Rabu, 27 Januari 2016

Teror Bom dan Etika Sosial

Teror Bom dan Etika Sosial

Nanang Martono ;  Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
                                                KORAN SINDO, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bom meledak lagi di Jakarta. Ada banyak pihak yang menghubungkan tragedi ini dengan isu-isu strategis lainnya. Ada isu radikalisasi agama sampai pada dugaan pengalihan isu politik. Apa pun alasannya, semua bentuk terror memang tidak dibenarkan, apalagi bila teror tersebut sampai memakan korban jiwa.

Ada yang ”menarik” dalam peristiwa teror bom di Jakarta kemarin. Perbedaan ini ada dalam cara masyarakat menyebarkan informasi melalui media sosial yang mudah diakses. Fotofoto korban dan kondisi terakhir di tempat kejadian perkara (TKP) bisa tersebar ke seluruh Indonesia dalam hitungan detik melalui ponsel pintar. Beberapa jam setelah kejadian juga beredar ”informasi ringan” seputar tragedi bom.

Sebagian menyebar ”keanehan” perilaku warga yang sibuk ”menonton” dan berkumpul di lokasi kejadian untuk menyaksikan kondisi TKP secara langsung. Bukannya takut dengan kemungkinan bom susulan, masyarakat justru berusaha mendekati lokasi kejadian dan berusaha mendapatkan foto terbaiknya untuk disebarkan melalui ponsel masing-masing.

Berada di lokasi kejadian seolah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, laksana seorang wartawan yang berusaha menyajikan gambar-gambar ekstrie dari jarak sedekat mungkin dari TKP. Foto dan video yang tersebar melalui ponsel juga tidak diketahui ”siapa pemilik hak ciptanya”.

Bila pemotret pertama mengajukan hak cipta, mungkin ia bisa mendapatkan banyak royalti atas fotonya tersebut. Tapi yang jelas, foto dan video itu dengan mudah tersebar dan tersimpan di setiap ponsel. Lalu muncul tag ”kami tidak takut”. Kalimat itu pun langsung tersebar secara viral melalui media sosial. Ini seolah menjadi sebuah pernyataan sikap bahwa masyarakat Indonesia tidak takut dengan aksi terorisme meski dalam kenyataannya mereka tentu merasa takut bila terjadi bom susulan.

Ada pula orang yang memotret kisah para pedagang yang ”memilih sibuk” dengan pekerjaannya daripada memikirkan teror bom. Foto-foto pedagang yang tetap berjualan di sekitar TKP pun ikut tersebar dengan cepat. Bahkan ada foto seorang pedagang yang menawarkan dagangannya pada tentara yang sedang berjaga.

Kita tidak tahu apakah foto itu benar diambil di lokasi kejadian atau diambil di tempat lain lalu dihubungkan dengan tragedi 14 Januari kemarin. Atau, benarkah mereka memang asli pedagang, bukan orang yang sedang menyamar sebagai pedagang. Faktanya, banyak orang yang ”secara sukarela” ikut menyebarkan foto dan video tersebut atau sekadar ikut memberikan ”jempol”.

Inilah ”keunikan” yang terjadi pascateror bom kemarin yang tidak dijumpai pada aksi-aksi teroris sebelumnya. Namun, di balik keunikan tersebut, ada pula perilaku tidak pantas yang dilakukan beberapa orang.

Tidak sedikit warga yang melakukan aksi selfie atau memfoto diri sendiri dengan latar belakang TKP. Kita tidak tahu apa maksud mereka melakukan selfie di TKP. Namun, yang jelas, perilaku mereka telah memanfaatkan momen yang menyedihkan untuk mencapai ”kesenangan” pribadi. Setelah ber-selfie ria, sebagian besar dari mereka akan menyebarkan foto selfie-nya ke kerabat atau teman-temannya melalui media sosial untuk sekadar ”meminta tanda jempol” atau mengharapkan sebuah komentar.

Selain selfie, ada pula tindakan yang semestinya tidak dilakukan masyarakat, yaitu memotret dan merekam gambar korban lalu menyebarkannya melalui media sosial. Foto dan video tersebut menyebar secara viral dan dapat ditonton jutaan pasang mata secara gratis. Kepedihan dan kesakitan korban serta kesedihan yang dirasakan sanak keluarganya seolah menjadi objek tontonan. Bahkan ada foto aparat kepolisian yang menjadi korban yang menahan rasa sakit bersimbah darah akibat terkena bom.

Parahnya, sang polisi yang terfoto itu pun hanya mengenakan (maaf) celana dalam karena baju dan celananya sobek. Bila tidak dihapus oleh pemilik akun, foto dan video tersebut akan dapat diakses sampai puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.

Belajar dari tragedi 14 Januari kemarin, menunjukkan bahwa kita harus memberikan pelajaran mengenai ”etika fotografi” serta etika menggunakan media sosial. Aksi selfie di TKP, tindakan memotret, dan menyebarkan foto korban secara bebas dan vulgar tanpa sensor adalah wujud masyarakat tidak memahami etika ”bagaimana cara menghormati dan memperlakukan korban” di media publik.

Mereka tidak memahami bagaimana perasaan sanak saudara yang ditinggalkan korban ketika mereka melihat foto anggota keluarga mereka tersebar di ruang publik. Memang, ini bukan aib, tapi setidaknya perasaan dan kondisi psikologis korban dan keluarganya harus tetap dihormati.

Dulu etika ini hanya dikenal dalam dunia jurnalistik karena mereka adalah pihak yang ”memiliki hak” untuk melaporkan dan menyebarkan informasi. Namun, sekarang, pada era teknologi dan informasi yang semakin bebas, etika ini harus dipahami setiap orang. Saat ini semua orang adalah sumber informasi, semua orang bisa menjadi seorang ”jurnalis independen” tanpa dibayar.

Mereka seolah ingin menjadi yang pertama dalam memberitakan sebuah peristiwa penting. Tak heran, mereka pun berlomba menangkap dan menyebarkan informasi dan gambar secepat mungkin agar hasil karya mereka menjadi ”trending topic” di media sosial. Mereka pun berlomba menjadi komentator pribadi melalui media sosial. Komentar yang baik pun akan dibagikan ke banyak akun media sosial.

Dan, sang komentator pun menjadi ”artis dadakan” hanya karena ikut memberikan analisis singkat di media sosial. Singkatnya, pembelajaran mengenai etika bukan semata etika pergaulan langsung dalam dunia nyata, namun juga etika ”interaksi dalam dunia maya”. Pemahaman etika juga meliputi bagaimana memilih konten yang pantas untuk disebarluaskan kepada khalayak umum. Ada baiknya pembelajaran mengenai etika ini dimasukkan dalam kurikulum tersembunyi di sekolah melalui mata pelajaran terkait. Yang terpenting, masyarakat harus memahami etika sosial ini sejak dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar