Rabu, 23 Desember 2015

Natal, Kekuasaan, dan Teror

Natal, Kekuasaan, dan Teror

SP Lili Tjahjadi  ;  Pengajar Filsafat Ketuhanan; Ketua STF Driyarkara
                                                      KOMPAS, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tujuh puluh tahun lalu (1945), Perang Dunia II berakhir. Auschwitz, kota kecil nan permai di wilayah Jerman saat itu (sekarang: Osswiec?im, di Polandia), mendadak memicu kengerian dan kegeraman. Pasalnya, di Auschwitz, terdapat kamp konsentrasi besar, tempat terjadinya pemusnahan sekitar 1,5 juta orang Yahudi dan musuh ideologi Nazisme.

Kebrutalan dan kekejian yang berlangsung di sana menjadikan Auschwitz simbol untuk teror superlatif dan pabrik kematian ciptaan masyarakat modern. Hasilnya adalah ”barbarisme baru”, demikian sebutan Adorno dan Horkheimer, dua pemikir kondang dari mazhab Frankfurt pada 1950-an, untuk sebuah anti kultur rancangan kaum Nazis.

Hilangnya banyak nyawa akibat perendahan orang hingga setaraf barang membuat Auschwitz menjadi kenangan akan nihilisme tanpa tara. Dikonfrontasikan dengan pengalaman negatif ini, pada 1970-an ada tanda tanya besar, masih mungkinkah kita bicara tentang Tuhan yang Maharahim, dan kodrat metafisik manusia yang konon bersifat baik, setelah tragedi itu (Theology After Auschwitz)?

Meskipun demikian, dari pelbagai barang milik para tawanan yang tertinggal, orang menemukan tulisan yang menggetarkan hati dan penuh kesaksian; bahwa di neraka Auschwitz ini Tuhan ternyata masih bisa dialami. Kitab Taurat, khususnya Mazmur, tetap didaraskan; doa-doa masih dipanjatkan, bahkan shofar (terompet ibadat dari tanduk kambing gunung) masih dikumandangkan. Semua terjadi dalam bayang-bayang teror dan maut!

Selalu percaya

Rabi Tzvi Hirsch Meisels menulis, ”Kita boleh berharap semoga pelbagai hal bisa menjadi lebih baik. Namun, kita perlu bersiap-siap juga apabila semua menjadi lebih buruk. Demi Tuhan, mari kita tidak lupa menyerukan doa ’Dengarlah hai Israel!’” Kesimpulannya kiranya jelas, tanpa menyangkal daya melumpuhkan dari penderitaan, apalagi mengglorifikasikannya, pengalaman negatif manusia—betapa pun keras dan intensifnya—tidak bisa diidentikkan dengan sebab penolakan atas eksistensi Tuhan dan kebaikan-Nya.

Kepercayaan kepada Tuhan tidak bisa diruntuhkan hanya dengan menunjukkan bahwa ada penderitaan. Pelbagai macam penderitaan manusia ada dan akan tetap ada, tanpa peduli apakah Tuhan dicoret atau tidak. Berhadapan dengan fakta ini, baik orang beriman maupun ateis, yang menolak Tuhan atas nama penderitaan manusia, bermain dengan hasil remis.

Ketakutan, ”rasa khawatir terhadap dunia obyektif” (Schelling), memang bisa menciptakan neurosis dan paranoid. Meskipun begitu, ketakutan atau kekhawatiran yang sama serentak bisa juga membuka horizon manusia dalam memahami dirinya secara lebih integral: bahwa ia relatif, fana, lemah, terbatas, berkekurangan, dan bukan segala-galanya!

Rasa takut dan khawatir memberi tawaran berupa ”kemungkinan bagi kebebasan” (Kierkegaard) pada manusia untuk memilih secara atau-atau: Atau ia membiarkan diri dilumpuhkan oleh rasa takut dan menjadi pecundang sebelum berperang, atau ia bangkit bertarung melawan ketakutan dan menguasainya. Di sini eksistensialisme Barat bertemu dengan bushido Timur.

Kalau pilihan pertama diambil, orang akan jatuh ke dalam apati, resignasi, dan mundur sebelum bertempur. Sebaliknya jika memilih opsi kedua, orang akan semakin dimampukan mencapai perkembangan eksistensi yang lebih utuh dan penuh, bahkan terbuka kepada Yang Transenden, yang mengatasi semua realitas intramundan yang serba terbatas: Tuhan sendiri. Di sini paradoks Heidegger mendapatkan maknanya yang terdalam tatkala filsuf ini menyerukan agar kita tak perlu merasa khawatir mempunyai ”keberanian memiliki kekhawatiran”(Mut zur Angst).

Mungkin tanpa disadari, Rabi Meisels dan banyak orang beriman lain di Auschwitz adalah mereka yang berhasil menemukan maksud rahasia ketakutan dan mendekodefikasinya untuk bertahan menyintas neraka jahanam kamp konsentrasi itu. ”Peranti” mereka untuk ikhtiar amat sederhana: doa syukur, nyanyian, dan musik sebagai ungkapan kepercayaan mereka kepada Yahweh, Allah yang diyakini pasti mendengarkan dan bertindak untuk mereka.

Bayang teror

Pada Natal ini, dalam bayang-bayang bahaya dan ancaman terorisme, sekitar dua miliar orang Kristen akan memenuhi gereja-gereja di seluruh dunia. Dengan doa syukur dan nyanyian, mereka merayakan kelahiran Isa Almasih. Ia adalah pribadi yang hidup dan karya-Nya menjadi inspirasi bagi banyak orang. Bukan karena ia tidak pernah memiliki rasa takut, melainkan telah berhasil mengalahkan ketakutan dan mengubahnya menjadi syukur.

Rahasia keberhasilan-Nya itu tidak berhubungan dengan banyaknya pengikut, apalagi dengan kekuatan kekerasan, tetapi semata-mata dalam kepercayaan akan Allah sebagai pribadi yang rahim kepada siapa pun tanpa kecuali. Ini melawan gambaran Tuhan sebagai pembenci kaum kafir dan dalam solidaritas-Nya berpihak kepada kaum kecil: melawan para penguasa rakus yang memperkaya diri.

Dua ciri-corak kepercayaan fundamental itu, yakni kesetiaan kepada Allah dan solidaritas dengan manusia, membuat hidup nabi ini menjadi gloria in excelsis Deo et in terra pax hominibus (kemuliaan bagi Allah di Surga dan damai sejahtera bagi umat manusia di Bumi).

Dengan demikian, pesan Natal yang merupakan awal kemunculan nabi ini berlaku universal untuk semua orang, baik Kristiani maupun bukan, bahkan bagi mereka yang percaya kepada adanya kebaikan meskipun masih mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar