Senin, 25 Januari 2016

(Mimpi) Menghidupkan Lagi GBHN

(Mimpi) Menghidupkan Lagi GBHN

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
                                                  KORAN SINDO, 20 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu pembahasan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDIP adalah menghidupkan kembali GBHN. GBHN atau Garis-garis Besar Haluan Negara disusun oleh MPR untuk nanti dijalankan oleh pemerintah.

Pembahasan ini kemudian akan mengarah pada dua opsi yakni melakukan amendemen UUD 1945 atau merevisi undang-undang yang berkaitan dengan tugas MPR. Tetapi, Wasekjen PDIP Ahmad Basarah menegaskan, soal amendemen yang dikehendaki PDIP adalah format amendemen UUD Negara RI 1945 secara terbatas. Eksistensi GBHN sejatinya mengandung rangkaian sejarah ketatanegaraan dan pergeseran paradigma konstitusi yang demarkasinya adalah Reformasi 1998.

Reformasi yang berimplikasi terhadap tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru berdampak secara signifikan terhadap terjadi perubahan desain konstitusi mengenai konstelasi ketatanegaraan baru yang didasarkan atas paradigma sistem demokrasi konstitusional. MPR masa lalu diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara yang oleh UUD 1945 naskah asli dikatakan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Gagasan tersebut ternyata menyebabkan terjadi degradasi pemaknaan yang menempatkan MPR sebagai lembaga yang mengabsahkan kekuasaan Presiden Soeharto selama 30 tahun. Kala itu MPR diatribusikan wewenang untuk membentuk GBHN yang dijadikan sebagai haluan negara bersama dengan pemberian mandat politik kepada presiden yang menjadi mandataris MPR.

Meski terdapat banyak perdebatan mengenai efektivitas implementasi GBHN saat itu, ditinjau dari kacamata teoretis, GBHN sering dilihat sebagai sebuah produk hukum yang mampu menjembatani UUD/ konstitusi dengan peraturan pelaksanaannya melalui berbagai undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Maka itu, MPR saat ini memberikan kerangka hukum sebuah TAP MPR sebagai landasan keberadaan GBHN.

TAP MPR RI No XX/MPRS/ 1966 memang mengatur kedudukan TAP MPR sebagai produk hukum di atas sebuah undangundang, namun di bawah UUD. Posisi MPR masa itu memang memungkinkan untuk membentuk sebuah produk hukum yang secara teoretis mampu menjadi landasan yang kuat bagi eksistensi GBHN yang harus diacu oleh seluruh penyelenggara negara dan dilaksanakan melalui berbagai produk hukum.

Pasca-Reformasi desain konstitusi telah diarahkan agar semakin selaras dengan beberapa konsep seperti sistem demokrasi konstitusional, presidensialisme, desentralisasi demokratis, partisipasi rakyat, tata pemerintahan yang baik, akuntabilitas, dan sejenisnya. Gagasan tersebut telah mengubah wajah dan watak konstitusi pasca- Reformasi yang di antaranya juga mengubah eksistensi sistem kelembagaan negara.

MPR tak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bahkan hanya menjadi semacam joint session antara DPR dan DPD dalam format sistem semi-bicameral (soft bicameral system). Perubahan konsep mengenai kedudukan dan karakter MPR pasca-Reformasi yang dituangkan dalam UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen dengan demikian mengandung landasan filosofi mengenai sistem demokrasi konstitusional yang didasarkan prinsip supremasi konstitusi.

MPR yang kini hanya berposisi sebagai lembaga tinggi negara yang setingkat dengan lembaga tinggi negara yang lain memang tak dimungkinkan untuk membentuk produk hukum yang melampaui sebuah undang-undang. Prinsip demokrasi kerakyatan memang menempatkan undang-undang atau perppu sebagai produk hukum kedua setelah undang-undang. Hal ini pun didasarkan atas sistem filosofi demokrasi yang mengangkat pesan Reformasi untuk dituangkan dalam konstitusi.

Memang, tak dapat dimungkiri kebutuhan ada sebuah haluan negara yang komprehensif dan mampu digunakan sebagai landasan yang kokoh dalam menentukan arah perjalanan sebuah bangsa. UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen sejatinya telah menuangkan konsep mengenai haluan negara tersebut dalam pertemuan antara dua aras yaitu aras konstitusi dan aras kelembagaan.

Konstitusi pasca-amendemen yang dibangun di atas tumpahan darah para mahasiswa pejuang Reformasi 1998 dan para korban transisi kekuasaan pada masa itu sejatinya telah mengandung spirit yang dikehendaki oleh tuntutan Reformasi dan di dalamnya terkandung arah yang ditangkap oleh MPR semasa Reformasi yang pada waktu itu diketuai oleh Amien Rais dan dituangkan dalam serangkaian TAP MPR maupun undang-undang.

Melalui TAP MPR No I/ MPR/2003 telah dilakukan peninjauan berbagai produk TAP MPR yang pernah ada, sebagian TAP MPR tetap diberlakukan dan sebagian lagi sebagaimana amanat sebagian TAP MPR pada masa Reformasi ada yang dituangkan secara tuntas dalam beberapa undang-undang produk Reformasi.

Akibatnya, jika ingin memahami ”haluan” negara pasca-Reformasi, sejatinya dapat dilihat dengan menelusuri berbagai produk hukum yang dibentuk berdasarkan amanat TAP MPR RI No I/ MPR/2003. Pembentuk UUD Negara RI 1945 pasca-amendemen juga menganut keyakinan bahwa haluan negara akan ditentukan melalui sistem kelembagaan negara yang dibentuk pasca-amendemen UUD 1945.

Seluruh kelembagaan tinggi negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi Reformasi sejatinya juga mengemban amanat untuk bersama-sama menentukan haluan negara sesuai fungsinya masing-masing, baik di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perpaduan antara aras konstitusi dan aras kelembagaan pasca-amendemen UUD 1945 tersebut sejatinya merupakan sumber untuk menemukan haluan negara pasca-Reformasi.

Hal itu bisa dibandingkan dengan di Inggris. Inggris merupakan negara yang tak memiliki dokumen konstitusi tertulis, namun tak berarti mereka tidak menganut konstitusionalisme. Nilai-nilai konstitusional di negara tersebut dapat ditemukan di berbagai undang-undang tersebar yang mengatur sistem kelembagaan negara di negara tersebut.

Hal yang sama dapat digunakan untuk membidik persoalan mengenai perlunya haluan negara di negeri ini. Ketiadaan dokumen formal GBHN tak berarti menyebabkan tidak dimilikinya haluan negara. Melalui paradigma sistem demokrasi kerakyatan yang kini dianut sebagai landasan konsepsional konstitusi pasca-amendemen, rakyat diberikan hak untuk berpartisipasi seluasluasnya untuk menentukan perencanaan jangka panjang di negeri ini melalui sistem Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang nanti dapat dijabarkan secara kontekstual dan realistis melalui PJMD, renstra kementerian/ lembaga, renja kementerian/ lembaga.

Analog dengan model tersebut, sebagai konsekuensi dianutnya sistem desentralisasi seluas-luasnya, daerah-daerah juga diwajibkan menyusun RPJPD sebagai perpaduan antara sistem perencanaan nasional dan daerah yang selanjutnya dapat dituangkan secara sistematis ke dalam RPJMD, renstra SKPD dan renja SKPD.

Konstruksi berpikir yang menganggap perlu ada haluan negara sejatinya sudah tercermin dalam penentuan haluan negara dalam aras konstitusi maupun kelembagaan yang menjadi perwujudan dari amanah Reformasi.

Dengan demikian, saat ini negeri ini tetap memiliki haluan negara yang tercermin dari berbagai produk hukum pasca-Reformasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam tuntutan Reformasi 1998 dan kini telah dijabarkan baik di ranah konstitusi pasca-amendemen maupun dalam berbagai peraturan perundang- undangan terkait.

Justru perlu diwaspadai ada ”irama politik tersembunyi” di balik kehendak politik untuk menghidupkan kembali GBHN yang tentu berkonsekuensi perubahan format kedudukan dan kelembagaan MPR. Sangat tidak masuk akal hanya melakukan amendemen terbatas mengenai kedudukan MPR karena di balik format kelembagaan negara yang dibentuk melalui UUD Negara RI 1945 pascaamendemen terdapat filosofi dasar mengenai arah reformasi politik pasca-Reformasi 1998.

Membaca makna UUD Negara RI 1945 harus dimulai dari tafsir sejarah yang benar mengenai konteks reformasi politik yang melatarbelakangi amendemen UUD 1945 pada 1998. Jangan sampai (mimpi) menghidupkan kembali GBHN hanya didasarkan motif lain untuk memutar kembali arah reformasi dan konsolidasi demokrasi yang kini sudah berjalan dalam semangat checks and balances kekuasaan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar