Sabtu, 21 November 2015

Urgensi Kodifikasi UU Pemilu

Urgensi Kodifikasi UU Pemilu

Ramlan Surbakti  ;  Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                     KOMPAS, 19 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tata kelola pemilu sebagai subkajian pemilu terdiri atas empat aspek: peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu, proses penyelenggaraan pemilu, badan penyelenggara pemilu, dan sistem penegakan hukum pemilu.

Dari keempat aspek, aspek pertama (hukum pemilu) merupakan aspek paling penting karena lima alasan. Pemilu merupakan persaingan antarpeserta untuk memperebutkan jabatan yang jumlahnya sedikit. Karena yang memperebutkan jauh lebih banyak daripada jabatan yang diperebutkan, dan karena bagi sebagian orang jabatan merupakan segala-galanya, persaingan niscaya mungkin akan menggunakan uang dan/atau cara intimidasi dan ancaman kekerasan. Hukum berperan untuk mengatur persaingan yang bebas, tertib, dan adil antarpeserta pemilu.

Secara teknis proses penyelenggaraan pemilu merupakan prosedur mengubah suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif dan eksekutif baik pada tingkat nasional maupun daerah. Siapa yang menjadi pemilih, bagaimana pendaftaran atau pemutakhiran daftar pemilih dilakukan, dan apa saja hak dan kewajiban pemilih harus diatur secara jelas. Siapa yang dapat menjadi peserta pemilu, bagaimana pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta pemilu dilakukan, juga harus diatur lengkap.

Di mana peserta pemilu bersaing, berapa jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan, bagaimana menetapkan daerah pemilihan (dapil), juga harus diatur secara jelas dan lengkap. Siapa yang dapat menjadi calon, bagaimana pendaftaran, penelitian, dan penetapan daftar calon dilakukan juga harus diatur secara jelas. Bagaimana suara diberikan, suara diberikan kepada siapa, apa kriteria suara yang sah dan tidak sah, bagaimana kursi di setiap dapil dibagi kepada peserta pemilu, dan bagaimana menetapkan calon terpilih, semuanya harus diatur secara jelas dan lengkap. Prosedur yang digunakan untuk setiap tahapan pemilu harus memenuhi dua syarat: sesuai asas-asas pemilu demokratis dan mengandung kepastian hukum.

Pemilu diselenggarakan komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen). Yang dimaksud penyelenggara pemilu mandiri adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyelenggarakan pemilu tak berdasarkan tekanan atau intervensi institusi atau kekuatan lain melainkan semata berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bila menghendaki KPU mandiri/independen buatlah pengaturan yang menjamin kemandirian dan mencegah keberpihakan. Pemilu berkualitas dapat dicapai bila terdapat partisipasi warga negara sebagai anggota partai, pemilih, konstituen, dan pembayar pajak. Partisipasi ini perlu diatur secara lengkap akses dan salurannya di peraturan perundang-undangan.

Rakyat akan menerima hasil pemilu sebagai berlegitimasi secara politik dan hukum tak hanya bila hasil pemilu berintegritas (bukan hasil manipulasi, tetapi hasil penghitungan jujur), tetapi juga bila semua pelanggaran hukum pemilu ditegakkan secara adil dan tepat waktu. Untuk menjamin ini, perlu peraturan perundang- undangan yang mengatur dua hal. Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur lengkap ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu yang dapat tuntas ditegakkan beberapa hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu. Kedua, peraturan perundangan yang mengatur satu atau dua institusi dan mekanisme penegakan ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu.

Belum penuhi syarat

Apakah kelima aspek pemilu itu sudah diatur dalam UU Pemilu? Jawabannya: sudah. Akan tetapi, pengaturan itu belum memenuhi dua syarat utama pengaturan pemilu, yakni substansi pengaturan harus merupakan penjabaran empat prinsip demokrasi, dan menjamin kepastian hukum. Keempat prinsip itu adalah asas-asas pemilu demokratis, hak-hak warga negara berkaitan dengan pemilu, pemilu berintegritas, dan keadilan pemilu. Kepastian hukum secara negatif dapat dirumuskan sebagai berikut: tak ada kekosongan hukum (semua aspek pemilu diatur), ketentuan yang satu tak bertentangan dengan ketentuan lain (konsisten satu sama lain), tak ada ketentuan yang bermakna ganda atau multitafsir, dan semua ketentuan dapat dilaksanakan dalam praktik. Empat UU yang mengatur pemilu di Indonesia belum memenuhi kedua syarat.

Untuk menjamin pengaturan pemilu yang memenuhi kedua syarat, diperlukan kodifikasi empat UU mengenai pemilu menjadi satu Kitab Hukum Pemilu berdasarkan asas, tujuan, parameter, dan sistematika tertentu. Mengingat lingkup cakupan keempat UU mengenai pemilu itu begitu luas, apakah keempatnya dapat diintegrasikan menjadi satu Kitab Hukum Pemilu? Jawabannya: positif! Keempat UU Pemilu memiliki enam aspek yang sama dan empat aspek berbeda. Keenam aspek yang sama adalah asas pemilu, daftar pemilih, proses penyelenggaraan tahapan pemilu, parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pola partisipasi politik warga negara, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu. Keempat unsur yang berbeda adalah penyelenggara negara yang dipilih, jenis peserta pemilu, sistem pemilu yang digunakan, dan sejumlah ketentuan khusus yang hanya berlaku di beberapa daerah.

Mengapa kodifikasi atau Kitab Hukum Pemilu diperlukan? Pertama, pengaturan setiap jenis pemilu dengan UU tersendiri menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam bentuk kontradiksi dan duplikasi antar-UU maupun perumusan berbagai aspek proses penyelenggaraan pemilu yang tanpa standardisasi dalam nomenklatur dan lingkup pengertian. Siapa itu pemilih, dan apa itu tahapan, misalnya, belum seragam antartiga UU Pemilu. Pemilu merupakan prosedur mengonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara. Prosedur diatur dengan UU.

Salah satu indikator pemilu demokratis adalah predictable procedures and unpredictable results (kepastian prosedur, tetapi tak ada yang tahu hasil pemilu). Kepastian prosedur dijamin melalui kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pengaturan pemilu akan dapat dijamin bila UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemilu Kepala Daerah, dan UU Penyelenggara Pemilu diintegrasikan menjadi satu UU Pemilu yang dinamai Kitab Hukum Pemilu.

Kedua, proses penyelenggaraan pemilu sebagai proses mengubah suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara dalam keempat UU Pemilu baru dirumuskan berdasarkan dua prinsip pemilu demokratis, yaitu asas-asas pemilu dan hak-hak warga negara yang berkaitan dengan pemilu. Pemilu berintegritas dan keadilan pemilu belum digunakan sebagai prinsip yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu. Proses penyelenggaraan semua jenis pemilu akan dapat dirumuskan berdasarkan delapan parameter pemilu demokratis (sebagai penjabaran keempat prinsip pemilu demokratis tersebut) bila keempat UU Pemilu tersebut diintegrasikan menjadi satu Kitab Hukum Pemilu.

Ketiga, pengaturan pemilu selama ini tak mampu menciptakan penyelenggara pemilu yang profesional. Pembagian tugas antara para anggota KPU dengan para pegawai di bawah sekretaris jenderal KPU tak begitu jelas baik dalam peran maupun dalam tanggung jawab. Tugas sekjen KPU dalam UU Penyelenggara Pemilu dirumuskan sebagai ”membantu KPU menyelenggarakan pemilu.” Rumusan seperti ini tak hanya menempatkan anggota KPU sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana teknis pemilu, tetapi juga tak menentukan apa tanggung jawab sekjen KPU. Para anggota KPU merupakan satu-satunya KPU di dunia yang terlibat mendalam dalam soal teknis pelaksanaan pemilu.

Keempat, sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu selama ini belum mampu mencapai putusan yang adil dan tepat waktu baik karena pengaturan pemilu masih mengandung kekosongan hukum (sampai kini belum ada rumusan jelas mengenai ketentuan administrasi pemilu, hukum acara, dan sanksinya) maupun karena terlalu banyak instansi yang terlibat dalam proses penegakan hukum (Bawaslu, KPU, Polri, Kejaksaan, PN dan PUTN, DKPP, dan MK). Salah satu substansi Kitab Hukum Pemilu adalah mengisi kekosongan hukum perihal ketentuan administrasi pemilu, dan penyederhanaan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu. Sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu yang diusulkan adalah Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dihapuskan, fungsi pengawasan terhadap proses penyelenggaraan pemilu dikembalikan kepada semua unsur masyarakat; dan Bawaslu ditransformasi menjadi Komisi Penegak Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pemilu (KPH-PSP).

Produk dari kelemahan sistem

Kelima, sistem pemilu proporsional terbuka secara teknis memiliki tiga kelemahan fatal. Sistem ini paling rumit di dunia sehingga sukar dipahami tak hanya oleh pemilih awam, tetapi juga para kader partai. Kerumitan itu tampak pada jumlah pilihan calon yang terlalu banyak (36-144 nama calon), jumlah cara mencoblos yang sah terlalu banyak, dan penerapan metode kuota (BPP) dan pembagian sisa kursi kepada partai. Kelemahan kedua, proses rekapitulasi hasil penghitungan suara terlalu panjang (terpanjang di dunia), melalui 4-6 tingkat. Kelemahan ketiga, sistem ini memberi insentif bagi calon, pemilih, dan petugas pemungutan/penghitungan suara melakukan transaksi jual-beli suara.

Transaksi jual-beli suara yang ketahuan dan terungkap ke permukaan pada Pemilu 2014, apalagi yang tak ketahuan, menunjukkan praktik ini merupakan produk dari sistem daripada produk tingkah laku menyimpang dari sejumlah orang. Ketiga kelemahan ini akan dapat diatasi dalam Kitab Hukum Pemilu dengan menawarkan sistem pemilu proporsional yang lebih sederhana baik dalam tata cara pemberian suara maupun rekapitulasi hasil penghitungan suara, tetapi tanpa insentif untuk transaksi jual-beli suara pada siapa pun.

Keenam, sistem pemilu proporsional terbuka dari segi akibat yang ditimbulkan oleh setiap unsur sistem pemilu mengandung enam kontradiksi. Akibat kontradiksi ini tujuan yang hendak dicapai oleh satu unsur sistem pemilu digagalkan pencapaiannya oleh konsekuensi unsur sistem pemilu lainnya. Berikut kontradiksi itu. Pola pencalonan berdasarkan nomor urut calon (daftar partai), tetapi penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan ”suara terbanyak”. Jumlah partai di DPR hendak dikurangi dengan menaikkan ambang- batas perwakilan menjadi 3,5 persen. Namun, terdapat tiga unsur sistem pemilu yang justru mempermudah partai memperoleh kursi, seperti jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil DPR berkisar 6-10 kursi, penggunaan metode kuota dan the largest reminding dalam membagi kursi setiap dapil kepada partai, dan pemilu anggota DPR dilaksanakan terpisah selang waktu tiga bulan dari pemilu presiden.

Ketujuh, sistem pemilu proporsional terbuka ternyata menghasilkan demokrasi defisit. Parpol lebih banyak tampil sebagai sumber persoalan daripada sumber solusi: parpol dikelola secara oligarkis, bahkan personalistik; pengeluaran partai lebih banyak daripada penerimaan resmi, tetapi pengeluaran tak berkaitan dengan fungsi utama parpol; parpol lebih banyak diwarnai ideologi sebagai tontonan (tanda gambar, warna, alat peraga, jargon, dan tokoh) daripada ideologi sebagai tuntunan (menuntun perumusan kebijakan publik); dan partai lebih berorientasi pada mencari dan mempertahankan kekuasaan daripada menyiapkan calon pemimpin dan menawarkannya kepada rakyat pada pemilu.

Sistem perwakilan politik yang diadopsi ”kiri OK kanan OK”. Siapa yang mewakili dapil: anggota DPR dan DPRD ataukah parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD? DPR dan DPRD cerminan keragaman penduduk (keterwakilan) ataukah anggota DPR dan DPRD yang akuntabel kepada dapil? Bagaimana mewakili aspirasi dapil: berdasarkan visi, misi, dan program partai ataukah konsultasi dengan konstituen sebelum membuat keputusan? Jawaban atas setiap pertanyaan ini: keduanya. Partisipasi politik warga negara jauh dari prinsip kedaulatan rakyat karena warga negara sebagai anggota partai sama sekali tak berperan, warga negara sebagai pemilih cenderung hanya tukang coblos, warga negara sebagai konstituen diperlihatkan hanya sebagai peminta sumbangan, warga negara sebagai pembayar pajak sama sekali tak berperan. Akhirnya pemerintahan presidensial tak efektif terutama karena terlalu banyak parpol yang memiliki kursi dalam jumlah yang relatif seimbang di DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar