya target yang diakhir tahun 2030 posisinya pada setiap negara adalah nol persen: tidak ada penduduk miskin dan tidak ada penduduk yang kelaparan.

Kedua target utama itu harus didukung oleh bidang kesehatan dan pendidikan yang diantar kepada penduduk miskin agar setiap penduduk makin sehat dan cerdas serta mampu mengakses kesempatan yang tersedia, baik di darat maupun di laut, untuk maju bekerja di bidang apa saja.

Pada masa pembangunan berkelanjutan selama 15 tahun mendatang, pemerintah dan rakyat diingatkan adanya kemungkinan perubahan musim sehingga waspada dan siap selalu. Secara khusus diingatkan agar dikembangkan pola konsumsi yang wajar sehingga timbul keseimbangan antara manusia dan lingkungan yang menjamin keberlanjutan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Itulah sebabnya dalam 17 target ini dimasukkan target khusus tentang pemerintahan yang menyangkut tata kelola dan demokratis yang mengatur keperpihakan yang mapan dan tidak bersifat eksklusif, tetapi memastikan pelayanan yang selalu inklusif dengan keadilan yang merata ditujukan guna memenuhi hak-hak asasi manusia.

Promis itu sangat menarik dan disepakati dunia secara aklamasi. Promis ini bisa dijalankan apabila kepala negara memahami dan mengetok palu komitmen yang mengajak seluruh menteri, gubernur, bupati/wali kota, camat, dan pimpinan politik di setiap level di negara masing-masing. Mereka ini dituntut melaksanakan komitmen dan menerjemahkannya secara operasional, disertai tanggung jawab dan kasih sayang yang memihak dan mau mengantarkan proses pemberdayaan bagi keluarga miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar