Rabu, 27 Januari 2016

Era Transisi Ekonomi

Era Transisi Ekonomi

Firmanzah ;  Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
                                                KORAN SINDO, 25 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanpa kita sadari ekonomi dunia berada pada era transisi. Banyak negara sedang mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru di tengah perubahan fundamental yang terjadi.

Sejumlah faktor seperti melemahnya harga minyak mentah, turunnya permintaan ekspor dan komoditas global, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan emerging, serta mulai membaiknya ekonomi di Amerika Serikat (AS) menjadi faktor penyebab pencarian sumber pertumbuhan baru di banyak negara.

Selain itu, ada beberapa persoalan fundamental seperti kurangnya industri pengolahan dan infrastruktur, lemahnya pasar domestik, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan belum terintegrasinya sistem logistik. Kombinasi faktor eksternal dan internal membuat banyak pengambil kebijakan mencoba untuk mengubah arah ekonomi demi mengurangi ketergantungan dari sektor yang selama ini menjadi andalan penopang ekonomi mereka.

Para pengambil kebijakan di China sedang menggeser ekonomi yang selama ini bertumpu pada ekspor dan manufaktur ke arah ekonomi yang ditopang oleh konsumsi dan sektor jasa. Melemahnya pasar ekspor dunia telah membuat pertumbuhan ekonomi China melambat. Selama ini China memosisikan sebagai produsen untuk memenuhi permintaan dunia. Tidaklah mengherankan apabila di beberapa dekade lalu, kebijakan yang lebih memanjakan investasi dan manufaktur menjadi prioritas nasional.

Namun, seiring melemahnya permintaan dan pertumbuhan ekonomi dunia, negaranegara yang selama ini menjadi importir utama China berdampak cukup besar bagi perlambatan ekonomi negara itu. Meski China aktif mencari pasar baru seperti di kawasan Afrika, langkah itu tidak mampu menutupi perlambatan permintaan dari Eropa, Asia, dan kawasan Amerika.

Pertumbuhan ekonomi China selama 2015 hanya tercatat sebesar 6,9% atau terendah selama 25 tahun. Sektor konsumsi, jasa, dan teknologi menjadi penyumbang penting pertumbuhan ekonomi China tahun lalu. Tren perlambatan pertumbuhan ekonomi China masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Baru-baru ini Dana Moneter Internasional (IMF) merilis data yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China terus melambat.

Pada 2016 ekonomi China diperkirakan hanya tumbuh 6,3% dan pada 2017 tumbuh lebih lambat lagi, 6,0%. Tekanan lemahnya permintaan ekspor produk-produk China memaksa otoritas di negara tersebut mendorong sisi permintaan domestik. Tercatat sejak November 2014-Oktober 2015, Bank Sentral China memangkas suku bunga acuan sebanyak enam kali untuk mendorong ekonomi domestik. Kebijakan penurunan suku bunga juga akan dilakukan pada 2016 untuk membuat kredit domestik lebih bergairah.

Transisi ekonomi juga akan terjadi di banyak negara di Timur Tengah. Turunnya harga minyak mentah dunia membuat banyak negara di Timur Tengah mengalami defisit fiskal yang cukup besar. Rendahnya harga minyak mentah dunia sangat kontras apabila kita bandingkan dengan posisi Juni 2014 yang sempat menyentuh USD114/barel. Membanjirnya pasokan minyak mentah dunia telah menekan harga minyak mentah dunia, bahkan pernah menyentuh posisi USD27-28/ barel.

Tren kelebihan pasokan pascaperjanjian nuklir Iran semakin menambah tekanan atas harga minyak mentah dunia. Kondisi ini membuat sejumlah lembaga internasional memprediksi harga minyak mentah dunia dapat menyentuh USD15/barel. Tentunya tren rendahnya harga minyak mentah dunia memaksa negara-negara di Timur Tengah untuk merumuskan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan tidak terlalu mengandalkan minyak mentah.

Kontribusi ekonomi nonminyak akan terus ditingkatkan melalui transformasi ekonomi ke sektor-sektor lain. Sektor nonminyak seperti sektor jasa, pariwisata, infrastruktur, dan properti akan ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan dari sektor minyak. Sektor-sektor nonminyak sangat diharapkan untuk menyerap lapangan kerja, mendorong investasi, dan mempertahankan daya beli masyarakat.

Terlebih dengan semakin rendahnya harga minyak mentah dunia membuat banyak perusahaan minyak melakukan efisiensi perusahaan baik pemangkasan biaya, pengurangan karyawan, maupun pembatalan proyek eksplorasi baru. Hal ini membuat spiral ekonomi semakin melemah dan menurunkan secara signifikan pendapatan negara yang selama ini bergantung pada sektor minyak.

Indonesia saat ini juga sedang melakukan transisi ekonomi dari yang selama ini bertumpu pada sektor konsumsi dan jasa menuju ekonomi yang juga ditopang oleh investasi dan infrastruktur. Disparitas antara tingginya permintaan domestik dengan kapasitas produksi nasional mendorong pemerintah untuk mengakselerasi dan memperluas pembangunan infrastruktur di Tanah Air.

Selain itu, kebijakan yang lebih proinvestasi dilakukan secara masif melalui debirokratisasi, deregulasi, dan aktif mengundang investor masuk ke proyek-proyek strategis. Industrialisasi juga didorong untuk tidak hanya berorientasi ekspor, tetapi juga untuk substitusi impor. Kebijakan untuk menarik investasi pengolahan hasil kekayaan alam baik perkebunan, kelautan, maupun mineral-tambang telah menjadi prioritas kebijakan industri dalam beberapa tahun terakhir.

Indonesia tidak menginginkan hanya menjadi negara pengekspor barang mentah, melainkan juga menjadi negara basis industri pengolahan. Dua sektor yaitu infrastruktur dan investasi menjadi andalan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan usaha baru, mempertahankan daya beli masyarakat, serta meningkatkan daya saing nasional.

Sektor konsumsi domestik yang selama ini berkontribusi sebesar 54-56% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional akan diimbangi oleh kontribusi sektor investasi dan belanja pemerintah utamanya infrastruktur. BUMN juga didorong untuk berkontribusi pada investasi dan infrastruktur. Direncanakan belanja modal (capex) BUMN pada 2016 mencapai Rp404,8 triliun atau meningkat 51% dari 2015 sebesar Rp268,3 triliun.

Swasta nasional dan asing juga didorong untuk mengambil peran penting mendorong investasi dan keterlibatan pada pembangunan infrastruktur. Di tengah arus besar transisi ekonomi dunia dan dalam negeri, kewaspadaan dan kehatihatian dalam pengelolaan ekonomi nasional perlu terus dilakukan. Hal ini lantaran setiap transisi pasti akan menciptakan ketidakpastian.

Risiko ketidakpastian menjadi hal penting yang harus dikelola oleh pemerintah. Kita masih belum bisa memastikan bentuk akhir dari transisi ekonomi dunia yang saat ini tengah berlangsung. Kecepatan atas perubahan menjadi karakteristik utama dari transisi ekonomi.

Belum lagi dengan kehadiran teknologi dan informasi, yang membuat derajat ketidakpastian akibat mudahnya modal, informasi dan tenaga kerja keluar-masuk suatu negara menjadi semakin tinggi. Transisi ekonomi global dan nasional membutuhkan kewaspadaan sekaligus kecepatan untuk merespons tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga pelaku bisnis atas setiap perubahan yang terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar