Senin, 21 Desember 2015

Khotbah Jumat tentang Freeport

Khotbah Jumat tentang Freeport

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                KORAN SINDO, 19 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Khatib (pemberi khotbah) salat Jumat di kampung saya kemarin siang memberi nasihat kepada jamaah agar tidak suka saling memojokkan, saling menjelekkan, dan mempermalukan orang lain di depan umum. Kata sang Khatib, orang bertakwa tidaklah memfitnah atau melakukan ghibah terhadap orang lain. Fitnah adalah menyebarkan isu atau berita yang tidak benar tentang orang lain, sedangkan ghibah adalah memberitakan kejelekan orang lain yang memang ada dan terjadi. Khatib melanjutkan, agama melarang kita membuat fitnah, agama melarang kita melakukan ghibah, agama tidak membolehkan kita saling menjelekkan orang lain di depan umum.

Agama mengajarkan kasih sayang dan saling menghormati. Rupanya Khatib merasa bising dan terganggu oleh kegaduhan di televisi. Dia memberi contoh perdebatan tentang isu PT Freeport Indonesia yang menghadirkan (mantan) Ketua DPR Satya Novanto ke panggung kontroversi pemberitaan.

Kasus Setya Novanto yang dikenal dengan kasus #PapaMintaSaham memang telah menimbulkan kegaduhan dan saling tuding. Ada yang menyerang Novanto dan menjadikannya sebagai objek bulan-bulanan sebagai pelanggar etika sesuai dengan laporan Menteri ESDM Sudirman Said dan kesaksian Maroef Samsoedin. Ada yang membela Novanto dengan segala macam ekspresi sambil juga menyerang pihak Sudirman Said dan Maroef Samsoedin.

Semuanya berteriak dan saling tuding, di Gedung DPR, di koran, di forum diskusi, di media sosial, dan, yang paling seru di televisi dengan stasiunnya masing-masing. Kata sang Khatib, semua itu dosa. Agama kita melarang saling fitnah karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Tak boleh sembarang menuduh orang kalau tidak ada buktinya. Agama kita melarang ghibah, agama kita melarang kita bertengkar dengan orang lain dan mengharuskan kita saling menyayangi.

Agama kita melarang kita banyak berprasangka Hal yang dikatakan oleh Khatib itu benar semua, tetapi tidak semua yang benar dikatakannya. Dalil-dalil dari Alquran maupun hadis Nabi, yang dia jadikan dasar argumen untuk mengingatkan jamaah adalah benar semua. Banyak ayat Alquran dan hadis yang melarang kita memfitnah, ber-ghibah, menudingnuding orang di depan umum, dan berprasangka.

Tetapi ada hal lain yang juga benar yang tidak disampaikan oleh Khatib, yakni dalil-dalil yang mewajibkan kita menegakkan kebenaran dengan tegas. Dalam keadaan tertentu, demi kebenaran dan keadilan, kita justru harus berani membongkar kesalahan orang lain sesuai dengan jalur-jalur dan cara-cara yang tersedia. Bukan karena ingin memojokkan dan mempermalukan orang lain, melainkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ada hadis Nabi, ”Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran maka perbaikilah itu dengan tanganmu (kekuasaan, jika engkau mempunyai kekuasaan), jika tidak bisa memperbaiki dengan kekuasaan maka perbaikilah itu dengan lisanmu (nasihat, diskusi, debat agar menjadi jelas), dan jika tidak bisa memperbaiki dengan kekuasaan atau nasihat dan pendapatmu, perbaikilah itu dengan hatimu (melalui doa)”.

Jadi, berdasarkan hadis Nabi tersebut justru kita tidak boleh diam kalau melihat kemungkaran atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, asalkan jangan membuat fitnah. Dalam kehidupan sehari-hari yang normal memang hidup harus dibangun dengan penuh kedamaian, tidak saling menjatuhkan, tidak saling mengejek, dan tidak saling membuka aib orang lain.

Tetapi dalam keadaan tidak normal, misalnya, jika ada orang melakukan pelanggaran atas hak-hak masyarakat, maka kita bukan hanya boleh mempersoalkannya, melainkan wajib melakukan tindakan nyata, dari menggunakan kekuasaan negara sampai berteriak-teriak agar hukum dan etika ditegakkan. Itulah jalan (syariat) dalam Islam. Islam selalu memberi jalan bagi niat baik dan kebaikan.

Berlaku baik itu bisa dilakukan melalui kesantunan dan saling menghormati seperti dilarang memfitnah dan melakukan ghibah. Tetapi bisa juga niat baik itu dilakukan dengan tegas dan berteriak keras membongkar kesalahan orang lain. Ini sama halnya dengan larangan berprasangka. Di dalam Alquran misalnya ada larangan berprasangka karena berprasangka itu dosa.

Tetapi bukan berarti berprasangka itu benar-benar dilarang. Prasangka bisa dilakukan untuk menegakkan kebaikan. Orang melakukan kejahatan saja diselidiki lebih dulu melalui dugaan dan sangkaan, masa prasangka dilarang? Prasangka itu boleh kalau untuk menyingkap kebenaran.

Di dalam Alquran Surat Al- Hujurat ayat 12, larangan prasangka hanya ditujukan untuk sebagian saja, bukan untuk semua prasangka. Ayatnya berbunyi, ”Jauhilah olehmu banyak prasangka karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” Jelas sekali ayat Alquran menyebut bahwa sebagian prasangka saja yang dosa.

Artinya, ada prasangka yang bukan dosa, malah menjadi berpahala jika itu dimaksudkan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kitab suci Alquran dan sunah Rasul menyediakan semua dalil yang diperlukan untuk melakukan apa pun asal dengan niat yang baik, tulus, dan benar. Innamal aInnamal amaalu bin-niyaat, ”Sesunggunya baik dan buruknya perbuatan itu tergantung pada niat,” demikian sabda Nabi.

Dalam gaduh-gaduh soal Freeport ini, tak perlulah kita merasa takut untuk menilai dan berteriak tentang terjadinya ketidakbenaran yang diduga kuat dilakukan oleh pejabat, apa pun jabatannya. Yang penting kita bersikap adil, jangan hanya menyasar satu pihak, misalnya hanya SN atau hanya SS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar