Kamis, 28 Januari 2016

Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Dahlan Iskan  ;  Mantan CEO Jawa Pos
                                                    JAWA POS, 25 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BOLEHKAH kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan?

Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak itu. Menarik. Sangat menarik.

Soal Blok Mahakam, saya hanya tahu sebagian. Sedangkan soal FI, saya tidak banyak tahu.

Ketiganya mungkin bisa dibandingkan. Mungkin juga tidak. Ketiganya beda industri. Juga beda negara asal.

Asahan dengan perusahaan Jepang. Bergerak di peleburan aluminium. Blok Mahakam dengan perusahaan Prancis. Di bidang migas.

Dan Freeport dengan perusahaan Amerika. Bidangnya pertambangan tembaga dan emas.

Asahan kini sudah 100 persen kembali milik ibu pertiwi. Blok Mahakam sedang diproses. Dan FI masih agak jauh. Yang dekat baru heboh-hebohnya.

Di pengakhiran kontrak Asahan, saya menjadi bagian yang ikut menangani prosesnya. Di Blok Mahakam, saya hanya sempat membuat salah satu pagar pengamannya. Sedangkan di FI, saya hanya ikut menonton kehebohannya.

Di Blok Mahakam, peran saya hanya terbatas: ikut membidani lahirnya keputusan Pertamina. Keputusan yang taktis. Yakni, keputusan bahwa Pertamina sanggup mengelola Blok Mahakam. Dan mampu.

Kenapa saya anggap taktis?

Pertama, telah beredar luas opini bahwa Pertamina tidak akan mampu. Karena itu, sebaiknya kontrak diperpanjang.

Kedua, saya khawatir direksi Pertamina tidak cukup kuat. Khususnya kalau ada tekanan begini: Keluarkan putusan bahwa Pertamina tidak sanggup! Bukan tidak sanggup. Tapi disuruh tidak sanggup.

Gejala munculnya tekanan seperti itu belum ada. Atau lebih tepatnya: saya tidak tahu. Saya hanya khawatir. Karena itu, lebih baik didahului. Dipagari. Saya minta direksi Pertamina membahas soal kemampuan itu. Secara profesional. Jangan tidak mampu mengaku mampu. Atau mampu mengaku tidak mampu.

Tiga bulan kemudian, Pertamina lapor: mampu. Sangat mampu. Saya minta kesanggupan itu dinyatakan dalam dokumen yang kuat. Lalu dikirimkan ke semua pihak.

Dengan demikian, tidak akan ada lagi yang memutarbalikkan opini. Pun Pertamina, siapa pun direksinya, terikat dengan putusan itu. Memang bisa saja diubah. Oleh direksi berikutnya, misalnya. Tapi, setidaknya memerlukan proses.

Peran saya sebatas itu. Tak lama kemudian, masa jabatan saya berakhir.

Soal FI lain lagi. Saya tidak banyak tahu. Kondisi FI juga sudah memburuk. Dividen sudah seret. Ditagih sulit. Atau tidak bisa. Lebih tepatnya memang tidak ada dividen. Berarti tidak ada lagi setoran untuk negara.

Lantas, apa sumbangan FI pada keuangan negara? Dari dividen tidak ada lagi. Maka, saya memperjuangkan ide ini: Saham 9 persen itu disatukan saja dengan saham-saham minoritas milik negara di tempat lain.

Disatukan dalam satu perusahaan. Lalu, nilai saham-saham itu dijadikan agunan untuk mencari uang. Uangnya bisa dipakai membangun infrastruktur.

Ide seperti itu setidaknya bisa membuat saham yang tidak berarti itu menjadi saham hidup. Bukan saham yang hanya kelihatan angkanya.

Tapi, memperjuangkan ide tersebut juga tidak mudah. Tepatnya: sulit. Saham itu bukan milik BUMN. Tapi milik negara. Untuk membicarakannya, harus memutari labirin birokrasi. Saya merasa gagal memperjuangkan ide tersebut. Tapi, dengan iklim pemerintahan sekarang, mestinya bisa dicoba lagi.

Cara itu penting karena, rasanya, sampai berakhirnya kontrak FI tahun 2021 nanti, sulit mengharapkan bisa dapat setoran dividen dari FI.

Kondisi FI memang benar-benar sulit. Apalagi setelah tahun 2013 lalu membeli perusahaan minyak Plains Company yang produksinya 300 ribu barel per hari (bukan 300 juta seperti tulisan saya minggu lalu). Sejak jatuhnya harga tembaga, Freeport terhuyung-huyung. Dengan jatuhnya harga minyak, Freeport terjungkal.

Mau diapakan FI?
Sulit. Sulit sekali. Terutama karena ini: adanya peraturan yang menyulitkan banyak pihak. Menurut peraturan itu, pemerintah baru boleh membicarakan kontrak FI dua tahun sebelum kontrak berakhir. Berarti tahun 2019. Baru boleh membicarakan.

Saya tidak tahu mengapa batas itu dua tahun. Mengapa tidak lima tahun? Atau empat tahun? Apa latar belakangnya? Bagaimana asbabun nuzulnya?

Kita betul-betul ingin mendengar dari si pemilik ide dua tahun itu. Perlu buka-bukaan. Secara jenih. Akademis. Kepala dingin. Semata untuk mencari solusi.

Penentuan waktu dua tahun itu benar-benar menyulitkan semua pihak: pemerintah, yang merasa punya kepentingan, dan Freeport. Menyulitkan bagi pihak yang ingin memperpanjang. Bahkan sekaligus menyulitkan pihak yang tidak ingin memperpanjang.
Untuk skala seraksasa FI, dua tahun itu tidak cukup. Sangat. Sangat mepet. Akibatnya, semua pihak tersandera.
Jangan-jangan, dulu, penentuan dua tahun itu tidak mempertimbangkan besarnya skala usaha FI. Perlu ada kesaksian dari penyusun draf peraturan tersebut. Agar yang ingin mengubahnya tidak dituduh menyimpan udang di balik tembaga.
Kondisi FI sangat berbeda dengan Asahan. Di Asahan, jelas ada kesepakatan bagaimana kalau suatu saat kontrak berakhir.
Pihak Jepang wajib menyerahkan kembali Asahan dalam kondisi terbaiknya. Kita tidak khawatir akan menerima barang rongsokan.
Saya memuji habis perusahaan Jepang tersebut. Dalam acara perpisahan dengan mereka, pujian itu saya ulangi beberapa kali. Jepang menyerahkan kembali Asahan tidak hanya dalam kondisi baik. Tapi seperti baru: baik PLTA-nya maupun industri aluminiumnya. Bahkan investor tersebut meninggalkan uang cash yang sangat besar.
Apakah Jepang waktu itu tidak menuntut perpanjangan? Jelas: menuntut. Sangat. Amat sangat. Ngotot. Mengancam. Tidak hanya itu. Jepang juga mengancam ke arbitrase. Bukan. Bukan hanya mengancam. Tapi sudah melakukannya.
Pak Hidayat, menteri industri saat itu, berjuang habis-habisan. Bersama timnya. Berhasil.
Untuk FI, sebenarnya bisa lebih pasti. Perpanjangan dalam pengertian seperti kontrak lama sudah pasti tidak mungkin. Dalam UU kita yang baru, tidak dikenal lagi binatang bernama KK (kontrak karya). Ke depan yang dikenal hanya dua: izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juntrungannya begini: (1) Seluruh KK Freeport berakhir sesuai dengan kontraknya. (2) Wilayah bekas KK tersebut berubah status menjadi ’’wilayah pencadangan nasional’’ (WPN). (3) Pemerintah bisa mengeluarkan izin khusus (IUPK) tanpa harus tender, tapi maksimum 50.000 hektare di wilayah WPN.
Maka, kalaupun Freeport minta izin perpanjangan, maksudnya adalah minta IUPK. Untuk 50.000 hektare. Mungkin sudah mengincar di wilayah terbaik dari areal yang sekarang dimilikinya.
Masalahnya, sampai sekarang belum ada aturan yang memerincinya. Misalnya: siapa yang boleh mengajukan IUPK. Siapa yang akan diberi. Apa saja persyaratan untuk memenangkan perebutan itu. Dan seterusnya.
Menurut UU, menteri ESDM-lah yang berwenang mengeluarkan aturan itu. Maka betapa panas kursinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar