Minggu, 31 Januari 2016

Akta Kelahiran dan BPJS

Akta Kelahiran dan BPJS

Prasetyadji ;  Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia
                                                      KOMPAS, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah tiga bulan ini Maria Virginia tergolek di boks bayi. Napasnya tersengal-sengal, sesekali ia menangis karena kehausan dan mungkin merasakan kesakitan yang luar biasa. Bayi merah ini mempunyai kelainan jantung dan tidak memiliki lubang anus sejak lahir.

Bayi yang dibuang orangtuanya ini kondisinya sungguh memprihatinkan saat ditemukan, badannya dikerubungi semut dan lalat, apalagi kondisi tubuhnya membutuhkan perawatan ekstra.

Maria Virginia ditemukan Nanik Purwoko di pinggir rel kereta api di daerah Kebayoran Lama tiga bulan lalu. Saat ini ia diasuh di Panti Asuhan Abhimata, Tangerang Selatan, menunggu akta kelahiran untuk mengurus kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Untuk pengobatan di rumah sakit, operasi jantung, dan sekaligus membuat lubang anus, dibutuhkan biaya sekitar Rp 350 juta. Sungguh tidak sedikit.

Mengingat biaya operasi yang begitu besar, saat ini tengah diupayakan membuat kartu BPJS. Namun, persyaratan membuat kartu BPJS adalah wajib melampirkan akta kelahiran. Padahal, bagi anak-anak yang tidak diketahui asal-usul atau keberadaan orangtuanya, untuk membuatkan akta kelahirannya harus dilengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Yang menjadi permasalahan adalah sejak Republik Indonesia merdeka sampai hari ini belum pernah ada format BAP dari kepolisian, sementara format BAP yang ada merupakan turunan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Diakui Menteri Dalam Negeri bahwa sampai dengan hari ini masih ada 70 persendari 250 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Apa yang dialami Maria Virginia adalah gambaran permasalahan anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan orangtuanya di seluruh panti asuhan dan rumah singgah di seluruh Indonesia.

Mirisnya, para pejabat di kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) tidak berani mengambil langkah diskresi untuk menerbitkan akta kelahiran yang seharusnya menjadi hak anak-anak yang lemah, miskin, dan terpinggirkan ini.

Timbul pertanyaan, sejauh mana tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak anak-anak ini? Apa upaya pemerintah dalam pemenuhan hak anak-anak ini sebagai wujud dari pelaksanaan UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar? Sungguh sedih dan memilukan betul nasib anak-anak yatim-piatu ini.

Terobosan

Maria, dan Maria-Maria lain di panti-panti asuhan di seluruh Indonesia tentu memiliki mimpi agar dapat sekolah untuk menggapai asa menjadi orang pintar dan memperbaiki nasib. Mereka juga bermimpi mendapatkan jaminan kesehatan melalui BPJS.

Saat ini, mereka menjadi korban peraturan perundangan yang dibuat pemerintah dan para anggota DPR. Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No 18/PUU-XI/2013 secara tegas menyatakan bahwa ”seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya”.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa dari sisi peraturan perundangan, mereka dianggap ”bukan manusia” dan dalam pergaulan internasional, negara dapat dianggap abai terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai welfare state (negara kesejahteraan).

Ada angin segar dari Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh ketika berdiskusi intensif dengan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kamis, 7 Januari 2016, yang menegaskan bahwa sesungguhnya anak-anak ini warga negara Indonesia, sebagaimana Pasal 4 huruf k UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang menyatakan bahwa ”anak yang lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya adalah warga negara Indonesia”. Artinya, Maria Virginia adalah warga Negara Indonesia, dan sesuai UU 23/2002 harus segera dibuatkan akta kelahirannya dengan tidak dikenai biaya.

Format khusus

Langkah terobosan yang akan dilakukan profesor muda ini adalah menerbitkan format khusus akta kelahiran bagi anak-anak yang tidak diketahui asal usul dan keberadaan orangtuanya dengan mempertimbangkan masalah kejiwaan dan kemanusiaan agar anak-anak ini nantinya (setelah dewasa) tidak minder terhadap statusnya.

Dirjen Dukcapil juga menyederhanakan persyaratan administrasi, yaitu khusus anak panti cukup melampirkan surat pernyataan dari kepala panti sebagai penanggung jawab.

Maria dan teman-temannya yang bernasib sama terus berharap masih ada kepastian hukum di republik ini. Anak-anak yang tidak berdosa ini menyimpan satu pengharapan, yaitu pemerintah mau menyentuh mereka dengan langkah-langkah diskresi agar mereka dapat memiliki akta kelahiran, mengakses pendidikan, mengakses jaminan kesehatan, dan mengakses hak-haknya sebagai warga negara Republik Indonesia.

Semoga negara tidak membunuh harapan-harapanmereka, tetapi justru negara segera hadir dan siap menyelamatkan masa depan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar