Senin, 25 Januari 2016

Komitmen Perlindungan Anak

Komitmen Perlindungan Anak

Asrorun Ni’am Sholeh ;  Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 23 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selepas Asar, suasana di Kantor Kepresidenan masih lengang. Baru beberapa pejabat negara saja yang hadir, di antaranya Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Mendikbud Anies Baswedan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.

Selain saya sendiri, tentu saja. Sore itu kami dipersilakan menunggu di ruang protokoler Istana. Beberapa jurnalis sibuk mempersiapkan alat-alat rekam mereka di press room . Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menjelaskan, rapat terbatas akan dimulai setengah jam lagi. Seiring itu pula, beberapa menteri hadir satu per satu. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan tampak berjalan cepat diiringi sejumlah ajudan.

Dia mengeluarkan sapu tangan, menyeka butiran air di pelipisnya. Raut wajahnya dingin sambil memperhatikan suasana di sekelilingnya. Kami pun bersalaman sekedar basabasi ala budaya ketimuran orang Indonesia.

Tak lama berselang, satu per satu para pembantu presiden berdatangan. Saat itu tepat pukul 16.00 WIB. Di antara yang hadir adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin, Menkominfo Rudiantara, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menpora Imam Nachrowi, Mendes dan PDT Marwan Jafar, Menristek-M Nasir, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono Anung.

Ruangan sedikit ramai dengan bincang-bincang para pejabat.

Tidak lama kemudian, Jokowi datang sambil menyalami kami satu per satu. Senyumnya yang khas, melukiskan betapa antusiasnya mantan gubernur DKI Jakarta ini menerima kita semua. Staf Kepresidenan mulai menutup pintu ruangan, menandakan rapat terbatas segera dimulai. Tema yang akan dibahas adalah perlindungan anak, khususnya tentang maraknya tindakan perundungan di sekolah.

Secara terminologi, perundungan adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan, dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, seksualitas, atau kemampuan.

Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan siber. Budaya penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antarmanusia, mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, hingga lingkungan.

Beberapa hari sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerahkan dokumen yang berisi data kenaikan kasus perundungan di sekolah kepada Presiden Jokowi. Sebagai kepala negara, Jokowi pun menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini. Menurutnya, kekerasan di sekolah harus segera dihentikan dengan langkah-langkah konkret dan radikal.

Kunci mengatasi kekerasan di sekolah adalah memberi edukasi pada masyarakat, keluarga, dan anak-anak untuk bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam mencegah kekerasan. Dalam rapat terbatas yang langsung dipimpinnya, Rabu sore(20/1), Jokowi menyatakan program pendidikan karakter dan budi pekerti harus digalakkan.

Oleh sebab itu, Jokowi pun memerintahkan Menteri Anies Baswedan untuk merealisasikannya di seluruh sekolah di Indonesia. Saya sempat terperangah dengan apa yang disampaikannya saat ratas itu. KPAI menangkap ada semangat luar biasa yang terpancar dari sosok Jokowi. Seorang kepala negara yang sangat mengerti arti penting perlindungan anak.

Jokowi adalah seorang ayah, yang pasti pernah merasakan rasa takut dan khawatir jika sesuatu yang buruk menimpa putra atau putrinya. Oleh sebab itu, komitmen yang disampaikan dalam ratas itu, kemudian mewujud pada rencananya menerbitkan Peraturan Presiden Antiperundungan di sekolah.

Ini tentu luar biasa. Mengapa? Di tengah keterbatasan KPAI untuk menyelenggarakan perlindungan anak, Jokowi menunjukkan dukungan yang besar kepada kami. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, saya mewakili lembaga menyampaikan terima kasih yang besar kepada Presiden Jokowi yang dipilih melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan. Data primer yang masuk KPAI menunjukkan peningkatan kasus bullying di sekolah dalam satu tahun terakhir.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya pertama, kurangnya pengawasan dari masyarakat, khususnya pihak sekolah dan orang tua terhadap aktivitas anak selaku peserta didik. Kedua, maraknya warnet yang menyediakan game online sehingga sangat mudah dimasuki anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sudah bukan rahasia lagi, jika anak-anak yang memainkan game online di warnet, mereka terbiasa mengeluarkan kata-kata buruk dan umpatan.

Dari sini, kebiasaan itu kemudian dibawa ke sekolah dan jalin-menjalin dalam perilaku mereka sehari-hari. Belum lagi, jika kita berbicara tentang pornografi dan cyber crime lainnya. Anak akan mudah mengimitasikan atas apa yang mereka saksikan dan dengar di media maya. Inilah ancaman yang sesungguhnya yang harus mendapat perhatian kita semua.

Perlindungan anak memiliki lima pilar, yakni orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Jika salah satunya tidak berfungsi dengan selayaknya, penyelenggaraan perlindungan anak akan sulit diwujudkan. Sudah berbusa-busa KPAI mendesak semua pihak untuk mengawasi aktivitas anak di warnet yang menyediakan game online .

Namun, sepanjang itu pula belum ada perhatian serius dari para stakeholder untuk mengatasinya. Selama ini, KPAI juga menilai tidak seriusnya pelaku usaha menciptakan game online yang ramah anak. Tidak hanya itu, KPAI menyoroti belum adanya koordinasi yang efektif antarkementerian dalam hal perlindungan anak. Belum adanya Trauma Center yang profesional dan sigap untuk melindungi anak, menunjukkan belum seriusnya pemerintah mengatasi persoalan anak kontemporer.

Saya menyampaikan dukungan atas rencana penerbitan Perpres Antiperundungan saat ratas. Di samping perpres tentang pencegahan kekerasan di sekolah dan optimalisasi pengawasan terhadap tayangan kekerasan, saya juga mengusulkan perluasan cakupan Inpres Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA), yang hanya mengatur kejahatan seksual, menjadi Gerakan Nasional Perlindungan Anak (GNPA) sebagai gerakan nasional di bawah koordinasi langsung Presiden.

Jika gerakan ini bisa terealisasi, seluruh rakyat Indonesia akan serentak bersama KPAI mengungkapkan ”Terima kasih Jokowi”, yang telah menunjukkan iktikad dan komitmen kuat untuk bersama-sama melindungi anak Indonesia dari segala macam bahaya yang kini semakin kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar