Minggu, 24 Januari 2016

Kala Senja di Bawah Beringin Tua

Kala Senja di Bawah Beringin Tua

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 23 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pohon beringin memang sangat kokoh. Lingkar batangnya besar-besar. Akar-akarnya kuat mencengkeram perut bumi. Akar gantungnya melilit, saling merekatkan. Saking kokohnya sampai-sampai badai reformasi tahun 1998 pun tidak mampu menumbangkannya. Padahal, Presiden Soeharto yang menanam dan merawat beringin saja lengser. Yang tak bisa dibendung beringin adalah usianya makin menua. Tunas-tunas muda belum mampu menggantikan dahan-dahan tua. Meskipun besar, beringin tampak keropos. Mampukah beringin tua bertahan? Atau inikah senja kala Partai Golkar?

Senja kala? Sanusi Pane (1905-1968), pujangga besar era Poejangga Baroe, melukiskan senja kala Kerajaan Majapahit dalam drama Sandhyakala ning Majapahit tahun 1933. Perjuangan, keberanian, pengorbanan berbalut rebutan kuasa, intrik, fitnah, gaduh, ribut, saling curiga, distrust menjadi bumbu tak sedap yang meruntuhkan Majapahit. Benar, Majapahit runtuh karena perang saudara. Benar pula Majapahit jatuh setelah ditaklukkan Demak. Namun, itu hanya final attack. Sesungguhnya bukan serangan pasukan yang memicu Majapahit runtuh, melainkan karena sudah keropos di dalam digerogoti virus: ingkar janji, pengkhianatan, dan rebutan kuasa. Majapahit pun sirna ilang kertaning bumi (lenyap ditelan bumi) pada 1478 atau 1400 tahun Saka.

Dan, rebutan kuasa, adu kuat, rebutan kantor, rebutan kursi di parlemen, saling gugat, menjadi adegan-adegan mengejutkan dalam sepenggal episode Golkar akhir-akhir ini. Konflik Golkar sepertinya tak menemukan ujung jalan. Terlalu panjang dan berliku. Lebih setahun, Golkar terbelah dua: kubu Munas Bali dipimpin Aburizal Bakrie dan kubu Munas Jakarta dipimpin Agung Laksono. Meskipun pemerintah mencabut SK kubu Munas Jakarta dan tidak menerbitkan SK kubu Munas Bali, akhir 2015, tak lantas rekonsiliasi terwujud.

Padahal, dua kubu itu sama-sama pengurus hasil Munas Riau tahun 2009. Ketika Aburizal menjadi ketua umum, Agung adalah wakil ketua umum. Dulu teman, sekarang lawan. Namun, begitulah politik, tak ada teman atau musuh abadi. Teman sendiri bisa saling ”memakan”. Hanya kepentingan yang membuat mereka berkantor sama di satu meja seperti saat menghadapi pilkada serentak pada Desember 2015. Selebihnya cuma saling tuding dan saling gugat.

Dalam partai politik, konflik sesungguhnya bisa menjadi katup pengendali yang dapat mendinamisasi partai. Tanpa konflik, partai mungkin terlihat monoton. Mirip sayur tanpa garam. Kurang sedap. Padahal, namanya partai sewajarnya ada kejutan-kejutan. Di Golkar bukan kali ini saja berkonflik. Rebutan posisi puncak partai sudah biasa. Mereka yang kalah lalu membangun jalan sendiri. Sudah empat partai lahir dari rahim Golkar: PKPI, Hanura, Gerindra, dan Nasdem.

Belum lagi, diaspora Golkar tersebar di hampir semua partai di negeri ini. Sejatinya begitulah beringin, mampu memberikan berlimpah kebaikan bagi alam sekitar: memberi oksigen kehidupan, menyerap polusi, menjernihkan mata air. Meskipun banyak kader yang loncat pagar, Golkar tetap kokoh. Seperti sifat alamiahnya, beringin memang kuat dan tahan banting dalam kondisi iklim apa pun juga. Sejarah mencatat, ketangguhan dan kelenturan Golkar sangat tinggi.

Di era Soeharto, Golkar jadi elemen penting dalam struktur kekuasaan Orde Baru yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI/TNI, Birokrat, Golkar). Golkar jadi partai paling berpengalaman, punya sumber daya dan struktur paling lengkap. Mereka yang tidak ikut Golkar bisa dianggap subversif. Maka, dua partai lain, PPP-PDI, barangkali jadi pemanis demokrasi saja. Akar-akar beringin menjalar ke mana-mana. Maka, ketika ada badai reformasi pun, Golkar tetap bertahan.

Bayangkan, di tengah kemarahan rakyat, Golkar masih bisa meraih peringkat kedua pada Pemilu 1999. Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung dengan slogan ”Golkar baru”, partai beringin meraih 120 kursi di DPR. Pada Pemilu 2004, Golkar meraih 128 kursi di DPR, menyalip ke posisi teratas, mengalahkan PDI-P. Pada Pemilu 2009, Golkar di posisi kedua, tetapi kursi di DPR turun menjadi 106. Pada Pemilu 2014, walau bertahan di posisi kedua, suaranya merosot hingga tinggal 91 kursi di DPR.

Di usianya yang menapak ke-52, Golkar memang partai paling tua, yang kaya pengalaman dan sumber daya. Sayang, apabila modal politik itu berantakan gara-gara para pemimpin partai gagal menjalankan peran politiknya. Golkar bukanlah korporasi, apalagi milik perorangan. Negarawan Inggris, Edmund Burke (1729-1797), mewanti-wanti, bahwa partai politik memang tempat sekelompok orang yang menjalankan prinsip tertentu, tetapi tentu saja untuk mengabdi dan melindungi kepentingan nasional.

Lantas bisakah Ketua Tim Transisi Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang mantan Ketua Umum Partai Golkar, menyelesaikan konflik Golkar? Gelagat melunak kubu Aburizal mungkin pertanda baik. Dengan pengalamannya, Golkar sebetulnya bisa melakukan self healing. Sebab, sejatinya beringin punya khasiat banyak. Kabarnya akar dan daunnya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Akan tetapi, kalau adu otot yang digunakan sebagai basis berpikir dan bertindak, barangkali jalan berliku akan makin curam.

Jika Golkar tak mampu mengelola konflik internal, bagaimana bisa menyelesaikan problem bangsa yang lebih besar? Menikmati senja di bawah beringin tua, sayup-sayup terdengar penggalan lagu grup musik rock era 1980-1990, Elpamas, yang mengentak:

Beringin tua, saat ambang senja/desa yang sunyi dan sepi/alam temaram, mentari tenggelam.../ beringin tua kembali menggoda lamunanku/misteriku, beringin yang kemarin di sini/sekarang tak aku tahu di mana....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar