Minggu, 31 Januari 2016

Sekali Lagi Basuki...

Sekali Lagi Basuki...

Budiarto Shambazy  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dibolehkannya calon independen atau calon perseorangan mengikuti pemilihan kepala daerah diawali oleh Lalu Ranggalawe. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini bermaksud mengikuti Pilgub NTB.

Namun, partai dia, Partai Bintang Reformasi (PBR), menolak mencalonkan Ranggalawe. Dia tak terima perlakuan itu, lalu ke Jakarta mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

MK akhirnya menerima pengajuan uji materi ini. Landmark decision itu dikeluarkan melalui keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 yang membolehkan calon perseorangan ikut pilkada.

Kutipan Putusan MK memuat naskah "Pendirian Mahkamah" 24 butir yang memperkuat dalil bahwa Ranggalawe boleh ikut pilkada. Dari 24 butir itu, 11 butir menyebut "UU Pemerintahan Aceh" sebagai rujukan.

Mengapa Aceh? Pasalnya, pemilihan gubernur (pilgub) di Aceh dimenangi calon perseorangan Irwandi Yusuf.

Pilgub di Aceh "proyek percontohan" sukses yang patut ditiru provinsi-provinsi lainnya. Ibaratnya, UU Pemerintahan Aceh adalah asam di gunung, sedangkan uji materi Ranggalawe garam di laut, mereka bersua di kuali MK di Ibu Kota.

Namun, sejak keputusan MK tersebut, cuma segelintir dari ratusan calon perseorangan yang mengikuti pilkada di berbagai tingkatan. Jumlah yang mencalonkan dan juga yang akhirnya menang, hanya dalam hitungan jari saja.

Pilkada DKI

Februari tahun depan, Pilkada DKI Jakarta akan digelar. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, menurut berbagai survei, saat ini merupakan calon kuat.

Mungkin lawan Basuki yang paling serius akan datang dari Partai Gerindra, partai yang mencalonkan Basuki sebagai cagub mendampingi Joko Widodo (PDI-P) pada tahun 2012. Gerindra sudah menjaring delapan cagub yang dalam beberapa bulan ke depan akan dikerucutkan menjadi tiga, kemudian satu cagub yang dianggap terbaik.

Gerindra berada di peringkat kedua merebut 92 dari 264 pilkada 9 Desember 2015, sebuah prestasi fenomenal. Konsistensi Gerindra di Koalisi Merah Putih bisa menjadi keuntungan komparatif.

Lebih penting lagi, Gerindra berpengalaman menyiapkan sekaligus memenangi kursi Jokowi-Basuki di Jakarta. Dalam perjalanan, setelah Basuki keluar dari Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu tak henti-hentinya menyuarakan kritik vokal lewat DPRD-DKI.

Basuki sendiri memiliki keleluasaan untuk mencalonkan diri sebagai calon perseorangan atau melalui partai. Dan, partai yang paling mungkin mengusung Basuki sampai saat ini adalah PDI-P.

Untuk memudahkan, Basuki bisa saja secara resmi menjadi anggota PDI-P. Jika ini terjadi, PDI-P akan jadi partai ketiga yang bagi Basuki setelah Partai Golkar dan Partai Gerindra.

Apakah pendukung Basuki, terutama Teman Ahok yang telah mengumpulkan sekitar 630.000 fotokopi KTP agar memenuhi syarat dia sebagai calon perseorangan, akan keberatan? Tampaknya belum tentu demikian.

Sekali lagi, Basuki memiliki keleluasaan memilih mana yang terbaik bagi dirinya. Paling penting, Basuki sampai saat ini masih menjadi kandidat terpopuler.

Di mata sebagian warga, Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki terbukti jadi lebih baik. Penyebabnya, pertama, Basuki selalu berbicara jujur dan, kedua, mengerjakan apa yang mesti dikerjakan oleh seorang Gubernur Ibu Kota.

Gaya memimpin seperti itulah yang kita saksikan saat Basuki berbicara kepada media melalui door-stop interview hampir setiap hari saat tiba di teras Kantor Gubernur.

Mungkin cara berbicara Basuki yang terkesan kasar menjadi persoalan bagi sebagian kalangan. Namun, belakangan ini kesan itu makin pudar.

Juga telah terbukti hal-hal yang bersifat primordial yang melekat pada Basuki tidak lagi relevan bagi para pemilih di Ibu Kota. Sudah sia-sia bagi para pesaing Basuki untuk memanipulasi primordialisme dalam kampanye pilgub kelak.

Terakhir, warga Jakarta rupanya masih percaya pada "fenomena Jokowi-Ahok" pada Pilgub DKI 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar