Minggu, 29 November 2015

MKD, Mahkamah Kehormatan atau Ketidakhormatan?

MKD, Mahkamah Kehormatan atau Ketidakhormatan?

Iman Rozani  ;  Dosen Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 27 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ENTAH mana yang lebih pas untuk kepanjangan dari singkatan MKD, yang merupakan salah satu alat kelengkapan DPR, apakah Mahkamah Kehormatan Dewan ataukah Mahkamah Ketidakhormatan Dewan? Meski UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyebutkan bahwa kepanjangan dari singkatan MKD ialah Mahkamah Kehormatan Dewan, hal itu hanya tulisan di atas kertas. Kebenaran dari tulisan itu hanya menjadi kenyataan bila alat kelengkapan de wan itu mampu membuktikan dirinya demikian (terhormat).

Terhormat dalam arti benar-benar memikul tanggung jawab sejalan dengan yang digariskan UU No 17 Tahun 2014 tersebut. Menurut UU No 17 Tahun 2014 itu, tanggung jawab MKD ialah menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat dewan sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dewan (DPR) itu sendiri ialah lembaga terhormat, maka MKD semestinya lebih terhormat dari yang terhormat. MKD harus terisi oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi terhadap kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

MKD harus terisi oleh orang-orang yang tidak mudah disimpangkan ke pentingan kelompok/golongan atau partai politik mana pun. MKD ialah ‘resi’ (dalam istilah pewayangan) dari DPR, yang demikian bijak menilai setiap perilaku anggota dewan. Perilaku baik dari anggota dewan patut dipuji, sedangkan perilaku buruk perlu diperingatkan atau bahkan dicaci.

Untuk mencapai tujuan ini, UU No 17 Tahun 2014 membuka pintu lebar bagi siapa pun (masyarakat secara individual atau kelompok--yang terikat pada suatu organisasi ataupun tidak) untuk mengadukan keluhannya ke MKD jika masyarakat merasa ada anggota dewan yang tidak memuaskan, seperti (a) mengabaikan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, (b) melakukan perbuatan tercela, (c) melakukan perbuatan yang akan meruntuhkan sendi-sendi positif kehidupan bangsa dan negara.

Setiap anggota dewan terikat oleh kewajiban untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, negara, dan bangsa. Ia sangat dilarang untuk mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok/ golongan di atas kepentingan seluruh rakyat, negara, dan bangsa. Hal yang disebut ini, terutama yang terakhir, secara jelas diucapkan setiap anggota dewan dalam sumpahnya kepada Tuhan di saat dirinya dilantik menjadi anggota dewan.

Masyarakat yang disebut dalam UU ini, yang diberi hak untuk mengadukan keluhannya ke MKD, tentu saja memiliki makna luas. Masyarakat yang dimaksud itu bukan hanya para jelata yang hidup pas-pasan, tetapi juga yang hidup berkelebihan, yang bekerja di institusi swasta ataupun pemerintahan, termasuk pejabat pejabat negara di luar institusi dewan itu sendiri. Kelompok atau golongan (organisasi) yang dimaksud UU ini juga bermakna luas, tidak hanya organisasi nonpemerintah tetapi juga pemerintah (eksekutif, yudikatif ). Alangkah naifnya jika makna masyarakat tadi dibuat begitu sempit, semisal hanya jelata atau organisasi nonpemerintah.

Belakangan ini nama ‘kehormatan’ dari MKD sedang dipertaruhkan, bahkan lebih mendekati ‘dipertanyakan’. Kasus pengaduan Menteri ESDM (Sudirman Said) atas perilaku Ketua DPR yang tidak pantas, yaitu mencatut nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam untuk mendapatkan 20% saham bodong PT Freeport, membuat limbung MKD. Anggota-anggota MKD terpecah menyikapi kasus ini. Sebagian, yai tu terutama yang berasal dari KMP, menilai pengaduan Menteri ESDM itu tidak absah. Alasannya bukan karena kasus pencatutan nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam tadi tidak benar (karena rekamannya telah terpublikasi luas), melainkan lebih kepada kepantasan atau legalitas menteri sebagai pela por. Keabsahan menteri sebagai pelapor, menurut kelompok tersebut, tidak memiliki basis legalitas (UU). Yang legal, seperti dikemukakan di atas (menurut UU), ialah masyarakat dan/atau kelompok/golongan atau organisasi. Kelompok lain dalam MKD adalah KIH. Kelompok ini pendukung pemerintah yang sekarang. Oleh karena itu, mereka menilai pengaduan menteri ESDM adalah legal.

KMP, dalam konteks ini, dapat dikategorikan sebagai penerjemah UU No 17 Tahun 2014 yang naif. Arti masyarakat, kelompok/golongan atau organisasi diterjemahkan begitu sempit. Kelompok ini tidak menganggap bahwa menteri maupun para pejabat negara lainnya termasuk presiden dan wakil presiden adalah wakil rakyat juga. Mereka diangkat menjadi pejabat negara dengan tanggung jawab untuk mengelola negara/pemerintahan sebaik mungkin guna mencapai kesejahteraan rakyat yang maksimal. Mereka menjadi pejabat negara bukan dengan cara ‘mengudeta’ kekuasaan rakyat. Mereka menjadi pejabat negara karena ditunjuk presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, posisi menteri dalam mewakili rakyat cukup kuat. Dalam pada itu, kementerian ialah sebuah organisasi, maka pengaduan oleh menteri atas nama kementerian adalah legal menurut UU No 17 Tahun 2014 (pasal 62).

Hal yang paling memprihatinkan dari kasus pengaduan Menteri ESDM ini, yang bisa berujung pada hilangnya identitas ‘kehormatan’ pada MKD, ialah perdebatan anggota MKD atas kasus itu ke luar dari substansinya. Mereka perdebatkan soal siapa pelapor, bukan apa isi laporan/pengaduan. Padahal, kasus ini menyangkut nama baik NKRI karena presiden dan wakilnya dicemari nama baiknya. Mestinya, bukan perdebatan yang terjadi, melainkan penyelidikan intensif atas kebenaran isi laporan itu.

Bila memang isi laporan itu terbukti benar, Ketua DPR sekarang diminta untuk mengundurkan diri atau bila ia menolak sanksinya adalah dipecat. Jika isi laporan hanya hoax, presiden RI diminta untuk mengganti/memecat Menteri ESDM Sudirman Said. Inilah yang pantas dilakukan MKD agar ‘kehormatannya’ tetap terjaga. Akan menggelikan MKD, yang tugas utamanya menjaga dan menegakkan kehormatan DPR RI, ternyata malah hilang kehormatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar