Kamis, 31 Desember 2015

Energi, Kemitraan Global, dan Kita

Energi, Kemitraan Global, dan Kita

  Sudirman Said  ;  Menteri ESDM
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun pertama Kabinet Kerja patutlah dicatat sebagai tahun Indonesia melebarkan sayap pergaulan dunianya di kancah energi. Setelah terlengar sejak 2009, Indonesia kembali siuman, reaktivasi, sebagai anggota penuh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Bersama Tiongkok dan Thailand, Indonesia jadi negara perdana yang bergabung sebagai anggota mitra Badan Energi Internasional (IEA) dalam pertemuan Menteri Energi IEA, 17-18 November 2015 di Paris. Di IEA, badan yang berdiri dalam kerangka Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan itu, Indonesia berkepentingan terutama untuk mengembangkan kemitraan dalam membangun energi bersih dan energi baru terbarukan (EBT). Artinya, Indonesia kini telah dan tengah menyemplung ke dalam dua komunitas-produsen energi dunia: energi fosil minyak dan gas bumiserta EBT.

Banyak keuntungan yang bisa diraih. Menjadi anggota IEA makin membuka akses kita terhadap teknologi permigasan termutakhir, mengingat sebagian besar anggota IEA negara maju. Di Konferensi Para Pihak Ke-21 Perubahan Iklim di Paris, bersama 19 negara yang menguasai 80 persen lebih pengembangan dan investasi energi bersih, Indonesia mendeklarasikan Mission Innovation. Negara yang bersepakat menjalankan misi revolusioner pengembangan energi bersih melalui kemitraan pemerintah dan swasta itu, antara lain, AS, Tiongkok, India, Perancis, Jerman, Brasil, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Arab Saudi.

Indonesia pun aktif merumuskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan pada Sidang Umum PBB di New York, September 2015. Di Agenda 2030 itu Indonesia berkepentingan khususnya untuk menerjemahkan dan menurunkan tujuan pembangunan energi untuk semua ke dalam agenda nasional.

Kemitraan multilateral diimbangi dengan kemitraan bilateral. Dengan AS, memanfaatkan kunjungan Presiden Joko Widodo ke sana pada November 2015, Indonesia bermitra di bidang energi. Peningkatan kerja sama bisnis energi juga dilakukan dengan Timur Tengah. Di sektor energi bersih Indonesia menggalang kemitraan bilateral dengan Denmark, Finlandia, dan Swedia.

Peran aktif di pelbagai forum energi internasional dilakukan untuk mendukung percepatan perwujudan ketahanan energi bangsa dengan mengambil manfaat maksimum dari kerja sama global, baik antarpemerintah maupun kerja sama bisnis.

Rencana lima tahun ke depan dalam membangun ketercukupan energi cukup menantang. Indonesia membangun 53.000 megawatt (MW) listrik dalam kurun 70 tahun, tetapi hanya dalam lima tahun ke depan Indonesia akan membangun 35.000 MW. Indonesia selama 40 tahun terakhir hanya bisa mempromosikan energi terbarukan sebesar 6 persen. Namun, dalam 10 tahun mendatang, bertekad mewujudkan tambahan minimum 17 persen energi terbarukan untuk capai target energi terbarukan minimum 23 persen.

Mewujudkan 35.000 MW dalam lima tahun beserta tambahan 17 persen EBT dalam 10 tahun adalah hal yang hampir mustahil. Ini bisa terwujud hanya jika ada langkah luar biasa, ada ikhtiar revolusioner. Salah satunya adalah berpartisipasi aktif di forum internasional. Itu dilakukan sejalan dengan aksi lain di dalam negeri: memperkuat kelembagaan nasional pengembangan energi maupun melibatkan segenap komponen bangsa dalam mendorong pemanfaatan energi.

Revolusi pembangunan harus sejalan dan memiliki gaung yang setingkat dalam multilevel (lokal, nasional, internasional) serta terintegrasi secara horizontal dengan melibatkan multiaktor. Sejak presiden pertama, Bung Karno, semangat dan partisipasi Indonesia secara aktif di dunia internasional selalu didorong. Semua itu ditempatkan dalam konteks membangun kedaulatan bangsa dan memperkuat kemandirian rakyat.

Merevolusi diri

Berdaulat itu merevolusi diri. Inilah yang sedang kita lakukan dalam membangun kedaulatan energi saat ini. Pertama, untuk merevolusi energi nasional, Indonesia harus berjejaring lebih aktif dengan komunitas internasional. Meski importir neto minyak, Indonesia memutuskan mereaktivasi keanggotaan di OPEC. Dasar pertimbangannya adalah menjadi bagian aktif dari komunitas pengekspor dan pasar minyak. Kita ingin duduk sejajar dengan negara pengekspor membicarakan kebijakan minyak global. Bukan semata pasif sebagai penonton atau pembeli. Kita ingin memiliki akses lebih atas informasi, turut menentukan arah kebijakan pengelolaan minyak dunia, termasuk menentukan harga dan pasarnya.

Kita ingin lebih berdaya dalam negosiasi langsung dengan para pengekspor minyak sehingga bisa mendapat harga lebih murah ketimbang jika mendapatkannya dari pihak ketiga atau melalui sejumlah perantara, pemburu rente, seperti selama ini.

Percepatan pengembangan energi nasional butuh dukungan investasi internasional. Dari 35.000 MW yang diusahakan, PLN hanya akan mengembangkan 5.000 MW. Selebihnya diharapkan dari investor. Konsekuensinya, pintu investasi Indonesia harus dibuka. Indonesia harus lebih aktif menjajakan peluang investasi energinya melalui forum internasional agar nilai tawar Indonesia ketika bernegosiasi dengan berbagai negara atau investor lebih terdongkrak.

Kedua, pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan butuh peran teknologi yang besar. Rencana besar Indonesia mendiversifikasi energi jadi minimum 23 persen dari energi terbarukan pada 2025 butuh masifikasi alih teknologi dari negara maju.

Keterlibatan Indonesia dalam prakarsa, seperti IEA maupun Mission Innovation membuka peluang akses teknologi energi bersih yang lebih murah, membangun industri energi bersih nasional, serta mengalirkan investasi energi bersih yang mendukung ketahanan energi bangsa.

Target kita meningkatkan rasio elektrifikasi, dari 85 menuju 100 persen, butuh kemitraan dan dukungan internasional. Teknologi EBT yang bisa diakses murah oleh rakyat di daerah terpencil akan meningkatkan akses dan penguasaan mereka terhadap listrik dan energi yang sebisa mungkin dikelola secara lokal juga.

Kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam penguasaan teknologi di sektor energi harus terus ditingkatkan agar makin kompetitif secara global. Pusat keunggulan untuk energi bersih yang kini tengah dikembangkan di Bali adalah platform bagi ikhtiar penguasaan dan pengembangan teknologi energi secara bertahap—di dalam negeri dulu, lantas berlanjut ke kawasan regional, dan seluruh dunia —yang dijalankan putra-putri terbaik Indonesia.

Ketiga, tren global menunjukkan bahwa energi terbarukan akan segera jadi bahan bakar utama dunia. Data IEA menunjukkan energi terbarukan akan memanfaatkan hampir 60 persen dari total 5 triliun dollar AS investasi pembangkit listrik baru di dunia dalam 10 tahun ke depan, terutama didorong oleh AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.Secara global kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan menyumbang 1.828 gigawatt (GW) pada 2014, dibandingkan 1.500 GW yang berbasis gas dan 1.880 GW berbasis batubara.

Jumlah tenaga kerja yang terserap dari pengembangan energi terbarukan meningkat 18 persen tahun lalu, 200.000 di antaranya berpindah dari sektor minyak dan gas dalam setahun terakhir. Bahkan negara penghasil energi fosil, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab saat ini mengembangkan energi terbarukan secara besar-besaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar