Minggu, 31 Januari 2016

Hikayat Tikus

Hikayat Tikus

Agus Dermawan T  ;   Penulis Kebudayaan dan Seni
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apabila Saudara ke Bali, singgahlah di Desa Ubud. Di kawasan ini tersua  rumah I Gusti Nyoman Lempad (1865-1978). Pada bagian depan rumah seniman legendaris itu terdapat sebuah patung batu yang menggambarkan seorang lelaki sakti sedang menggiring ratusan tikus. "Patung ini diinspirasi dongeng Rattenfanger von Hameln. Tak saya sangka, penghormatan orang Jerman dan orang Bali kepada satwa tikus ternyata sama," tutur Lempad.

Rattenfanger von Hameln, atau Peniup Seruling dari Hameln, adalah cerita rakyat yang berkembang di kawasan Baltik dan Jerman sejak beberapa abad silam. Syahdan, kota Hameln (Hamelin) sedang diserang hama tikus. Para pejabat kota tak ada yang bisa membereskan soal ini. Pada saat itu seorang lelaki komedian menghadap wali kota. Lelaki antah-berantah ini mengatakan, bahwa ia bisa mengusir tikus asal diupah sesuai dengan perjanjian. Dengan didukung koleganya (sejumlah pejabat dan anggota DPRD), wali kota setuju. Di suatu hari lelaki itu meniup serulingnya. Ribuan tikus berduyun menghampiri. Batalyon tikus itu lantas dinasihati supaya pergi sejauh-jauhnya dari Hameln. Agar tak lelah berjalan, tikus-tikus itu disarankan berenang ikut arus Sungai Weser.

Setelah menunaikan tugas, si pesuling mendatangi wali kota untuk mengambil upahnya. Namun, upah yang diberikan ternyata hanya separuh dari yang dijanjikan. Pesuling akhirnya tahu bahwa separuh upah yang jadi haknya dikorupsi wali kota dan koleganya. Pesuling gusar, kemudian merancang pembalasan.

Pada suatu hari, ketika para orangtua sedang merayakan Hari Santo Yohanes di gereja, lelaki itu meniup serulingnya lagi. Kali ini yang datang ternyata anak-anak. Si lelaki lantas berjalan sambil tak henti meniup seruling. Seratus anak yang terpesona terus mengikutinya. Terus dan terus, sampai jauh, kemudian tak pernah kembali.

Akhirnya ada tiga anak yang tertinggal (lantaran kakinya pincang, telinganya tuli, dan matanya buta) memberi kesaksian: rombongan anak-anak itu digiring peniup seruling menuju hutan. Ujung dongeng menjelaskan bahwa 100 anak itu berbahagia di hutan ditemani tikus-tikus yang lucu. Sementara itu, para pejabat yang korup mendapat tugas menegangkan: mencari anak-anaknya yang hilang.

Jero Ketut sampai Den Bagus

Dalam beberapa hikayat yang lahir dari kosmologi Barat, tikus (Rodentia) ternyata jauh dari kesan nista. Itu sebabnya dongeng kelucuan tikus dalam Rattenfanger von Hameln sampai digarap dalam banyak versi oleh Goethe, Grimm Bersaudara, dan Robert Browning. Bahkan, komponis Igor Stravinsky (1882-1971) meneruskannya lewat karya musik uniknya. "Aku gembira apabila musikku dipahami anak-anak. Namun, aku lebih bahagia apabila musikku bisa membuat semua tikus menari." Kedekatan Igor dengan tikus bagai menyadarkan Walt Disney bermain- main dengan tikus sehingga makhluk ini dijadikan tokoh kartun jenakanya: Mickey Mouse.

Begitu di Barat, begitu juga di Bali dan Jawa. Adat  tradisional negeri indah ini menjunjung tikus sebagai "Jero Ketut", yang bermakna "si bungsu keluarga sendiri". Untuk mengimbau tikus agar pergi dari sawah yang siap panen, doa dipanjatkan dan sesaji dipersembahkan. Di Tabanan, tikus-tikus yang ditemukan mati segera dikumpulkan untuk dikremasi alias "diaben". Penghormatan yang sama juga terjadi di banyak daerah di Jawa yang setia kepada tradisionalisme. Tikus yang tiba-tiba muncul dalam ruang biasanya hanya digusah sambil diimbuh kata sapa: "Ono opo den bagus?". "Den bagus" adalah sebutan bagi lelaki tampan. 

Akan tetapi, sang tikus ternyata tidak bisa berbangga hati di segala waktu dan di semua tempat karena di Jakarta, yang peradabannya acap menjauh dari tradisionalisme, orang justru menganggap tikus sebagai binatang sialan. Tikus dijadikan olok-olok dan hewanisasi bagi manusia yang suka mencuri.

Ketika petugas Bandara Soekarno-Hatta menangkap porter yang membongkar koper-koper penumpang pesawat terbang, berbagai stasiun televisi menayangkan teks berjalan yang berbunyi: "Waspadai tikus-tikus bandara". Ketika di Pelabuhan Tanjung Priok ditengarai banyak korupsi di meja administrasi disertai pungutan liar di segala lini, televisi beruar-uar: "Tikus-tikus riol beraksi, duit lari ke sana ke mari." Tikus riol adalah jenis tikus yang suka berdiam di got dermaga.

Puluhan karikatur di berbagai media massa selalu melambangkan pencuri dan koruptor sebagai tikus. Seperti karikatur GM Sudarta di Kompas edisi 9 Januari 2016, di situ tergambar seekor macan bernama Neo-KPK sedang memeriksakan giginya yang kecil-kecil di sebuah klinik. Di sudut sana tampak seekor tikus sedang menyeringai, memamerkan gigi-gigi politiknya yang lebih besar dari gigi si macan. Jadi, lawan Neo-KPK adalah (poli) tikus.

Pengendus istimewa

Tak jelas, mengapa tikus yang di mana-mana lucu itu ketika sampai di Jakarta menjadi busuk melulu. Tak jelas juga kenapa 154 jenis tikus yang tercatat di Jakarta, termasuk 252 anak jenisnya, tidak berani memprotes. Padahal, dongeng dunia sudah membuktikan bahwa di Hameln justru tikus lebih bermartabat budi ketimbang manusia.

 Sebagai makhluk yang cerdik, sehingga sering menghasilkan "jalan tikus", suatu kali tikus harus memamerkan kemampuan positifnya di mana-mana. Misalnya, sebagai ahli pengendus, tikus telah lama dimanfaatkan mendeteksi ranjau darat dan penyakit TBC di Afrika.

Atau, sekarang, sebagai pendeteksi bahan-bahan peledak yang disembunyikan para teroris di berbagai selipan yang sulit dijangkau penglihatan manusia. Tentu setelah tikus-tikus itu dilatih di Laboratory of Olfactory Perception di Rostov on Don, Rusia, dan setelah disemati peranti elektroda di otaknya.

Setelah menyimak hikayat tikus, para pencuri dan koruptor di Indonesia tidak tepat jika dipredikati tikus. Seharusnya mereka disebut kecoak (Orthoptera suku Blattidae). Kecoak dengan "k" kecil untuk kelas pencuri koper. Kecoak dengan "K" besar untuk level koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar