Minggu, 27 Desember 2015

Apocalypse

Apocalypse

  Goenawan Mohamad  ;  Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                   TEMPO.CO, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mungkin Apocalypse Now! sedang dipertunjukkan di Timur Tengah sekarang. Bukan sebagai film. Pada 5 Juli 2014, di Masjid Al-Nuri di Kota Mosul, Irak, seseorang yang disebut sebagai Abu Bakar al-Baghdadi muncul dan memberi khotbah Ramadan. Sorbannya hitam, jubahnya hitam, tubuhnya besar, wajahnya angker dengan alis yang ketal; entah bagaimana prosedurnya, ia dianggap sebagai Sang Khalif, pemimpin umat Islam sedunia. Dan sejak itu, sederet laporan yang membingungkan mengalir lewat media dunia tentang apa yang dalam bahasa Inggris disebut IS, Islamic State, atau Daesh, akronim dari ad-Dawlah al-Islmiyah fi'l-Irq wa-sh-Shm.

Yang terdengar bukan hanya proklamasi sebuah daulat, tapi juga pernyataan perang—bahkan lebih dari itu, sebuah jalan brutal menyambut Hari Akhir. Para prajurit IS menyembelih dengan begitu saja para tahanan mereka untuk direkam dalam video dan dipertontonkan ke seluruh dunia. Mereka menyalibkan musuh dan menembaki deretan manusia yang mereka tangkap. Mereka menyerang lawan, bila perlu dengan menjadikan diri bom. Mereka membunuh di mana saja, juga dalam konser, siapa saja yang mereka anggap kafir.

Dunia bingung, khususnya dunia yang menganggap waktu berjalan ke depan, lurus, tak berbalik. Fanatisme dan kebrutalan IS tampak bukan dari zaman ini, tapi daur ulang yang dibalik dari kebuasan sejarah politik Timur Tengah abad ke-11, terutama oleh seorang misterius bernama Hassan al-Sabbah. Orang ini memimpin organisasi rahasia para pendukung dinasti Fatimiyah untuk secara sistematis membunuhi tokoh-tokoh penguasa Seljuk, pengikut Sunni, yang berkuasa di Bagdad.

Al-Sabbah bersembunyi di pegunungan di utara Suriah, di pelosok Mazanderan. Organisasinya diperkuat dengan para dai yang menyebarluaskan doktrin perlawanan dan para fidayin yang melaksanakan dengan patuh ajaran dan instruksi sang pemimpin. Para penulis sejarah mengatakan para fidayin melakukan pembunuhan sehabis mengisap hashish, supaya teler—dan sebab itu mereka disebut hashashin, yang dalam bahasa Inggris diucapkan sebagai assassin.

Memang mengherankan bahwa dendam dan kebengisan menghantui bagaikan mambang Timur Tengah selama 1.000 tahun. Persekutuan antara Sunni dan Syiah terus berlanjut, balas-membalas, hingga hari ini, sementara di dunia lain sengketa antar-umat, kalaupun ada, tak seawet itu. Di dunia lain, waktu berjalan, zaman bergerak, bahkan ada konsep "kemajuan", tapi tak demikian tampaknya di gurun dan kota-kota Irak.

Bahkan bahasa bertahan dalam idiom tua. Syekh Abu Muhammad al-Adnani, juru bicara Daesh alias IS, misalnya, menyerukan agar orang kafir dihantam kepalanya dengan "batu karang" atau diracuni atau "dirusak ladangnya"—ketika ia berbicara kepada pengikutnya di Kanada dan Prancis di abad ke-21.

Adakah IS datang dari kapsul waktu? Dapatkah orang lain zaman ini mengajak mereka ke dalam percakapan? Ataukah mereka justru hendak menunjukkan bahwa perubahan zaman hanya fetish, sesuatu yang dianggap azimat yang dipegang teguh?

IS, berbeda dengan gerakan radikal sejak abad ke-19, mungkin sebuah keyakinan dystopia, antithesis dari utopia. Masa kini begitu buruk bagi mereka, tapi masa depan juga tak menjanjikan dunia yang lebih baik—bahkan masa depan hanya akan lebih berharga jika itu berarti Kematian dan Kiamat. Tumbuh di masyarakat Irak dan Suriah, di mana politik bukan berarti pembebasan, bukan pula berarti merebut keadilan, daulat yang mereka tegakkan tak dilahirkan melalui proses politik. Bahkan praktis menolak politik. Daulat mereka lahir dari dendam yang menahun dan putus asa yang tersembunyi.

Dendam itu terarah ke "Barat". Perasaan ini tertanam sejak kolonialisme menginjak-injak mereka, dan mencapai puncaknya—makin tajam, makin punya dasar—setelah pada 2003, Amerika Serikat dan Inggris, dengan dusta besar yang dibiarkan dunia, menyatakan Irak menyimpan "senjata pemusnah massal". Amerika dan Inggris pun menyerbu negeri itu. Yang mereka tinggalkan: kehancuran yang berlarut-larut.

Di situlah putus asa merayap masuk. Ada kesadaran bahwa dusta dan kesewenang-wenangan akan tetap bertahan, berkuasa, dan tak akan bisa mereka kalahkan. Pintu tetap tertutup dan ruang hidup terkutuk. Waktu tak berjalan ke depan.

Apocalypse Now! Pembinasaan semesta tak terjadi nanti, tapi hari ini—seperti yang digambarkan Kol. Kurtz dalam film Francis Coppola itu. Perang diledakkan tanpa dalih kecuali penaklukan, kekejaman dilakukan tanpa sesal. Dengan kata lain, sebuah perspektif tanpa harapan.

"Aku telah melihat horor... horor yang tak pernah kau lihat. Tapi kau tak berhak menyebutku pembunuh. Kau berhak membunuhku... kau tak berhak menghakimiku," kata Kurtz.
Tapi andai demikian, apa yang berharga dalam karunia yang disebut hidup?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar