Rabu, 17 Februari 2016

Bentuk Negara, Bangun Jiwa

Bentuk Negara, Bangun Jiwa

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Universitas Pludiscploinaires Pantheon-Sorbanne
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada awal 2016, kita, Indonesia, disuguhi dua peristiwa yang sekaligus mengejutkan, mengerikan, dan menjengkelkan. Peristiwa tersebut berupa aksi teror yang dilakukan oleh kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah dan aksi rukun yang digerakkan simpatisan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara).

Dari wajah dan postur para pencetus peristiwa, kelihatan sekali bahwa mereka adalah orang-orang Indonesia.

Ketika jalannya peradaban menyimpang di luar dugaan, kata A Hayek (1945), ketika alih-alih progres berkelanjutan yang diharapkan tampil pengadang berwajah barbar. Kita marahi semua, kita kecam siapa saja, kecuali diri sendiri. Padahal, kalau jauh sebelumnya kita cukup atentif pada masalah sosio-ekonomiko-politik, sebenarnya kedua peristiwa yang memang pantas dikecam itu sudah memberikan aneka sinyal agar kita eling lan waspada. Lalu siapakah "kita" yang lalai dan serba santai selama ini?

Kita adalah "polity". Kedua peristiwa naas tadi merupakan masalah yang menugaskan kita untuk memecahkannya secara nasional. Maka, tugas mahapenting yang menantang kita, Negara-Bangsa Indonesia, merupakan bagian dari tugas filosofi politik, mengenai polity yang menarasikan jauh lebih luas daripada sekadar lembaga-lembaga pemerintahan. Ia mencakup semua lembaga, disposisi, kebiasaan, etika, ide, dan lain-lain norma yang menjadi pegangan pemerintah, etika, ide, dan lain-lain norma yang menjadi pegangan pemerintah, dan karena itu perlu ia usahakan agar punya pengaruh pembinaan/pembentukan.

Negara-Bangsa beda dengan klaster apartemen atau hotel yang adalah lokalitas fisik, permukiman yang berpenghuni, berpenduduk. Negara-Bangsa bukan merupakan lokalitas fisik, permukiman yang berpenghuni, berpenduduk, Negara-Bangsa bukan merupakan lokalitas fisik. Demi eksistensinya, ia (seharusnya) punya warga negara (citizens), bukan sekadar penduduk, yaitu orang-orang yang tidak hanya melibatkan diri secara kondisional, tetapi lebih-lebih berkomitmen. Maka, pemerintah dari Negara-Bangsa yang demokratis perlu menjadi sekaligus pelayan (servant) dan pembimbing (tutor) sebab kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu alam pikiran (mindset).

Selama ini, Pemerintah NKRI mengabaikan kedua tugas pokok yang diniscayakan itu. Tugas itu, sebaliknya, dipenuhi pihak lain begitu rupa hingga ada rakyat Indonesia yang membelakangkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila) dan berakibat pada tafsiran Islam yang justru melakukan apa yang dilarang Allah seperti, antara lain, bunuh diri dengan bom. Ada pula rakyat Indonesia yang akhirnya mencari sendiri lahan bercocok tanam, menetapkan sendiri fajar ranah harapan di wilayah penduduk lain berhubung pemerintah melupakan begitu saja usaha transmigrasi yang sudah dimulai sejak zaman kolonial, membentuk "pemerintahannya" sendiri di situ dan mengembangkan ajaran keislamannya sendiri.

Kesejahteraan adalah milik rakyat, kata Cicero (106-43 BC). Rakyat bukanlah orang-orang yang bergerombol begitu saja asal-asalan, tetapi sekumpulan makhluk human yang berasosiasi berdasar persepakatan tentang keadilan dan kemitraan demi kebaikan bersama. Sebab, pertama dari asosiasi seperti itu bukanlah kelemahan individual, tetapi sejenis spirit sosial yang ditanamkan oleh alam dalam diri sendiri manusia. Apakah memang dapat dibenarkan pengabdian formal terhadap hak-hak komunitas adat? Apakah memang dianggap wajar bila penduduk di sekitar satu lokasi tambang atau pembabatan hutan dibiarkan menjadi penonton saja? Apakah memang dirasa lumrah kalau pemerintah membiarkan saja tanah yang merupakan obyek strategis menjadi komoditas liberal? (Kompas, 29/1) Apakah memang pantas bila rakyat sulit mendapatkan lahan untuk sumber penghidupan dasar, sedangkan korporasi jauh lebih mudah dan lebih luas memperolehnya dengan difasilitasi pemerintah?

Jangan heran dan terkejut bila sejumlah penduduk lalu berasosiasi mencari sendiri ranah yang dijanjikan oleh kemerdekaan nasional, membentuk "indonesianya sendiri" di wilayah NKRI. Maka, walaupun sudah terlambat, Pemerintah NKRI perlu memenuhi tugas pelayanan dan pembimbingnya. Eksistensi Negara-Bangsa menjadi taruhan karena menyangkut keberadaan warga negara (alam pikiran).

Membangun jiwa

Jiwa menarasikan keseluruhan kehidupan batin manusia (inner life of men). Kehidupan ini ternyata tidak mendapat perhatian pemerintah sebanyak dan secukup seperti yang dicurahkannya pada pembangunan dunia fisik. Selama lebih dari setengah abad pembangunan fisik ini, rakyat Indonesia terutama dikerahkan ke arah produktivitas. Namun, kesibukan nasional dalam pembangunan fisik (baca ekonomi) berarti pengabdian dunia jiwa. Dengan pemenuhan pembangunan jiwa yang jauh dari memadai, kita berisiko kehilangan yang terpenting dari semua revolusi, yaitu revolusi dalam sentimen, spirit, sikap, dan opini moral.

Ada yang berpendapat semua unsur yang hilang itu bukan berupa urusan pemerintah. Semua itu adalah urusan pribadi, bukan legitimate concern dari lembaga-lembaga publik. Dengan kata lain, pemerintah tak seharusnya, tak dapat melegislasi moralitas. Namun, nyatanya pemerintah ada kalanya melakukan hal itu. Legislasi moralitas ini mencakup penegakan hukum dan penerapan kebijakan yang menetapkan, memberi wewenang, mengatur atau mendukung perilaku yang diperkirakan bakal memengaruhi atau mengubah kebiasaan, disposisi, dan nilai-nilai yang diadatkan secara luas. Maka, pemerintah seharusnya lebih sering berbuat begitu dan secara lebih terbuka mengingat signifikasi dampaknya.

Pemerintah tak dapat mengelak melakukan apa yang mustahil dielakkannya. Tindakan pemerintah akan lebih baik bila ia membenarkan saja apa yang dilakukannya selama bertujuan keadilan dan kemitraan yang mungkin akan terwujud jika ia menyadari dan paham bahwa membentuk Negara-Bangsa adalah membangun jiwa. George F Will, Guru Besar Filosofi Politik Amerika, menulis buku Stratecraft As Soulcraft (1983) yang isinya khusus ditujukan kepada politikus dan negarawan bangsanya. Jauh sebelum ini, lagu perjuangan kemerdekaan kita (1928) yang kemudian dinobatkan menjadi lagu kebangsaan Indonesia Merdeka (1945) sudah mengingatkan keniscayaan membangun jiwa itu. Setelah memersonifikasi Tanah-Air sebagai Ibu dan kita bertugas memandunya, lagu kebangsaan kita menarasikan "hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku semuanya", ia menyatakan "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya".

Jadi kita harus membangun jiwa Indonesia lebih dahulu, baru kemudian badannya. Dengan membangun jiwa Negara-Bangsa secara serius dan sistematis berarti pemerintah mengakui fungsi-fungsi mulia dari pemerintahan nasional. Berarti ia berani melawan doktrin liberal yang menyatakan bahwa bila mengenai "kehidupan batin", yaitu satu dimensi penting dari kehidupan, pemerintah seharusnya bersikap netral, semakin lama semakin mengurangi campur tangannya, bahkan jauh berkurang daripada yang telah digariskan UUD 45 Pasal 33 Ayat 3: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Pembangunan nasional

Dahulu orang mengira bahwa untuk merasa tergolong pada suatu polity rakyat cukup puas dengan turut menikmati perlindungan dan kemakmurannya. Maka itu, pembangunan sebagai usaha mengisi kemerdekaannya diwujudkan berupa pembangunan ekonomi bersendikan ajaran ekonomika yang sarat dengan ide self-interestedness dan dan laissezfaire individualism. Dengan kata lain, the art of politics is a mere excecise in economics by homo economicus. Di zaman "modern" sekarang, ide "ketergolongan" meliputi dimensi tambahan dari partisipasi dalam pemerintahan, yaitu intinya adalah turut mengambil keputusan.

Maka, ide pemerintah sebagai pembimbing, tidak hanya sekadar pelayan, menjadi krusial, labih-lebih di saat demokrasi tidak lagi bisa dibuat langsung. Suatu polity yang paham bahwa membentuk negara adalah membangun jiwa bukanlah suatu polity dengan sebuah cabang khas di birokrasinya, tidak pula memiliki jaringan institusional khas, tetapi punya suatu kerangka berpikir khas.

Kerja kolektif maha besar Negara-Bangsa Indonesia masih tetap pembangunan, tetapi bukan lagi pembangunan ekonomi, melainkan pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi yang mengandalkan homo economicus tetap perlu tapi sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan dari dan oleh warga negara yang bermartabat. Pembangunan ini bukan dalam term pendapatan (GNP, GDP, average income) tapi dalam term "ruang sosial" yang keberhasilannya diukur oleh sekaligus "memiliki lebih banyak" (to have more) dan lebih diwongke/dihargai/bermartabat (to be more). Ruang sosial ini bukan substansi abstrak, tetapi ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas tertentu.

Rakyat merasa lebih bermartabat, kalaupun bukan diakui sebagai "pemilik republik" karena dalam sistem dan natur pembangunan dalam term ruang sosial ini dia sendiri diminta turut membicarakan setiap proyek pembangunan (pusat atau daerah) yang berlokasi di wilayah permukimannya. Dia sendiri harus hadir, tak boleh mewakilkan atau diwakilkan, terlepas dari pertimbangan pendidikan, profesi dan kedudukan sosial, turut bermusyawarah, turut bermufakat memutuskan. Jika kita pikir penduduk lokal bersangkutan tak cukup tercerahkan, obatnya bukanlah membatalkan hak berpartisipasi itu, tetapi mencerdaskannya melalui bimbingan. Semua bimbingan pada dasarnya pendidikan moral karena pembelajaran membimbing, memandu, serta mengondisikan pikiran dan perbuatan rakyat dalam suasana penting dan luas dari kehidupan.

Tradisi merupakan energi yang mengusung suatu sistem moral. Tradisi musyawarah/mufakat (Pancasila) dipreservasi tidak melalui hafalan atau seremoni formal Menko Pembangunan Manusia, melainkan dengan metode tertentu transmisi. Maka, ia adalah suatu keterampilan, sebentuk penguasaan. Kita selaku Negara-Bangsa berpeluang abadi bila masuk membentuk warga terbaik dan yang terbaik dalam diri warga negara melalui kultivasi terbaik dunia fisik di bawah dan di sekitar kita dan dunia intelektual serta moral dalam diri kita.

Sistem dan natur pembangunan nasional dalam term ruang sosial meniscayakan pembinaan alam pikiran warga negara dengan jalan partisipasi dalam jalannya pemerintahan, bukan melalui indoktrinasi. Ia memungkinkan pula pelaksanaan "demokrasi kontinu" di level akar rumput di tengah-tengah penerapan demokrasi-tak-langsung di level nasional. Berhubung pembangunan ini sudah berkali-kali saya paparkan dalam konteks yang berbeda di harian ini dan dalam buku Studi Strategi (Penerbit Kompas 2014), saya pikir tak perlu lagi diuraikan terperinci. Bila diterapkan secara konsekuen, ia kiranya sejalan dengan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Tradisi politik kita tak berawal di Athena, apalagi di Konferensi Meja Bundar Den Haag, tetapi ia ruang Sumpah Pemuda (1928), tempat lantunan himne "Indonesia Raya" ditentukan sebagai agenda rapat. Renungan mengenai tradisi itu mengingatkan kita bahwa membentuk Negara-Bangsa adalah membangun jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar