Minggu, 29 November 2015

Setya Harus Diberhentikan

Setya Harus Diberhentikan

Agus Riewanto  ;  Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Ilmu Hukum UNS
                                             KORAN JAKARTA, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari-hari ini DPR disorot tajam atas konspirasi Ketua DPR Setya Novanto dan dirut  PT Freeport Indonesia minta saham 20% dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo  dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar perpanjangan kontrak tambang yang akan berakhir 2021 diperpanjang sampai  2041(Koran Jakarta, 20 Nov 2015). Ini ramai setelah Menteri Energi Sumber Daya Mineral  Sudirman Said melaporkannya  ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan juga disertai  alat bukti transkrip rekaman pembicaraan Ketua DPR, Dirut Freeport Indonesia dan pengusaha migas.

Ini kian menunjukkan,  mendekati  akses kekuasaan politik menjadi kunci  membangun kerajaan bisnis. Begitu pula kekuasaan politik akan dapat langgeng dalam genggaman bila berjalinan erat  pebisnis yang  diuntungkan secara politik karena terproteksi. Sedang politikus mendapat limpahan dana fee pebisnis untuk penguatan kekuasaan politik.

Inilah yang disebut sebagai relasi  simbiosis mutualisma dalam jejaring ekonomi-politik. Ini  juga bisa disebut relasi patron-client dalam pola akses  keuntungan ekonomi-politik. Kekuasaan politik menjadi patron dan pebisnisnya sebagai client. Keduanya tak terpisahkan karena sama-sama diunntungkan.

Menurut Vedi R Hadiz dan Richard Robinson (2013) dalam The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia, sesungguhnya sejak lama negara-negara  yang tengah mengayuh jalan menuju  demokrasi  selalu menghasilkan produk pebisnis yang dekat dengan  kekuasaan politik. Sedang  politisi  berhasil mempertahankan kekuasaan dengan pembiyaan pebisnis. Memang hampir semua pebisnis besar selalu terlibat dalam “permainan kekuasaan.” Begitu pula kekuasaan politik dapat “dimainkan”  para politikus.

Temali  keduanya akan menghasilkan produk bisnis hanya untuk mengekplorasi alam, tanpa meretaskan kesejahteraan rakyat  karena keuntungan  hanya buat  melayani kekuasaan yang memproteksi bisnis mulai dari izin, perpanjangan kontrak, konsesi pajak, perluasaan usaha, tenaga kerja, hingga kewajiban divestasi.

Demikianlah yang dapat disaksikan dari sejumlah bisnis besar yang melibatkan investasi asing di bidang minerba, salah satunya PT Freeport yang berbasis di Timika Papua, yang hingga hari ini belum mampu membawa kemakmuran rakyat setempat.

Pelanggaran Berat

Pencatutan nama presiden dan wakil presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport yang diperankan Ketua DPR ini  bagian penjelmaan watak kekuasaan politik yang tak akan diam. Dia  menjadikan kekuasaan politik  alat  meraih dan menggeruk pundi-pundi  pebisnis kakap yang haus proteksi.

Maka  perilaku ini merupakan pelanggaran etika yang sangat berat karena telah memposisikan DPR sebagai negosiator ekonomi, yang merupakan tugas eksekutif. DPR penjaga konstitusi  dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.  Itulah sebabnya MKD  tak perlu ragu untuk tegas  memberi sanksi berat kepada Setya. Dia harus diberhentikan dari ketua  dan keanggotaan DPR. Sebab perilakunya bukan saja melanggar Kode Etik DPR, tetapi secara politik telah menurunkan wibawa wakil rakyat. DPR dijadikan  alat pemburu rente.

Dari aspek hukum pidana perilaku Setya  dikategorikan sebagai penipuan dan pemerasan, sehingga  berpotensi tindak pidana korupsi. Dia harus  dijerat dengan UU Antikorupsi dan delik pidana umum KUHP. Mabes Polri dapat bertindak secara langsung tanpa harus menunggu laporan karena peristiwa ini masuk delik pidana mutlak (absolute crimes), bukan delik pidana relatif (relative crimes) yang memerlukan aduan dari pihak yang dirugikan.

Bahkan atas dasar penetapan tersangka Polri ini dapat dijadikan alat  MKD  untuk kian mempercepat  sanksi berat pelanggaran kode etik  karena telah dijadikan tersangka oleh polisi, maka Setya  dapat disanksi pelanggaran kode etik kategori berat. Dia harus  diberhentikan dari posisi Ketua DPR. MKD  dapat segera membentuk panel ahli  dari unsur masyarakat dan dewan  untuk merekomendasikan sanksi  segera dibawa dalam  paripurna.

Sanksi berat kode etik DPR ini perlu dilakukan MKD pada Setya  bukan semata-mata disertai kebencian atau sentimen terhadap partai tertentu, tapi  menegaskan bahwa  DPR perlu dijaga wibawanya. Dengan begitu  tak dijadikan alat  mengeruk keuntungan. Selain itu, juga  untuk menunjukkan, kejahatan konsiprasi politik di DPR, siapa pun pelakunya  harus dihukum.

Jauh lebih terhormat jika Golkar  menariknya (merecall)  menggunakan UU No 2/2011 tentang Partai Politik sebagai bentuk akuntabilitas parpol yang mampu bertindak secara tepat dalam suasana genting dan memaksa. Publik  akan  hormat dan percaya pada parpol tersebut.

Cara lain, paling  elegan Setya berani  mengundurkan diri karena telah  menimbulkan kontroversi dan kegaduhan politik nasional. Mundur dari ketua DPR bukan hanya  menguntungkan diri secara politik,  tetapi  juga lembaga  DPR dijaga martabata dan wibawanya.

Selama ini DPR periode 2014-2019 yang belum dua tahun  telah berada dalam titik nadir. Ketidakpercayaan publik atas perilaku dan sikap-sikap politisinya meninggi. Apalagi kinerjanya rendah. Yang dipentingkan hanya menaikkan tunjangan jabatan, peningkatan pembangunan fisik gedung, permintaan pengelolaan dana aspirasi, hingga perilaku Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR yang pelesiran ke Amerika Serikat yang juga tercela secara etis.

Salah satu usaha positif untuk memulihkan wibawa DPR  MKD harus bernai  sidang  terbuka kasus ini lalu memberi sanksi  tegas. Ini kalau MKD bisa diharapkan menegakkan kode etik. Sebaliknya, jika MKD  tak bernyali menjatuhkan sanksi tegas, menggambarkan negeri ini penuh  permainan “orang kuat” dalam lembaga DPR. Publik hanya bisa  mencaci maki DPR sebagai sarang para penyamun.

Di sinilah ujian sensitivitas MKD. Mampukah  mahkamah ini  mengakhiri kasus ini secara elegan berdasarkan  mandat moralitas publik. Apalagi  di dunia maya  publik terus menyuarakan kegeraman atas kasus ini untuk segera diselesaikan dengan tuntas. Bahkan dalam situs layanan analisis media sosial Topsy saja terdapat 10.332 cuitan dengan tagar #Papamintasaham.

Cuitan geram pada kata Setya Novanto ada 45.373 kali dan Freeport  81.584. Fakta ini menunjukkan beta besar harapan publik pada MKD  agar tidak tuna sensitif. Mahkamah haraus berani, tegas, dan beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar