Minggu, 22 November 2015

Puasmu Kapan, Pemimpin?

Puasmu Kapan, Pemimpin?

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
                                                KORAN SINDO, 19 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan rakyat kita ramai bergunjing tentang ulah para tokoh yang tak pernah puas. Anda tentu tahu yang saya maksud. Yang satu suka memaki, yang satunya gemar menyalahkan, yang lainnya tak pernah puas dengan mencari-cari kesalahan pada orang yang bekerja, dan kini ada lagi mereka yang suka meminta minta jatah. Maaf, mereka bukan orang tak punya. Maksud saya, jabatan bagus mereka sudah punya, kekuasaan untuk menyejahterakan rakyat ada di tangan, dan satu lagi, uang juga sudah bukan masalah. Bahkan ada yang sampai punya pulau, mobil-mobil mewah, jet pribadi, dan properti di mana-mana.

Alamak, mengapa jadi kurang bersyukur? Memang keterlaluan yang terjadi beberapa hari ini. Sudah dipilih oleh rakyatnya sebagai pemimpin kok tegateganya masih menjadi makelar atau calo atau apa pun. Intinya sama, mencari rente. Apa gaji yang dia terima, yang diambil dari uang pajak yang kita bayarkan setiap tahun, masih kurang?

Beranjak dari gunjingan itu, sekarang saya ajak Anda untuk sama-sama membuka wawasan soal pemimpin dan kepemimpinan. Ini isu yang seru. Yang mengawali dari munculnya penguasa yang tak pernah puas, apalagi bersyukur. Materinya mengasyikan untuk menjadi bahan obrolan di sela-sela jamjam kantor, saat ngopi di kafe, menjelang jeda makan siang atau sesudahnya, atau menjelang pulang kerja.

Saya lihat, ada dua isu utama yang terkait, yaitu pemimpin dan kepemimpinan. Ini bukan hanya di tataran pemerintahan, tetapi juga organisasi lain. Pertama, kita mesti rada jeli untuk membedakan antara pemimpin dengan atasan. Kita bisa saja punya atasan, tetapi belum tentu punya pemimpin.

Kedua, kita juga mesti rada jeli dalam memahami konsep pemimpin dan kepemimpinan. Kita mungkin saja punya banyak pemimpin, tetapi miskin kepemimpinan. Mari kita bahas lebih detail.

Atasan vs Pemimpin

Kita sebenarnya bisa dengan mudah menemukan mana yang atasan dan mana yang pemimpin. Ciri-cirinya sederhana. Pertama, pemimpin selalu menjadi orang pertama yang bertanggung jawab kalau ada sesuatu yang salah. Dia bukan saja berani mengakui bahwa dirinya bersalah kalau memang bersalah, tapi juga siap menanggung segala risikonya. Kalau ada masalah, dialah orang yang pertama kali tampil di depan.

Bagaimana dengan atasan (dan juga bawahan)? Sebaliknya. Kalau ada yang salah, dia malah sembunyi dan sibuk mencari-cari siapa saja pihak yang bisa disalahkan. Pokoknya jangan sampai dia yang disalahkan. Harus orang lain. Itu ciri pertama.

Ciri kedua, seorang pemimpin biasanya juga tidak berusaha agar dirinya kelihatan menonjol dan menjadi yang terbaik. Justru sebaliknya, dia lebih suka untuk memberikan kesempatan kepada bawahannya agar merekalah yang terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Mengapa? Simpel saja. Seorang pemimpin tahu persis bahwa keberhasilan bawahannya adalah keberhasilan dirinya. Jadi, buat apa repot-repot menonjolkan diri.

Kalau atasan? Sebaliknya, dia justru akan berusaha terlihat menonjol dan menjadi yang terbaik. Peduli setan kalau kinerja bawahannya pas-pasan. Atasan yang semacam ini selalu sibuk mencari cara agar hanya dirinya yang terlihat menonjol. Gayanya main perintah.

Ketiga, pemimpin biasanya rendah hati dan sederhana. Ia tidak gengsi untuk berbaur dengan bawahannya. Kalau bertemu bawahan, ia tak segan-segan untuk menyapa terlebih dahulu. Kalau atasan? Ah, Anda tahulah gayanya. Kalau ketemu bawahan, ada yang pura-pura buang muka atau menunggu disapa lebih dulu.

Keempat, seorang pemimpin biasanya tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan kepentingan organisasinya. Ia tahu bagaimana caranya menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadinya dengan kepentingan organisasi. Kalau atasan? Jelas, kepentingan pribadinya yang dia utamakan. Peduli setan dengan kepentingan organisasinya.

Kelima, pemimpin yang baik selalu mengutamakan musyawarah sebelum membuat keputusan. Ia selalu mendengarkan dulu masukan dari bawahannya, baru setelah itu mengambil keputusan. Kalau atasan? Dia lebih suka mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Maaf, kata ”pertimbangan” mungkin masih terlalu baik. Saya ganti saja, ”Dia akan mengambil jalan pintas dengan membuat keputusan sesuai dengan ”selera” sendiri. Lebih cocok, bukan?

Keenam, pemimpin adalah seseorang yang berani membuat keputusan yang sulit. Berani menyampaikan kabar buruk, meski dengan risiko popularitasnya bakal turun. Kalau atasan? Dia tidak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Sukanya hanya menyampaikan kabar baik, supaya popularitasnya naik terus. Padahal, perjalanan organisasi tak selamanya selalu bergerak ke atas. Bisa saja suatu ketika roda organisasi berada di bawah. Bahkan sampai di titik nadir.

Pemimpin vs Kepemimpinan

Untuk bisa menjalankan perannya sebagai pimpinan, seorang pemimpin mesti memiliki kemampuan untuk memimpin. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan. Anda merasa ruwet? Saya coba dengan definisi yang ini: Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi seseorang atau kelompok agar dia atau mereka mau melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu.

Nah, supaya bisa mengajak seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu, seorang pemimpin yang akan menjalankan peran kepemimpinannya mesti memiliki beberapa hal.

Pertama, kekuasaan. Apa jadinya seorang pemimpin tanpa kekuasaan? Dia tidak akan bisa memaksa orang lain untuk menjalankan perintahnya. Tapi kekuasaan itu apa sih ? Apa selalu karena menjabat? Bagaimana kalau ia tak lagi menjabat? Punyakah ia reputasi? Keahlian? Kehormatan?

Kedua, wewenang. Ini adalah hak mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Kita, melalui UU atau regulasi lainnya, mesti memberikan hak yang paling mendasar ini. Bayangkan seorang pemimpin tanpa wewenang, dia pasti tak akan bisa membuat keputusan atau mengambil kebijakan tertentu.

Ketiga, pengaruh. Jelas seorang pemimpin mesti memiliki pengaruh. Dengan pengaruhnya, seorang pemimpin akan mampu membuat orang lain atau sekelompok orang tunduk dan mau mengikuti kepemimpinannya.

Keempat, pengikut. Seorang pemimpin yang berpengaruh pasti akan mempunyai banyak pengikut. Mereka inilah yang bersama-sama dengan pemimpinnya akan membawa organisasi bergerak untuk mewujudkan tujuannya. Itulah kurang lebih wawasan yang saya tawarkan tentang pemimpin dan kepemimpinan.

Kini, setelah memiliki wawasan tersebut, mari kita potret wajah para pemimpin kita. Saya bukan orang yang pesimistis, tetapi kalau melihat gunjingan yang beredar di masyarakat dan ramai diberitakan di berbagai media massa, saya tiba-tiba merasa ngeri. Bayangkan dengan kualitas pemimpin seperti yang ramai kita gunjingkan di atas, apa Anda mau menjadi pengikutnya? Saya? Jelas tidak!

Lalu, saya menjadi semakin ngeri ketika tahu bahwa salah satu tugas mulia dari seorang pemimpin adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin berikutnya. Kalau benar begitu, apa Anda rela anak-anak muda kita dididik menjadi pemimpin oleh orang-orang yang kita gunjingkan sejak tadi? Saya? Jelas tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar