Jumat, 27 November 2015

Terorisme di Mali, Pembantaian Paris, dan Islam Radikal

Terorisme di Mali, Pembantaian Paris,

dan Islam Radikal

M Bambang Pranowo  ;  Guru Besar UIN Ciputat;
Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten
                                                KORAN SINDO, 24 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hanya sepekan setelah tragedi Paris, aksi terorisme kembali muncul di Bamako, ibu kota Mali (20/11). Sejumlah teroris menyandera 170 orang di Radisson Blu Hotal, Bamako, dan membunuh 27 orang di antaranya.

Prancis yang sepekan sebelumnyamendapat serangan teroris di Paris hingga menewaskan 130 orang kembali merasa terpukul. Bagaimanapun Mali adalah bekas jajahan Prancis dan sangat dekat dengan negeri pusat mode itu. Mungkin itulah sebabnya, Presiden Francois Hollande kembali merasa kecolongan terhadap aksi terorisme di Mali tersebut.

Dunia masih terguncang akibat aksi terorisme di Paris (13/11) yang menewaskan 130 orang itu. Puluhan teroris menembaki orang-orang tak bersalah di tujuh tempat di Paris. Di gedung konser, di lapangan sepak bola, di kelab malam, di restoran, di kafe, dan di beberapa tempat keramaian. Mayatmayat pun bergelimpangan. Darah berceceran dimana-mana.

Para teroris-yang kemudian mengaku berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)-menyatakan, tindakan pembantaian tersebut merupakan pembalasan NIIS terhadap Prancis yang menyerang dan membom pasukan NIIS di Suriah beberapa waktu sebelumnya.

Sepuluh bulan sebelumnya (Januari 2015), sekelompok teroris juga menyerbu kantor majalah Charlie Hebdo di Paris. Dua belas orang tewas. Dalam kasus Charlie Hebdo, para teroris mengaku tindakannya merupakan balasan terhadap tabloid yang pernah membuat kartun Nabi Muhammad. Pemuatan kartun Nabi itu dianggap sebagai penghinaan terhadap umat Islam. Apa pun alasannya, tindakan pembantaian tersebut merupakan terorisme yang dikutuk Islam.

Sejumlah organisasi Islam di dunia menyatakan bahwa apa yang terjadi di Paris itu tidak mewakili Islam. Mereka, para teroris, dianggap hanya bertindak untuk kepentingan kelompoknya yang haus kekuasaan. NIIS adalah penjelmaan kelompok radikal haus kekuasaan tersebut. Barat dan kalangan Islam moderat menyatakan bahwa NIIS sama sekali tidak mewakili Islam. Tapi faktanya, kenapa banyak kaum muda Islam tertarik dengan NIIS dan mau bergabung dengannya?

Inilah yang perlu mendapat perhatian, kenapa NIIS bisa tumbuh dan berkembang di mana-mana? NIIS seakan menjelma sebagai bentuk kekecewaan kelompok tertentu terhadap pemerintahan Islam yang ada sekaligus representasi kebencian terhadap Barat yang dianggap selalu menindas umat Islam.

Radikalisme Islam?

Meski dunia Islam dan internasional mengutuk terorisme yang dilakukan kelompok radikal Islam, kenyataannya ideologi radikal ini tidak pernah mati. Sejak Islam lahir ideologi radikal ini terus menghantui dan merusak sistem pemerintahan Islam. Sejarah misalnya mencatat tiga khalifah utama (khulafaaur rasyidin)- Umar bin Khatab, UsmanbinAffan, dan Ali bin Abi Thalibdibunuh kelompok radikal.

Keberadaan kelompok radikal ini makin meluas sejak meninggalnya khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka menamakan dirinya kelompok Khawarij. Kelompok radikal ini mengusung slogan la hukma illallah dan mengafirkan siapa saja yang tidak mengikuti ajarannya. Khawarij tidak hanya menolak kekhalifahan Ali, tapi juga Muawiyah. Perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah juga telah menumbuhkan benih-benih radikalisme di kalangan umat Islam.

Sejarah kemudian mencatat, di hampir setiap pergantian kekhalifahan yang berdasarkan klan-Ali (Ahlul-Bait), Muawiyah, dan Usmaniyah (Turki)-semuanya mengusung ideologi radikal tersendiri. Kekhalifahan terakhir (kerajaan) klan Ibnu Saudpendiri Arab Saudi-adalah pengikut paham radikal Wahabi yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab.

Dengan bantuan Inggris, klan ini berhasil mendirikan negara Islam Arab Saudi dengan khalifah (raja) pertama Abdul Aziz bin Ibnu Saud (1880- 1953). Syaikh Najih Ibrahim, ulama berpengaruh dari Mesir, menyatakan bahwa sesungguhnya terorisme pemikiran lebih menakutkan dan mengancam daripada terorisme fisik. Kenapa? Karena, pertama, terorisme pemikiran adalah awal dari terorisme fisik. Syaikh Najih Ibrahim dan Syaikh Ali Muhammad Syarif, dalam bukunya, Hurmatu al-Ghuluwu fi al Din wa Takfir al-Muslimin (Larangan Berlebih-lebihan dalam Beragama dan Mengafirkan Umat Islam) menyatakan terorisme pemikiran atau ideologi radikal sangat berbahaya karena klaim kebenaran mutlaknya.

Terorisme pemikiran bertolak dari pandangan fanatik terhadap pendapatnya sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola pikir yang demikian tidak jarang berujung pada pemaksaan pemahaman dengan cara kekerasan. Kedua, memahamiteks-teks agamasecara harfiahdan tidak bisa menyelami makna dan hikmahnya.

Dengan cara demikian, mereka memahami makna Alquran tentang perang tanpa mengaitkan tujuan dan sebab ada perang tersebut. Ketiga, berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam sudut pandang mereka, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat dituding haram. Keempat, mudah mengafirkan kepada siapa saja yang berbeda pandangan. Ideologi ini sangat berbahaya karena menjadi awal dari kekerasan fisik.

Jika seseorang telah dinyatakan kafir, murtad, atau sesat, sama artinya boleh dilakukan kekerasan (pembunuhan) terhadap orang tersebut (Mufid, 2015). Pembantaian manusia di Paris oleh NIIS adalah wujud dari pemahaman radikal itu. Dendam NIIS terhadap Prancis yang ikut serta dalam pemboman terhadap Raqqah, ibu kota NIIS, bukan satu-satunya alasan kenapa teroris NIIS menembaki orang-orang tak bersalah di Paris.

Ada logika ekstrem yang jadi panduan kaum radikal. Prancis adalah negeri kafir dan sekutu biang kerok negeri kafir Amerika. NIIS mungkin mencatat, Prancis adalah negeri yang pernah melarang pemakaian jilbab di ranah publik, Prancis adalah negeri tempat majalah Charlie Hebdo yang kartun-kartunnya sering menghina Nabi Muhammad, dan Prancis adalah negeri sekuler anti- Islam.

Persoalannya, apakah bahaya radikalisme Islam hanya menghantui Prancis? Jawabnya: tidak. Indonesia pun kini tengah menghadapi ancaman kelompok radikal tersebut. Kita masih ingat aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok Mujahidinalumni Afghanistan-dengan tokoh-tokoh Imam Samudera, Amroji, Umar Patek, Dulmatin, dan lain-lain. Bom Bali, bom Kedutaan Australia, bom Ritz Carlton, bom JW Marriot, dan lain-lain adalah produk terorisme kelompok Mujahidin (alumni Afghanistan) tersebut.

Padahal, alumni Afghanistan ini jumlahnya hanya sekitar 600 orang. Berdasarkan catatan, dari 600 orang ini, hanya puluhan yang pernah terlibat langsung dalam peperangan melawan tentara Rusia di Afghanistan. Sebagian besar hanya belajar dan berlatih di Akademi Militer Afghanistan.

Sejauh ini belum pernah tercatat ada Mujahidin dari Indonesia yang tewas dalam peperangan di Afghanistan. Sekarang bandingkan dengan pengikut NIIS di Irak dan Suriah. Saat ini sudah tercatat 1000 orang lebih warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan NIIS. Mereka ikut berperang dan puluhanorangNISS-WNItewas. Dua orang di antaranya putra Imam Samudera dan Abu Jibril.

Jelas bahwa keterlibatan WNI dalam NIIS (Irak dan Suriah) jauh lebih besar ketimbang dalam Mujahidin (Afghanistan). Yang jadi persoalan, baik yang terlibat dalam Mujahidin maupun NIIS, mereka adalah kelompok-kelompok yang sama yaitu kelompok radikal Islam yang merindukan berdirinya khilafah atau negara Islam. Pertanyaannya, jika petualangan kelompok Mujahidin masa lalu telah menimbulkan korban ratusan jiwa di Indonesia, akankah petualangan NIIS masa datang juga akan memakan korban jiwa di Indonesia? Wallahu a’lam.

Pemerintah harus ekstrawaspada terhadap fenomena NIIS yang garang tersebut. Bukan tidak mungkin setelah Prancis, Mali, mereka juga akan menebarkan teror di Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar