Minggu, 22 November 2015

Urgensi BUMN tanpa Intervensi

Urgensi BUMN tanpa Intervensi

Tanri Abeng  ;  Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN
                                               KORAN TEMPO, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah penyelenggara pelayanan publik dan penghasil keuntungan bagi negara. Tapi, selama beberapa dekade, mereka tak bisa maksimal menghasilkan laba. Salah satu sebabnya adalah intervensi yang masih kental. Selalu saja ada intrik atau konflik yang mengiringi pengangkatan komisaris ataupun direksinya.

Intervensi ini datang dari luar, seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau birokrasi pemerintah. Pengangkatan direksi yang harus melalui fit and proper test oleh DPR membuat banyak kepentingan terselubung berbenturan satu sama lain.

Hal lain yang ikut memperburuk kinerja BUMN adalah budaya kerja organisasi yang sangat lamban, berbelit-belit, serta miskin kreasi dan inovasi. Untuk itu, butuh transformasi agar BUMN dapat selincah korporasi swasta yang cerdik mencari laba sekaligus transparan.

Sebagai eksekutif dari swasta dan kemudian menjadi menteri pertama national holding company, sejak 1998 saya berkali-kali menyatakan perlunya korporasi menjalankan good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik.

Setelah meneken perjanjian dengan Dana Moneter Internasional (IMF), Presiden Soeharto ingin pinjaman US$ 43 miliar dari IMF itu dibayar dari peningkatan nilai BUMN. Tapi Presiden sudah berpikir, kalau tidak ada transformasi, tidak mungkin BUMN bisa diberdayakan untuk meningkatkan nilai asetnya.

Pada Januari 1998, saya dipanggil Presiden dan diberi tahu bahwa Indonesia punya 158 BUMN. Jika nilainya bisa ditingkatkan, sahamnya dapat dijual sebagian untuk membayar utang. Saat itu nilai intrinsik BUMN US$ 44 miliar.

Saya menyarankan untuk mengeluarkan BUMN dari birokrasi ke korporasi. Untuk itu, dibentuk national holding company yang membawahkan 10 sectoral holding, seperti sektor perhubungan, perkebunan, keuangan, dan sektor lain yang berpola commercial market driven untuk mencapai profit. Pendekatan ini berbeda dari keinginan IMF, yang menekankan privatisasi.

Dalam setahun, saya dan menteri lain meningkatkan profit BUMN hingga 95 persen. Salah satu kebijakan yang saya ambil adalah memberikan konsesi bagi empat BUMN, yaitu Pelindo II, Pelindo III, Angkasa Pura I, dan Angkasa Pura II. Mengapa konsesi? Kita mendapat dana segar di depan, tapi masih memiliki separuh saham. Lalu, 20 tahun ke depan, seluruh saham kita dapat kembali. Itu terjadi pada Pelindo II dan Pelindo III. Dari dua perusahaan itu kita memperoleh hampir US$ 400 juta—jumlah yang besar dan langsung berdampak terhadap peningkatan nilai rupiah.

Penerapan GCG yang kini terus dijalankan oleh seluruh BUMN adalah hal yang harus kita pertahankan. Ini menjadi modal bagi BUMN untuk dapat mempertahankan mitra atau kerja sama bisnis. Sebagai contoh, Hutchison Port Holdings (HPH) tak akan mau kembali bekerja sama dengan Pelindo II dalam pengelolaan JICT (Jakarta International Container Terminal) jika Pelindo II tidak menjalankan prinsip-prinsip GCG. Kerja sama itu bahkan dapat menghasilkan manfaat di muka senilai US$ 486,5  juta.

Untuk melakukan GCG dibutuhkan para pemimpin yang hebat, cerdas, kuat sekaligus keras. Bahkan, di Pelindo II saat ini ada Oversight Committee (OC) yang dipimpin oleh Erry Riyana Hardjapamekas dan selalu menjaga praktek GCG. Orang-orang seperti Robby Djohan, Emirsyah Satar, R.J. Lino, Ignasius Jonan, dan Dahlan Iskan adalah para pemimpin BUMN yang telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang hebat, cerdas, kuat sekaligus keras.

Tanggung jawab berada di pundak seorang menteri BUMN sebagai bos national holding company. Dia harus memastikan bahwa para pemimpin BUMN nyaman bekerja. Agar menteri nyaman bekerja, dia harus dijamin oleh presiden. Sayangnya, tak satu pun menteri BUMN di negeri ini yang bekerja sempurna dan paripurna.

Mudah-mudahan, di masa Presiden Joko Widodo, Menteri Rini Soemarno mampu bertahan karena belum pernah ada Menteri BUMN yang bertahan lima tahun. Maksimal 2 tahun 6 bulan. Saya saja hanya 2 tahun.

Kita tentu memiliki mimpi BUMN di Indonesia bisa sebesar Temasek milik Singapura atau Khazanah di Malaysia. Dua national holding company tetangga itu bisa membesar karena tidak dijahili.

Formula menjadikannya raksasa hanya ada tiga, yaitu depolitisasi, debirokratisasi, dan penetapan aset dipisahkan dari aset negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar