Selasa, 24 November 2015

Gelombang Ekonomi Internet

Gelombang Ekonomi Internet

Achmad Zaky ;  Pelaku Industri Internet (CEO Bukalapak.com)
                                                     KOMPAS, 24 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada satu gelombang yang sedang melanda seluruh dunia: ekonomi internet. Di tengah ekonomi global yang diterjang krisis, ekonomi internet tetap tumbuh dengan pesat. Di Indonesia, ekonomi internet—khususnya e-dagang (e-commerce)—mulai mendapat perhatian serius. Hal ini ditunjukkan oleh rencana pemerintah untuk merevisi dan menerbitkan beberapa aturan terkait e-dagang, serta kabar tentang masuknya mata ajar pemrograman dalam kurikulum pendidikan.

Kita berharap bahwa perhatian yang lebih serius akan berdampak pada terciptanya ekosistem yang lebih kondusif untuk pertumbuhan ekonomi internet di Indonesia dan bukan malah menghambatnya. Ekonomi internet adalah sektor penting yang akan membantu melepaskan kita dari ketergantungan pada sektor ekstraktif dan memberdayakan masyarakat luas dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Era ekonomi internet

Para pengamat memperkirakan, tahun 2016 sekitar 3 miliar dari 7,3 miliar penduduk Bumi akan terkoneksi dengan internet. Studi dari Cisco bahkan memperkirakan, jumlah perangkat bimbit (mobile device) akan melampaui jumlah penduduk dunia dan mencapai 10 miliar perangkat pada tahun tersebut. BCG memperkirakan bahwa tahun 2016 ekonomi internet akan mencapai 4,2 triliun dollar AS, menempatkannya di atas produk domestik bruto (PDB) Jerman dan hanya di bawah Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan India. Jika ekonomi negara-negara G-20 digabung, internet menyumbangkan 4,1 persen dari total PDB. Angka ini berarti melampaui ukuran ekonomi Brasil dan Italia.

Nilai sebesar itu masih tahap awal karena ekonomi internet masih terus berkembang. Saat pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju belum bisa keluar dari stagnasi (hanya 0,4 persen di Eropa pada 2014), ekonomi internet terus tumbuh dengan cepat. Setiap tahun, ekonomi internet tumbuh 8 persen di negara maju dan 18 persen di negara berkembang (BCG, 2012).

Salah satu negara yang menangkap gelombang ekonomi internet ini dengan baik adalah Tiongkok. Tahun 2008, e-dagang menyumbang hanya sekitar 1,1 persen dari total konsumsi di negara tersebut. Tahun 2016 diperkirakan e-dagang akan menyumbang 14,5 persen dari total konsumsi di Tiongkok.

Pertumbuhan e-dagang dan ekonomi internet di Tiongkok ini adalah salah satu kekuatan yang mendorong tumbuhnya negara tersebut menjadi kekuatan ekonomi dunia. Lokomotifnya adalah perusahaan-perusahaan yang kuat di ekonomi internet, seperti Alibaba-nya Jack Ma. Tak hanya itu, tumbuhnya e-dagang juga merupakan faktor penting yang membuat UMKM Tiongkok mampu menaklukkan pasar dunia.

Jadikan prioritas

Jika tidak ingin tertinggal, Indonesia harus segera secara serius mendorong pertumbuhan ekonomi internet dengan menjadikannya sektor prioritas. Setidaknya ada tiga alasan.

Pertama, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi internet dan e-dagang. Riset Pusat Kajian Komunikasi UI menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet Indonesia terus meningkat dari 88,7 juta pengguna pada 2014 menjadi 112 juta pengguna pada 2017. Akibatnya, ekonomi internet dan khususnya e-dagang memiliki peluang untuk meroket dengan pesat. Hal ini diperkuat lagi oleh demografi Indonesia yang didominasi penduduk usia muda serta kecenderungan urbanisasi yang terus meningkat.

Kedua, ekonomi internet akan memperkuat UMKM yang merupakan pilar penting bagi ekonomi Indonesia, yang menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja. Berbagai riset terhadap UMKM di berbagai negara menunjukkan bahwa UMKM yang memanfaatkan internet tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan UMKM yang masih sedikit memanfaatkan internet. McKinsey, misalnya menemukan bahwa UMKM yang memanfaatkan internet mengekspor barang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan yang tidak memanfaatkan internet.

Sebagai pelaku industri internet, kami merasakan hal ini. Banyak di antara UMKM yang membuka ”lapak” di platform kami awalnya memiliki omzet yang sangat kecil karena terkendala modal, pemasaran, dan kemampuan distribusi. Dengan membuka lapak online, mereka memangkas biaya modal, menjangkau pasar yang lebih besar, dan mendistribusikan barang dengan jauh lebih efisien.

Saya percaya bahwa internet adalah kekuatan yang memungkinkan ekonomi berbasis kekeluargaan yang digagas oleh para pendiri bangsa ini dapat terwujud. Berbeda dengan sektor ekstraktif yang memperkuat elite, internet membuka peluang yang besar bagi masyarakat kecil.

Ketiga, ekonomi internet adalah sektor yang relatif mudah dimasuki. Jika Indonesia hendak keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), Indonesia harus naik tingkat di dalam value chain. Indonesia harus bergeser dari mengandalkan komoditas dengan nilai tambah rendah yang harganya sangat fluktuatif. Di masa lalu, upaya Pak Habibie melakukan ini dengan membangun industri strategis mendapat kritik dari para ekonom karena sumber daya yang diperlukan untuk membangunnya sangat besar dan belum tentu berhasil.

Ekonomi internet menawarkan peluang mengatasi hal tersebut. Anak-anak muda tanpa modal besar dan koneksi politik pun bisa membangun sebuah aplikasi yang berpotensi menjadi seperti Google atau Facebook. Di AS, perusahaan yang dibuat oleh anak-anak muda ini, sering disebut startup, telah menyumbang hingga 21 persen dari total PDB (City of Sydney Startup Action Plan, 2015).

Langkah ke depan

Pemerintah dan semua pemangku kepentingan di Indonesia harus bersatu padu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi internet dan khususnya e-dagang di Indonesia secara berkelanjutan. Pertama, pemerintah harus mendukung terwujudnya ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan sektor ini. Penyelarasan berbagai aturan hukum harus dilakukan untuk menciptakan legal environment yang sederhana, memberikan kepastian, konsisten, sekaligus memberikan insentif bagi pelaku industri untuk tumbuh.

Kedua, Indonesia harus memberikan perhatian lebih lagi pada pembangunan infrastruktur yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung pada industri internet. Saat ini, Indonesia adalah negara dengan kecepatan internet yang relatif paling rendah di kawasan. Belum lagi permasalahan infrastruktur fisik yang penting untuk mendistribusikan barang yang dijual secara online.

Ketiga, Indonesia harus membangun kualitas dan kuantitas talenta lokal. Di ekonomi internet, sumber daya manusia adalah sumber daya yang paling penting. Salah satu hal mendesak yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas universitas-universitas di Indonesia supaya dapat lebih bersaing. Jurusan ilmu komputer dan yang sejenisnya harus didorong untuk tumbuh.

Saat ini, universitas di Indonesia yang dapat menyediakan talenta yang mampu bersaing secara global dapat dihitung dengan jari. Jika universitas dalam negeri tidak mampu menyediakan suplai talenta yang memadai, kebutuhan talenta ini akan diisi oleh para ahli dari India dan negara-negara lain.

Peluang untuk lebih terlibat di dalam industri internet juga harus dibuka bagi talenta-talenta muda melalui beragam skema magang dan dukungan modal yang memadai, baik kalangan swasta (seperti venture capital) atau pemerintah. Akses yang mudah pada modal akan mendorong kelahiran Facebook-Facebook dan Google-Google dari bangsa Indonesia di masa depan.

Dengan komitmen yang serius dari berbagai pihak, Indonesia dapat mengambil manfaat besar dari gelombang ekonomi internet. Internet bukan ancaman, tetapi kesempatan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, termasuk jutaan pelaku UMKM yang merupakan pejuang utama ekonomi kita. Saat ini, para pelaku industri yang didominasi anak-anak muda Indonesia sangat bersemangat untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa maju dengan menunggang gelombang ekonomi internet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar