Sabtu, 30 Januari 2016

Penggeledahan KPK dan Ego Struktural DPR

Penggeledahan KPK dan Ego Struktural DPR

Indriyanto Seno Adji ;  Guru Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
                                                      KOMPAS, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen atau coerciece force) merupakan bagian dari penegakan hukum yang harus dihormati, dan bukan sesuatu yang harus dipolemikkan. Sebab, sarana keberatan terhadap pelaksanaan upaya paksa sudah diberikan tempatnya baik oleh regulasi maupun yurisprudensi.

Kontroversi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR soal ”penggeledahan” ruang kerja tersangka Dhamayanti Wisnu Putranti (DWP), anggota DPR dari Komisi V, justru mengingatkan kembali kontroversi kejadian penggeledahan ruang kerja tersangka Al Amin Nur Nasution, anggota Komisi IV DPR, beberapa tahun lalu. Hal itu khususnya sewaktu KPK melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap beberapa dokumen yang berada di ruang kerja Al Amin tersebut.

Namun, kontroversi protes penggeledahan kali ini dapat dikatakan lebih keras manakala dilakukan Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR. Di satu sisi, tindakan KPK dianggap sebagai momentum baru pembersihan kelembagaan negara sebagai hulu tertinggi institusi lembaga politik ketatanegaraan atas praktik korupsi dan suap yang menjadi karakter kultur penegakan hukum itu sendiri. Di sisi lain, tindakan KPK dianggap melecehkan DPR sebagai lembaga politik ketatanegaraan tertinggi yang harus dijaga kehormatan dan karismatiknya.

Institusi kenegaraan independen penegakan hukum mengalami hal serupa manakala pembersihan terhadap institusi politik kenegaraan merupakan awal siklus rutinitas dari masyarakat yang responsif atas buruknya penegakan hukum. Menjamurnya korupsi kelembagaan merupakan arah penegakan hukum yang perspektif. Korupsi kelembagaan ini tidaklah diartikan sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan koruptif, tetapi lebih pada penyimpangan tindakan kolektif terhadap kebijakan-kebijakan negara yang merugikan keuangan atau memberikan beban kontaminasi terhadap kelembagaan negara tersebut.

Korupsi sudah menyebar dan merata di kalangan institusi pemerintahan, kenegaraan, ataupun swasta. Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Korupsi individu sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal.

Beberapa pendekatan

Dalam menyikapi penggeledahan tersebut, polemik menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan yang luar biasa pada KPK. Dengan kekuatan luar biasa yang dimiliki KPK, diharapkan pula segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian tatanan pemberantasan korupsi yang harus diselaraskan dengan tata cara norma dan regulasi kelembagaan negara.

Masalahnya, apakah KPK dapat melakukan penggeledahan di DPR, apalagi tanpa sepengetahuan pimpinan KPK? Beberapa pendekatan bisa dijadikan pertimbangan yang membenarkan tindakan upaya paksa (penggeledahan dan penyitaan) yang disertai dan didampingi personel Polri bersenjata.

Pertama, dalam pelaksanaan upaya paksa dengan basis proyustisia, tindakan penggeledahan maupun penyitaan dibenarkan oleh regulasi (KUHAP maupun UU KPK) bagi penegak hukum untuk dibantu kepolisian guna pengamanan terhadap fisik dan psikis pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan tersebut.

Kedua, kepolisian—sebagai dasar pelindung netralitas—yang membantu pelaksanaan penegakan hukum harus dilakukan secara ”melekat” dan tetap berbasis koridor hukum, etika, dan disiplin yang berlaku universal. Yaitu, sama sekali tak dibenarkan meninggalkan peralatan yang dimiliknya, termasuk senjata (laras panjang/pendek) dan sangat tak dimungkinkan bagi penegak hukum (KPK/Kejaksaan) meminta bantuan personel tak bersenjata, seperti Satpol PP ataupun hansip. Tidak sedikit upaya perlawanan pihak tertentu terhadap pelaksanaan upaya paksa tersebut.

Dalam proses penyidikan, pencantuman nama tersangka DWP dan kawan-kawan adalah bagian dari pendalaman dan pengembangan kasus yang sangat dibenarkan. Sebab, sesuai aturan penggeledahan dan penyitaan (Pasal 32-37 KUHAP), tindakan itu dapat dilakukan pada tempat lain dari tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya (misalnya, barang bukti disembunyikan bukan di ruang kerja DWP, tetapi di ruang lain).

Ketiga, dapat diartikan bahwa penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK di DPR adalah dibenarkan sebagai suatu keabsahan (wetmatigheid), juga sebagai pelaksanaan kebijakan penegakan hukum, sehingga sama sekali tidak ada unsur obstruksi keadilan (obstruction of justice) ataupun obstruksi parlemen (obstruction of parliament).

Keempat, larangan regulasi terkait contempt ex facie, dalam hal ini Pasal 21 UU Tipikor yang memuat unsur ”menggagalkan” ataupun ”merintangi” penyidikan selalu menjadi perdebatan. Kalau dikatakan bahwa wakil ketua DPR menggagalkan proses penyidikan, dapatlah dikatakan tak terjadi karena proses penggeledahan dan penyitaan tetap dilakukan KPK. Meski demikian, selalu jadi perdebatan atas adanya upaya ”merintangi” penyidikan (saat akan dilakukan penggeledahan dan penyitaan) karena upaya ”merintangi” sudah dianggap terjadi dilakukan Fahri Hamzah. Seharusnya siapa pun pihak yang keberatan dengan tata cara dan proses atas pelaksanaan upaya paksa berupa penggeledahan atau penyitaan telah diberikan sarana hukum (melalui lembaga praperadilan) berupa telah terciptanya perluasan obyek praperadilan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014.

Ego kelembagaan

Perdebatan soal penggeledahan bersenjata ini rupanya akan berlanjut dengan pemanggilan oleh DPR terhadap pimpinan KPK dan Polri. Pemanggilan sebagai pola rutinitas sebaiknya tidak terulang karena ini juga menimbulkan kesan adanya arogan dan ego kelembagaan pimpinan DPR terhadap pelaksanaan penegakan hukum.

Seharusnya, pimpinan DPR menghindari esprit de corps (setia kawan) berlebihan sehingga tak tercipta stigma kelembagaan DPR yang terkesan adanya subyektivitas dalam mendukung pemberantasan korupsi. Sebaiknya DPR juga tidak menyimpangi fungsi pengawasan dengan cara pemanggilan terkait proses penegakan hukum atas pemberantasan korupsi yang terkesan adanya intervensi terselubung atas penanganan kasus DWP dan kawan-kawan tersebut.

Dalam konsep due process of law, dengan tetap menjaga karismatik lembaga dan kewibawaan DPR, maka sikap sinergitas KPK terhadap lembaga-lembaga kenegaraan lainnya—termasuk dengan DPR—dalam melakukan pemberantasan korupsi, khususnya perkara DWP, diharapkan sebagai ”gerbang depan” untuk membuka tabir segala kompleksitas korupsi kelembagaan di negara ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar