Selasa, 22 Desember 2015

Perempuan

Perempuan

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 20 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang perempuan Arab dieksekusi oleh ayahnya sendiri. Ditenggelamkan sampai mati di kolam renang di belakang rumah, gara-gara tertangkap basah oleh polisi syariah ketika sedang berkencan dengan bule (orang kulit putih).

Perempuan lain, juga di Arab Saudi, seorang ABG berumur 13 tahun, dihukum rajam sampai mati gara-gara hamil setelah diperkosa teman-teman abangnya yang mabuk, ketika orangtua mereka ke luar kota dan abangnya itu mengajak teman-temannya ke rumah untuk pesta miras.

Para pemerkosanya tidak ada yang kena hukuman karena semua ingkar, sedangkan si perempuan ABG tidak bisa menghadirkan saksi untuk membuktikan bahwa dia memang diperkosa.

Di sisi lain, anak laki-laki dari seorang bangsawan kerabat dekat raja Arab Saudi, malah dibelikan mobil merek Porsche walaupun ia ketahuan menyimpan majalah Playboy, dan ketika berlibur ke Mesir dengan kawannya pernah ”memesan” seorang anak perempuan berumur 9 tahun untuk diperkosa.
Padahal ketika dibelikan mobil mewah itu, ABG laki-laki itu baru berumur 11 tahun.

Masih ada lagi. Ketika Kuwait diserbu tentara Irak di bawah komando Presiden Saddam Husein, banyak penduduk Kuwait melarikan diri ke Arab Saudi. Para perempuan Arab Saudi tercengang, ketika mereka melihat ada wanita-wanita Arab (Kuwait) mengemudikan mobil dan tidak bercadar, sementara perempuan Arab Saudi sendiri dilarang keras untuk sekolah, apalagi mengemudi mobil dan harus selalu bercadar setiap keluar rumah.

Pada masa itu pula, seorang putri bangsawan (princess) Arab Saudi bernama Sultana (nama samaran) menyaksikan bagaimana adik kandung yang paling dicintainya dan paling cantik di antara saudari-saudari perempuannya, dikawinpaksakan dengan pria teman bisnis ayahnya (yang tentu saja seusia ayahnya) sebagai istri ketiga, dan sesudah menikah diperlakukan seperti bukan manusia ketika berhubungan suami-istri. Beruntung Sultana, dengan bantuan suaminya, berhasil memaksakan perceraian antara adiknya dan suaminya tua-bangka yang bernaluri hewan itu.

Tetapi itu Arab Saudi zaman dulu, yaitu sebagaimana dikisahkan oleh Putri (Princess) Sultana (nama samaran) tentang pengalaman pribadinya sebagai Princess of Saudi Arabia kepada sahabatnya, seorang wartawan Amerika bernama Jane Sasson, yang kemudian menerbitkan kisah-kisah itu dalam sebuah buku berjudul ”The Princess: The True Story of Life Inside Saudi Arabias Royal Family”.  Buku itu diterbitkan pada 1992, dan tentunya pengalaman-pengalaman Sultana telah terjadi minimal 23 tahun sebelum hari ini, jadi sampai sekarang kisah-kisah yang mencengangkan di Arab Saudi itu sudah berselang sekitar 25 tahunan yang lalu.

Sekarang, kondisi di Arab Saudi mudah-mudahan sudah jauh lebih baik. Perempuan Arab Saudi hari ini (2015) sudah boleh memilih dan dipilih di parlemen. Ada beberapa orang perempuan yang benar-benar masuk dan menjadi anggota parlemen. Perempuan-perempuan ini boleh tidak memakai cadar, dan di Arab Saudi keadaan kerajaan masih aman terkendali. Walaupun demikian, keadaan di Arab Saudi sangat terlambat dibandingkan dengan Indonesia.

Di Yogyakarta, Indonesia, pada 22 Desember 1928 telah diselenggarakan Kongres Perempuan pertama, di mana ibu saya (sekarang 93 tahun) ikut hadir sebagai peserta termuda (umurnya baru empat tahun ketika itu), karena diajak oleh ibundanya (eyang putri saya), Siti Zahra, yang membawakan salah satu makalah dalam kongres itu. Siti Zahra sendiri adalah istri Raden Goenawan (eyang kakung saya), ketua Sarikat Islam Batavia ketika itu.

Tahun 1928 ke 2015, selisih 82 tahun. Apalagi kalau ditarik lagi ke era RA Kartini pada 1904, berarti Arab Saudi ketinggalan 111 tahun dari Indonesia dalam hal hak-hak perempuan. Padahal zaman Kartini, walaupun ketika itu Indonesia masih dijajah Belanda, tidak ada perempuan dihukum mati secara kejam seperti itu. Kartini hanya beraksi keras, karena dia dijadikan istri kedua, dan dia merasakan betapa tidak adilnya perlakuan kepada perempuan yang hak-haknya sangat dibatasi, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan. Kegalauan Kartini disuarakan lagi oleh eyang Siti Zahra dan aktivis-aktivis perempuan lainnya pada 1928 dan seterusnya hingga sekarang. Sehingga ibu saya, istri saya, anak, dan menantu-menantu saya, serta cucu-cucu saya hari ini bisa menikmati pendidikan yang setinggi-tingginya. Alhamdulillah, semua itu diperjuangkan Kartini dan penerus-penerusnya melalui jalur Islam.

Walaupun demikian, saya melihat bahwa belakangan ini Islam justru dijadikan alasan untuk kembali mendiskriminasikan perempuan. Kalau tidak salah, di Kota (atau Kabupaten?) Tangerang seorang ibu guru kemalaman dari sekolah dan belum mendapat angkot untuk pulang ke rumah, ketika dia dicokok Satpol PP dengan alasan melanggar perda (perempuan dilarang berada di luar rumah pada malam hari tanpa dikawani muhrim). Maka dua hari dia pun hilang dari keluarganya, karena HP-nya pun ikut disita oleh petugas. Di Aceh, perempuan dilarang membonceng motor dengan mengangkang dan dilarang naik ojek, karena si tukang ojek bukan muhrimnya. Kalau diskriminasi terhadap perempuan dan degradasi terhadap hak-hak perempuan seperti itu dilanjutkan,
bukan tidak mungkin kita mundur ke zaman Afghanistan ketika dikuasai kaum Taliban, di mana laki-laki tak berjenggot bisa digantung dan janda-janda tidak bisa bekerja untuk memberi makan anak-anaknya, karena tidak punya muhrim (suami) yang bisa menemaninya ke tempat kerja.

Mudah-mudahan Indonesia tidak akan menjadi Afghanistan zaman Taliban, tetapi mencermati bagaimana Islam dipermainkan untuk tujuan-tujuan yang tidak islami, maka ngeri juga kan ? Karena itu, kita yang dalam ilmu sosial dinamakan arus utama (mainstream) dari umat Islam di Indonesia, tidak boleh tinggal diam.
Entah bagaimana caranya harus kita lawan mereka-mereka yang mau membawa Islam ke jalan yang salah dengan menguatkan suara (vokal) kita untuk mengembalikan Islam ke jalan yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar