Sabtu, 23 Januari 2016

Freeport yang Bikin Repot

Freeport yang Bikin Repot

Soetanto Soepiadhy  ;   Dosen Pascasarjana Untag Surabaya
                                                      JAWA POS, 20 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TULISAN New Hope Dahlan Iskan di Jawa Pos (18/1) membuka mata kita. Betapa Freeport yang selama ini diagung-agungkan sebagai mining international –perusahaan tambang emas terbesar di dunia– dengan penghasilan USD 2,3 miliar dan memberikan manfaat langsung/tidak langsung kepada Indonesia tidaklah seperti yang kita persepsikan sebagai tambang emas yang hebat.

Mundurnya James R. Moffet, pimpinan Freeport Mcmoran Inc. yang juga co- founder perusahaan tambang tersebut, pada 29 Desember 2015, yang diikuti mundurnya Maroef Syamsuddin dari jabatan presiden direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) sejak Senin 18 Januari 2016, menyisakan tanda tanya besar.

Lalu, bagaimana kita bisa membaca dan memahami apa sesungguhnya yang terjadi di PTFI ini dengan fakta mundurnya James Moffet dan Maroef Syamsuddin? Jawaban tuntasnya ada di tulisan Dahlan. Pemerintah tidak perlu tertarik lagi dengan tawaran Freeport untuk mengambil saham dengan nilai USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 20 triliun.

Mengapa? Freeport bukan lagi perusahaan yang hebat dan menjanjikan. Merugi terus. Kondisi keuangan Freeport sangat mengecewakan. Labanya terus memburuk. Pada 2014, tinggal USD 482 juta. Bahkan, tahun lalu rugi besar: USD 1,8 miliar! Rugi lebih dari Rp 20 triliun. Dan, kelihatannya, Freeport masih akan terus merugi beberapa tahun ke depan. Omzetnya turun, labanya memburuk, rasio-rasio keuangannya tidak lagi masuk akal. Bahkan, cash flow-nya pun menghadapi kegawatan. Ada yang mengatakan: Freeport Sedang Menuju Kematian.

Apakah dengan kondisi buruk seperti itu kita masih ”mau” mengambil tawaran saham Rp 20 triliun itu? Tindakan teramat bodoh kalau kita tetap mengambilnya. Atau, kita masih ingin masuk dalam pusaran kebangkrutan Freepot? Tentu saja tidak! Kecuali, orang-orang yang menggebu-gebu mendesak pemerintah agar memaksa Freeport mengurangi sahamnya di PTFI. Juga para pejabat pemerintahan kita yang pernah mengatakan bahwa PTFI sangat menguntungkan buat negeri ini.

Berani

Tahun 2021, kontrak dengan Freeport akan berakhir. Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100 persen secara otomatis milik kita. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki 10 persen sahamnya yang kita juga tak bisa berbuat apa-apa di dalam PTFI. Jadi, berdasar alasan itu, kita harus berani untuk tidak membayar Rp 20 triliun itu sekaligus tidak memperpanjang lagi kontraknya. Dan, tidak perlu susah-susah membentuk Pansus Freeport oleh DPR.

Tinggal Jokowi harus cepat mengkaji secara akademis bagi kepentingan dan keuntungan Indonesia dengan dasar pijakan dan bingkai pemikiran ”lepas” dari PTFI. Kajian akademis itu menjadi penting untuk memperoleh cara-cara menetralisasi kalau-kalau penguasa Amerika benar-benar ”marah” kepada kita.

Kita tidak perlu lagi takut kepada bayangan-bayangan kita sendiri. Karena secara politik dan ekonomi dengan enam kebijakan ekonomi yang sudah dilakukan, justru kondisi perekonomian kita akan lebih kuat kalau kita berani mengelola sendiri Freeport. Kita mampu.

Apakah kita masih saja ingin disuguhi sinetron sedih di mana kekayaan alam kita berupa emas dengan begitu bebasnya dikeruk Freeport? Sementara Indonesia sendiri masih menghadapi masalah ekonomi yang rumit, tetapi kekayaan alamnya dikeruk asing. Padahal, perintah konstitusi mengatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Papua yang kaya raya, toh rakyatnya masih hidup jauh dari kata sejahtera.

Di tengah goyahnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia digadang-gadang masih bisa berada di level 5,1 persen. Kalau melihat angka itu, mestinya bangsa kita sudah hidup lumayan makmur. Lalu, mengapa belum makmur? Inilah yang menjadi tantangan pemerintahan Jokowi untuk bisa membalik semua itu dengan strategi dan kebijakan baru menghadapi repotnya Freeport. Ke depan, semoga jalannya menjadi mudah menghadapi Freeport.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar