Kamis, 31 Desember 2015

Merenungkan Keindonesiaan

Merenungkan Keindonesiaan

  Suwidi Tono  ;  Koordinator Forum Menjadi Indonesia
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam pleidoi ”Indonesia Menggugat” di depan pengadilan kolonial di Bandung, 18 Agustus 1930, Bung Karno mengurai kemerosotan bangsa akibat imperialisme-kapitalisme. Lewat taksonomi kata bernas, kalimat penuh harga diri, dan pesan menghunjam, ia menampilkan fakta dan risalah otentik yang menohok jantung kepentingan kolonial.

Empat kerusakan parah kaum bumiputra akibat imperialisme-kapitalisme sokongan pemerintah kolonial meliputi: terpecah belah, kemelaratan kronis, kemunduran akal budi, serta berkembangnya mentalitas inlander dan ”menghamba” akibat politik asosiasi alias kerja sama dengan penjajah. Menurut Bung Karno, seluruh siasat itu diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengisapan kekayaan alam Indonesia oleh korporasi asing dan menjadikan rakyat hanya kuli!

Menegaskan perihal ini, ia mengutip pernyataan Profesor JH Boeke (1927): ”Mereka pandai mengeduk kekayaan dari bumi Hindia dan membikin negeri itu memberi keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Mereka menghasilkan barang-barang yang diperlukan pasar dunia dan mereka menuntut Hindia tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah”.

Sebagai antitesis, melalui Partai Nasional Indonesia yang didirikannya tahun 1927, ia menggelorakan persatuan, membangun kecerdasan rakyat melalui pendidikan, percaya pada kemampuan sendiri (self reliance), menolak kolaborasi, dan sebaliknya kukuh menjalankan politik nonkooperasi.

Kemiskinan struktural

Setelah merdeka, empat tonggak perlawanannya itu mengejawantah melalui character and nation building, mobilisasi pendidikan tinggi, mencetuskan Trisakti sekaligus menolak kerja sama dengan pihak luar yang mendikte kepentingan nasional. Namun, ikhtiarnya itu kandas setelah tragedi 1965. Ikhtisar berikut menelisik jejak gugatan Bung Karno pada realitas Indonesia hari ini.

Kesatuan gerak dan tekad untuk menemukan kembali Indonesia yang dihela reformasi 1998 semakin pudar. Ideologi cair dan sarat transaksi menyuburkan korupsi dan perburuan rente. Kita kembali dihantui kegagalan memajukan dan mendisiplinkan parpol untuk tujuan-tujuan besar nasional dan cenderung membiarkannya sebagai agen pecah belah macam-macam kepentingan.

Lanskap politik nasional-lokal menampilkan aneka pertanda buruk: mahal, permisif, gaduh, ”karbitan”, legitimasi rendah, tidak menumbuhkan optimisme, dan mulai tumbuh gejala feodal. Demokrasi kita semakin kental bercorak prosedural ketimbang substansial. Etika dan moral politik penuh keluhuran dan keteladanan tersisih oleh persatuan kepentingan dan syahwat kekuasaan.

Dalam situasi kusut ini, berbagai agenda masuk dan memengaruhi kebijakan publik. Ketimpangan ekonomi muncul sebagai konsekuensi asimetri aspirasi politik. Satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Sepuluh persen penduduk terkaya menguasai 77 persen aset nasional, terutama di sektor keuangan dan properti (Kompas, 9/12).

Distribusi pendapatan tidak adil ini, menurut laporan Bank Dunia, akibat perbedaan pungutan pajak untuk pekerja dan pemilik modal, korupsi merajalela, produktivitas dan upah rendah pada mayoritas pekerja, ketaksetaraan kesempatan sejak lahir (akses pendidikan, pemenuhan gizi, dan kesehatan), serta bencana alam yang semakin membuat miskin sebagian penduduk. Angus Stewart Deaton, peraih Nobel Ekonomi 2015, mengingatkan, warga miskin bisa menjadi sejahtera jika pemerintah paham kebutuhannya. Pemerintahan dengan sistem politik yang baik, bukan politik yang mendistorsi, akan mampu menyejahterakan rakyat. ”Jangan biarkan kaum kaya memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan warga kaya itu sendiri” (Kompas, 17/10).

Kendati kemiskinan menurun dari 24 persen tahun 1999 menjadi 11,3 persen tahun 2014 atau setara 27,7 juta jiwa, pengurangan laju kemiskinan mulai stagnan. Anggaran perlindungan sosial lewat program simpanan keluarga sejahtera (Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera) hanya menjangkau 15,5 juta jiwa dengan total dana Rp 22,6 triliun atau 1,7 persen APBN 2015. Bandingkan, misalnya, dengan alokasi dana untuk pembayaran utang yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Pesannya menjadi jelas: politik anggaran perlu perubahan radikal.

Kemelaratan kronis merupakan dampak struktur yang menindas. Kearifan lokal dihancurkan. Petani menjadi ”tukang” di tanahnya sendiri. Tukang menyemprot pestisida dan herbisida, menabur pupuk buatan pabrik, menanam benih transgenik atau hibrid keluaran laboratorium, dan lemah posisi tawar dalam mekanisme pasar. Segalanya harus dibeli dan diperoleh dari luar ekosistem.

Pertanian kehilangan makna esensialnya sebagai penyerbukan budaya. ”Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata panen berlimpah, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia”, demikian ajaran Masanobu Fukuoka (Revolusi Sebatang Jerami, 1991).

Definisi pembangunan berkelanjutan dari World Commission on Environment and Development 1987 menegaskan: ”Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Utilisasi mengubah ekosistem alam sehingga konservasi adalah keniscayaan. Pengelolaan sumber daya alam harus memenuhi asas keadilan, bukan untuk satu generasi, melainkan antargenerasi. Dihubungkan dengan fakta penguasaan aset nasional di tangan segelintir orang atau korporasi dan regulasi yang tidak berpihak pada keadilan redistributif, jejak panjang kemiskinan struktural agaknya masih berkelanjutan.

Kita belum terlambat membangkitkan koperasi impian Bung Hatta sebagai sarana pemberdayaan dan pembelajaran demokrasi ekonomi, politik, dan sosial. Redistribusi aset, pemerataan akses modal, dan kegotongroyongan nasional membutuhkan saka guru kelembagaan yang berurat-berakar pada keguyuban dan ekspresi komunitas.

Pergulatan kepentingan

Kemunduran akal budi dapat ditelaah dari meruyaknya truisme, hal-hal sepele yang menyedot energi, memorakporandakan etika, dan mementingkan pragmatisme. Permufakatan elite tidak diarahkan untuk memilih orang-orang terbaik, prioritas tertinggi, keberpihakan pada kepentingan bangsa. Sebagian besar bercorak power game ketimbang kemaslahatan untuk rakyat.

Pada hiruk-pikuk kasus Petral, kasus Freeport, serta rutinitas kebakaran hutan dan lahan, kita kembali menyaksikan episode pergulatan kekuatan pro dan kontra kepentingan nasional, yaitu mentalitas inferior dan relasi ”centeng-cukong” dengan semangat berdikari. Pada tingkat keputusan dan kejelasan masa depan, kita belum melihat sikap negara dan perilaku kenegarawanan.

Kita perlu merenungkan keindonesiaan agar belajar dari kegagalan masa lalu, baik dari pengalaman bangsa sendiri maupun bangsa lain. Entitas bangsa harus dipersatukan dan didorong meraih kemajuan otak-watak, berupaya keras menghilangkan kawah-kawah nestapa, penumpukan sedimen kekecewaan, dan kemelaratan rakyat.

Resep Bung Karno, 85 tahun silam, jelas bukan pemikiran usang. Ia tetap menginspirasi. Kemajuan tidak melulu bersangkut paut dengan simbol-simbol modernitas: kecanggihan, kecepatan, kebaruan, dan bertebarnya seabrek monumen fisik. Yang hakiki mestilah bersumbu-alas pada tumbuh suburnya kebenaran, keadilan, dan kecerdasan sebagai ladang persemaian generasi unggul berkesinambungan. Singkatnya adalah mekarnya karakter kecendekiaan dan kebajikan. Seturut dengan tesis Hans Morgenthau (Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace, 1948), yang tetap valid sampai sekarang: kunci kemajuan bangsa adalah karakter manusianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar