Rabu, 30 Desember 2015

Kutu Busuk Harga BBM

Kutu Busuk Harga BBM

  Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                     HALUAN, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Harga bbm di­tu­runkan setengah hati. Begitulah ba­hasa lain yang bisa disematkan kepada kebi­jakan penetapan harga BBM teranyar versi pemerintah. Mengapa? Karena seha­rus­nya harga bisa turun lebih murah, toh memang harga minyak dunia lagi tiarap. Bahkan dari analisa-analisa komoditas yang ber­kem­bang, harga minyak dunia masih berpeluang mendarat di level $20 per barel.

Namun anehnya, justru pemerintah mengerem keja­tuhan harga jual dalam negeri pada saat harga harus­nya ngebut diturunan glo­bal. Bahasa jualannya seder­hana, yakni untuk proyek rakyat yang bernama keta­hanan energi sehingga hak pengurangan harga yang harusnya bisa segera dite­rima publik justru disunat alias dikutip masuk ke kan­tong pemerintah.

Selama ini memang logi­ka berpemerintahan di nege­ri ini selalu begitu. Ketika rakyat diminta berkorban, pemerintah selalu punya banyak bahasa untuk mendo­rongnya. Namun ketika rakyat seharusnya mene­ri­ma haknya, selalu saja ada bahasa halus untuk mem­bendungnya.  

Ketika pemerintah sam­bil tertawa-tawa men­cip­takan berbagai mata ang­ga­ran untuk alokasi proyek ini dan itu atas nama APBN alias uang rakyat, legislatif dan eksekutif bersekongkol la­yak­nya mafia-mafia jebo­lan italia, merekayasa kon­flik-konflik picisan agar ter­lihat saling me­la­ku­kan check and balances, untuk menghindari ijin lang­sung dari yang empunya kedau­latan, yakni rakyat pemi­lih. Namun saat urusan sunat-menyunat hak pu­blik, peme­rintah tergo­long handal dalam mencarikan bahasa pengalihan,  memindai hak rakyat ke dalam bentuk lain agar tak parkir langsung dihalaman atau dapur para pemilih.

Aksi permerintah ini equivalent dengan reaksi pemerintah saat dikritik mengapa memutuskan me­nai­kan harga BBM bebe­rapa waktu lalu. Trend naik harga global dijadikan ta­meng untuk menghilangkan kapasitas proteksi peme­rintah terhadap rakyatnya. Namun saat harga minyak global melorot turun, justru reaksi pemerintah kali ini sangat berbeda. Harga jual dalam negeri tak dibiarkan melorot sebagaimana mes­tinya. Pemerintah malah mengutip beberapa ratus perak dari harga beli yang dibayarkan publik. 

Dan lucunya, pembayar harga BBM versi ini adalah rakyat yang seharusnya men­­dapat lindungan peme­rintah karena konsumen premium biasanya berasal dari kalangan menengah ke bawah dan konsumen solar berasal dari segmen industri yang sudah terpukul berkali-kali akibat penebalan biaya produksi. 

Pertanyaanya, mengapa pemerintah justru mengu­tip ampao dari kalangan menengah ke bawah yang kapasitas konsumsinya se­ha­rusnya digenjot dengan mem­berikan berbagai in­sen­tif dan kemudahan-ke­mu­dahan? Data sudah sangat jelas membuktikan bah­wa tingkat konsumsi ka­langan menengah ke atas te­tap terjaga meskipun terja­di perlambatan ekonomi na­sional. Justru daya beli ka­langan menengah ke ba­wah tergerus tajam akibat ke­naikan harga BBM di awal masa pemerintahan Jo­kowi-JK. Dimana Logi­ka­nya?

Selain itu, di segmen industry juga mengalami hal yang sama. Industri adalah salah satu segmen yang juga terkena imbas tajam dari kenaikan harga BBM sejak pertama digulirkan, ter­utama BBM varian solar. Dunia industry mengalami penebalan biaya produksi, terhantui inflasi yang kemu­dian menambah tekanan kepada dunia tenaga kerja untuk menuntut kenaikan penghasilan, dan meng­ga­galkan banyak rencana eks­pansi sektor industry yang berimbas pada penyempitan prospek pembukaan lapa­ngan kerja baru.

Bahkan, apa yang di­alami dunia industry setelah kenaikan harga BBM adalah salah satu penyebab per­lambatan ekonomi nasional sejak akhir tahun lalu. Eks­por tak mampu digenjot karena insdutry dalam nege­ri tercekek berbagai hala­ngan domestik yang diini­siasi oleh pemerintah. Dan lagi-lagi, konsumen solar inipun tak lepas dari kuti­pan angpao pemerintah un­tuk proyek ketahanan ener­gy yang sampai detik ini hanya Tuhan dan Menteri ESDM yang paham apa arti proyek tersebut sebernarnya bagi rakyat.

Lalu bagaimana kondisi dan proyeksi harga minyak dunia sesungguhnya? Faktanya, harga minyak dunia terus merosot menuju level terendah lebih dari enam tahun ini. Tingginya pro­duksi minyak Amerika Seri­kat dan penguatan dollar AS pasca Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga membuat prospek minyak semakin suram.

Penghujung dua pekan lalu, Jumat (18/12) harga kontrak minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari turun 50 sen atau 1,4% ke level US$ 34,45 per barel di New York Mercantile Ex­change. Sementara, minyak jenis Brent untuk pengi­ri­man Februari turun 35 sen, atau 0,9%, ke level U$36,71 per barel di ICE Futures Europe Exchange London. Disisi lain, data yang dirilis perusahaan jasa minyak Baker Hughes menun­juk­kan jumlah rig pengeboran minyak AS yang aktif naik 17 menjadi 541 untuk pekan tersebut. Data ini kian me­mi­cu kekhawatiran banjir­nya pasokan global.

Data lainya, pasokan minyak AS naik 4,8 juta barel menjadi 490,7 juta barel alias 110,7 juta barel lebih dari satu tahun sebe­lumnya. Ini merupakan le­vel tertinggi sejak 1930. Produksi minyak mentah AS juga bertambah 12 ribu barel menjadi 9,176 juta barel per hari sekitar dua pekan lalu. Harga minyak telah jatuh dari posisi di atas US$ 100 per barel pada Juli 2014 karena produksi yang tinggi dari AS dan anggota-anggota utama Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang be­lum memutuskan memang­kas produksinya meski mi­nyak semakin murah.

Tekanan harga bertam­bah akibat pertengahan De­sem­­ber lahir keputusan Federal Reserve untuk me­naikkan suku bunga AS. Penguatan nilai tukar green­back dipastikan akan mem­perlemah permintaan mi­nyak karena harga jual ko­mo­ditas ini berdenominasi mata uang dollar di pasar internasional. Tak ada am­pun bagi harga minyak du­nia, jika dilihat dari berbagai macam halangan funda­mental yang akan menjegal kenaikan harga.

Bahkan jika harga tak terus merosot, setidaknya harga minyak dunia akan bertahan di level rendah seperti yang terjadi hari ini. Namun di dalam negeri, harga BBM memang disa­troni kutu busuk dari dulu. Pemerintah tak akan pernah mengalah, karena logi­ka­nya, pihak yang kalah akan selalu ada di level yang paling lemah dari piramida sosial politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar