Rabu, 23 Desember 2015

Ekonomi Dunia Tumbuh, tetapi Beriak

Ekonomi Dunia Tumbuh, tetapi Beriak

Simon Saragih  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Secara umum, hampir bisa dipastikan perekonomian global tumbuh solid. Tidak ada lembaga yang memprediksi resesi atau kontraksi. Asia melanjutkan peran sebagai mesin perekonomian global.

Bahkan, jika reformasi dilanjutkan, prospek pertumbuhan lebih pesat. "Negara berkembang menemukan pijakan kaki," demikian judul laporan Goldman Sachs tentang Prospek Perekonomian Global 2016, seperti dikutip harian Inggris, The Financial Times, edisi 30 November.

"Setelah enam tahun tumbuh menurun, perekonomian negara berkembang menanjak pada 2016. Meksiko, Eropa Timur, dan Eropa Selatan, khususnya Polandia dan Hongaria, serta Asia tumbuh lebih tinggi," demikian lanjutan laporan Goldman Sachs.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyimpulkan pertumbuhan ekonomi global tumbuh 3,6 persen pada 2016, naik dari tahun 2015 yang diperkirakan tumbuh 3,1 persen. Meski demikian, pertumbuhan tak merata. Eropa bertumbuh, tetapi masalah tumpukan utang menghantui. Jepang dengan penduduk menua tidak akan tampil dahsyat.

Amerika Serikat juga memiliki masalah dengan pertumbuhan struktural. Setelah perekonomian AS ditaburi uang beredar 4,5 triliun dollar AS dan suku bunga rendah antara 0-0,25 persen pertumbuhan belum pulih total, sebagaimana juga diakui Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen.

Berbeda dengan Asia

Hal ini berbeda dengan Asia, dengan penduduk muda disertai pertumbuhan perdagangan yang luar biasa. Memang ada yang menyebut situasi perekonomian Asia tak bisa diprediksi pada 2016, yang bisa mencengangkan, bisa mengejutkan. Masalah dengan pertumbuhan Tiongkok yang menurun menjadi dasar dari pandangan seperti itu.

Namun, tidak demikian dalam pandangan beberapa pemimpin korporasi. "Dari apa yang saya lihat, saya yakin dengan perkembangan ekonomi Tiongkok. Tentu ada penyesuaian dalam pertumbuhan, tetapi saya optimistis," kata Ian Bremmer, Presiden dan Pendiri Eurasia Group, perusahaan konsultan politik yang berbasis di New York, seperti disiarkan televisi Bloomberg, edisi 15 Desember.

Hal serupa dinyatakan Ling Hai, Presiden Mastercard Asia-Pacific. Tiongkok menjadi bisnis besar yang terus besar hingga 2016. Dambisa Moyo, penulis buku dan ekonom yang paham soal negara berkembang, juga tak melihat persoalan besar dengan ekonomi Tiongkok.

Rebutan pengaruh

Para pemikir AS pun tahu potensi Asia itu, termasuk Presiden AS Barack Obama. Prospek Asia itu bukan sekadar baik di tahun 2016, tetapi baik dalam jangka panjang.

Emil Salim mengatakan, AS tidak ingin kehilangan pamor dan kesempatan di Asia. "Oleh karena itu AS ingin menancapkan kuku di Asia lewat Trans-Pacific Partnersip (TPP)," katanya merujuk organisasi Kemitraan Trans-Pasifik, yang didominasi oleh AS.

AS membajak TPP, yang awal pendiriannya dilakukan oleh sejumlah negara Asia Pasifik. AS ingin menandingi pengaruh Tiongkok yang ada di organisasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang ditandatangani di Kamboja tahun 2012. Tak lama setelah RCEP beranggotakan 16 negara terbentuk, AS langsung mencaplok TPP, beranggotakan 12 negara.

Baik TPP maupun RCEP merupakan dua lembaga yang dinilai banyak pihak merupakan forum untuk mempercepat liberalisasi dagang dan investasi. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan, keberadaan Tiongkok di TPP akan menentukan.

Akan tetapi, ini soal rivalitas AS dan Tiongkok. Bakal calon presiden AS Hillary Clinton pun memperingatkan bahaya Taiwan jika terlalu tergantung pada ekonomi Tiongkok, sebagaimana ditulis di harian The China Post, 30 November. Ini pertanda prospek besar Asia sekaligus perang dingin ekonomi berkecamuk. Hal ini terjadi karena sinar ekonomi Asia semakin merebak, dengan pendirian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang menjadi inisiatif Tiongkok. Keberadaan AIIB didukung Eropa dan dunia. Hanya Jepang dan AS yang menolak bergabung.

Sinar Asia lewat Tiongkok semakin membara dengan pengakuan renminbi sebagai alat tukar resmi yang akan dipakai mulai Oktober 2016 oleh IMF. Pengakuan renminbi telah mengambil porsi euro dan poundsterling, dan bukan mustahil akan menggerogoti peran dollar AS. Maka, tidak heran Jose Manuel Barroso, mantan Ketua Komisi Uni Eropa, mengatakan, "Saya melihat Tiongkok begitu prospektif."

Kebijakan tambal sulam

Itulah eksternalitas positif secara global. Apakah otomatis semua itu akan memakmurkan? Tidak. Upaya negara-negara harus kuat menangkap momentum. Persoalannya, masih banyak negara yang lengah. "Ada faktor kuat untuk pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, sejumlah negara berkembang tidak menjadikan krisis sebagai pemicu reformasi. Masih banyak kebijakan yang tambal sulam," kata Bhanu Baweja, ahli strategi di UBS.

Laporan ANZ dan HSBC pada 16 Desember membandingkan sejumlah negara. Indonesia termasuk lemah soal kekuatan cadangan devisa dan kewajiban luar negeri. Indonesia berada di posisi buruk bersama Malaysia. Pertumbuhan akan diraih Indonesia, tetapi juga riak-riak akan dialami. Riak-riak dimungkinkan dengan rencana Bank Sentral AS menaikkan lagi suku bunga inti (prime rate), yang terbukti membuat modal asing keluar dari Indonesia dan rupiah sempoyongan. "Karena Indonesia begitu lama tertidur. Juga begitu lama tak memikirkan strategi global," kata ekonom Djisman Simandjuntak.

Namun, ada harapan. "Reformasi fundamental jangka pendek dalam pengeluaran dan penerimaan adalah hal mendasar jika Indonesia ingin lebih makmur pada 2016 dan setelahnya," kata David Nellor, Profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, seperti dikutip East Asia Forum, 13 Desember. Membereskan bocoran-bocoran pendapatan dan mendongkrak pengeluaran, terutama untuk infrastruktur adalah potensi besar Indonesia. Hanya dengan demikian eksternalitas positif mampu memakmurkan rakyat di negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar