Selasa, 29 Desember 2015

Tantangan 2016 : Kemiskinan, Pengangguran, dan Fiskal

Tantangan 2016 :

Kemiskinan, Pengangguran, dan Fiskal

  Firmanzah  ;  Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
                                                KORAN SINDO, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2015 dan bersiap memasuki tahun 2016. Sejumlah catatan perjalanan ekonomi nasional perlu kita perhatikan sebagai modal menghadapi tantangan dan peluang ekonomi nasional di tahun depan.

Dari sisi moneter dan pasar keuangan, kita bisa bernapas lega karena kekhawatiran adanya capital outflow secara besar-besaran selepas pengumuman kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) tahap pertama di Desember ini tidak terjadi. Justru saat ini baik nilai tukar rupiah maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan tren penguatan dalam jangka pendek dan menengah.

Kehati-hatian The Fed dalam menaikkan suku bunga membuat investor global lebih confidence atas investasinya di pasar negara berkembang dan emerging. Selain itu, kebijakan makroprudensial dan sejumlah paket kebijakan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah, Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mampu menenangkan kondisi psikologis pasar. Hal ini sangat melegakan dan memberikan kesempatan bagi kita semua untuk memperbaiki tantangan ekonomi domestik dan sektor riil di tahun depan.

Menurut saya, ekonomi domestik di sepanjang 2016 akan menghadapi tiga tantangan yang membutuhkan fokus dan perhatian dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Tantangan pertama terkait dengan program penanganan kemiskinan. Target penurunan angka kemiskinan dalam APBN-P 2015 sepertinya sulit untuk dicapai. APBN-P 2015 menargetkan angka kemiskinan dapat diturunkan menjadi 10,3%. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2015 justru naik menjadi 11,22% dari posisi September 2014 yang mencapai 10,96%.

Pada September 2015, ketika BPS melakukan survei angka kemiskinan, dikhawatirkan angka kemiskinan kembali naik karena bencana kabut asap yang melumpuhkan banyak aktivitas ekonomi di Sumatera dan Kalimantan serta fluktuasi harga kebutuhan pokok, utamanya beras. Dalam APBN 2016, angka kemiskinan ditargetkan turun menjadi 9,0- 10,0%. Target penurunan angka kemiskinan yang cukup tinggi perlu menjadi fokus dari para pengambil kebijakan ekonomi di Tanah Air.

Program kerja terpadu dan terintegrasi untuk penanganan kemiskinan perlu dirumuskan dan diimplementasikan secara efektif. Kelompok masyarakat sangat miskin, miskin, dan hampir miskin membutuhkan penanganan berbeda-beda. Mulai dari program bantuan yang bersifat sosial sampai program penguatan fungsi produksi mikro dan rumah tangga perlu terintegrasi dengan program-program yang dilakukan pemerintah daerah.

Selain itu dana desa yang dianggarkan dalam APBN 2016 sebesar Rp47 triliun juga berpeluang ditujukan untuk mendukung program penanganan kemiskinan di perdesaan. Tantangan kedua, angka pengangguran. Melambatnya perekonomian nasional yang diperkirakan tumbuh 4,70-4,80% pada 2015 membuat kinerja sektor industri melambat sehingga menyebabkan target penyerapan angkatan kerja terbatas.

Hal ini terlihat dari angka pengangguran terbuka yang menurut data BPS naik dari posisi Agustus 2014 sebesar 7,24 juta jiwa (5,94%) menjadi 7,56 juta jiwa (6,18%) per Agustus 2015. Meski terdapat kenaikan jumlah angkatan kerja Agustus 2015 menjadi 122,4 juta jiwa dari Agustus 2014 yang 121,87 juta jiwa, jumlah pencari kerja jauh lebih besar daripada kesempatan yang tersedia. Hal inilah yang membuat angka pengangguran terbuka terus meningkat.

Kebijakan nasional yang mendorong munculnya lapangan kerja baru menjadi tantangan perekonomian nasional pada 2016. APBN 2016 menargetkan angka pengangguran dapat diturunkan dalam kisaran 5,2-5,5% di tahun depan. Fokus dari persoalan pengangguran adalah bagaimana otoritas moneter dan fiskal mampu mendorong tumbuh dan bergeraknya sektor riil di Tanah Air. Ruang ekspansi industri di semua sektor dan levelnya perlu terus ditingkatkan.

Pemerintah, BI, dan OJK perlu meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kebijakanuntukmendorongekspansi sektor industri. Sejumlah paket kebijakan telah diambil pemerintah, BI, dan OJK. Tidak kurang terdapat delapan paket kebijakan yang telah dikeluarkan dan tidak menutup paket kebijakan susulan akan diterbitkan tahun depan. Perbaikan prosedur penyerapan anggaran baik di tingkat pusat maupun di daerah perlu ditingkatkan pada 2016 untuk mendorong bergeraknya perekonomian melalui realisasi belanja infrastruktur.

Berkaca pada 2015, justru keterlambatan penyerapan anggaran terjadi dan ini menambah laju perlambatan ekonomi nasional tahun ini. Selain mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor industri dari sisi produksi (supply side), pemerintah sepertinya mulai sadar bahwa stimulus dari sisi konsumsi perlu dilakukan. Menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang selama ini disuarakan banyak kalangan di tengah anjloknya harga minyak mentah dunia akan mulai diterapkan pada 5 Januari 2016.

Diharapkan turunnya harga BBM akan memperbesar pendapatan yang dapat dibelanjakan masyarakat. Konsumsi yang meningkat akan menyerap produksi nasional sehingga membuat pabrik dan perusahaan dapat memperbesar kapasitas produksinya. Dengan semakin besarnya kapasitas produksi, serapan tenaga kerja juga akan menjadi lebih besar. Belum lagi ditambah dengan penyuplai dan distributor yang usahanya akan lebih bergairah dengan meningkatnya permintaan di masyarakat.

Menurut hemat saya, BI dapat mempertimbangkan untuk menurunkan BI Rate di 2016 dengan berkaca pada stabilitas pasar keuangan dunia setelah kenaikan The Fed Rate di bulan Desember ini. Hampir dapat dipastikan The Fed akan mempertahankan sikap kehati-hatian dalam memutuskan besaran kenaikan kembali suku bunganya secara bertahap tahun depan.

Sikap inilah yang membuat investor global akan lebih mudah dalam mengalkulasi dan mengelola portofolionya di negara berkembang dan emerging. Situasi seperti ini perlu menjadi pertimbangan BI untuk menurunkan BI Rate sehingga biaya modal dapat turun dan berkontribusi pada peningkatan daya saing nasional.

Peningkatan daya saing nasional tidak hanya kita butuhkan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saja, tetapi yang tidak kalah penting juga untuk menambah ruang ekspansi usaha yang pada akhirnya meningkatkan daya serap angkatan kerja nasional. Tantangan ketiga bagi perekonomian nasional terkait dengan kondisi fiskal kita. Sudah dapat dipastikan target penerimaan negara utamanya dari sektor perpajakan sepanjang 2015 tidak akan tercapai. Situasi seperti ini akan berpengaruh pada kondisi fiskal kita tahun depan. Dalam APBN 2016 ditargetkan penerimaan negara dari sektor perpajakan naik menjadi Rp1.546,7 triliun dari APBN-P 2015 sebesar Rp1,489,3 triliun.

Meskipun banyak kalangan yang memperkirakan ekonomi Indonesia 2016 lebih baik dari 2015, sepertinya aktivitas perekonomian nasional belum cukup untuk merealisasi target pajak seperti yang tertuang dalam APBN 2016. Dengan rencana dan program pemerintah yang membutuhkan pendanaan sangat besar, hal ini meningkatkan besaran defisit fiskal tahun depan.

Hal itu tidaklah mengherankan ketika pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengubah kemungkinan batas defisit fiskal menjadi 2,9%. Penambahan utang pemerintah untuk menutupi defisit fiskal menjadi langkah yang ditempuh pemerintah saat ini. Meski setiap penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) melalui mekanisme yang ketat, besaran utang dan kondisi fiskal 2016 perlu menjadi perhatian khusus dari para pengambil kebijakan.

Menurut data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, total utang pemerintah pusat per Agustus 2015 mencapai Rp3.005,51 triliun. Jumlah ini meningkat jauh bila dibandingkan dengan 2014 yang masih di posisi Rp2.604,93 triliun. Upaya meningkatkan realisasi target pajak perlu diimbangi dengan evaluasi program pemerintah yang perlu pemangkasan.

Peningkatan realisasi target pajak sepertinya masih akan berhadapan dengan ekonomi yang belum full-capacity di kondisi dunia usaha yang justru membutuhkan stimulus fiskal untuk mendorong usaha mereka. Sementara pemangkasan anggaran perlumelihat tidakhanyaamanat UU pemenuhan anggaran, tetapi juga sebaiknya tetap mempertahankan program-program penanganan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar