Senin, 22 Februari 2016

Ikan Melimpah, Kesejahteraan Turun

Ikan Melimpah, Kesejahteraan Turun

M Riza Damanik  ;   Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia;
Anggota World Forum of Fisher People
                                                     KOMPAS, 19 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada anomali pengelolaan perikanan setahun terakhir. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut sumber daya ikan telah kembali melimpah di laut Indonesia. Sebaliknya, indikator ekonomi perikanan dan kenelayanan justru menurun.

Menurut Badan Pusat Statistik, hingga September 2015, nilai tukar nelayan masih tersandera pada kisaran 102-106. Bahkan, indeks kesejahteraan pembudidaya ikan sempat anjlok di bawah 100. Begitu pun terhadap rasio kredit macet (NPL) UMKM perikanan. Data Otoritas Jasa Keuangan (2015) menyebut NPL perikanan bergerak naik dari 3,77 pada Desember 2014 menjadi 5,18 pada Juli 2015.

Anomali

Pemburukan juga dihadapi industri perikanan. Sebenarnya, pada kuartal I hingga kuartal III- 2014 kapasitas terpakai industri perikanan nasional membaik dengan rata-rata 75,10 persen. Namun, laporan Bank Indonesia pada 2015 mengisyaratkan pelemahan menjadi 68,04 persen. Mengapa anomali terjadi?

Terputusnya kelimpahan ikan dengan kesejahteraan nelayan dapat dijelaskan dalam persamaan matematika A+B+C. "A" adalah total ikan laut yang ditangkap untuk konsumsi dari perairan Indonesia. Pada 10 tahun terakhir, kontribusi subsektor perikanan tangkap terhadap kebutuhan pangan perikanan minimal 4,2 juta ton di mana 75 persennya adalah tangkapan nelayan kecil.

"B" adalah ikan laut yang diambil untuk industri pengolahan dan ekspor. Volumenya cukup dinamis: 20 persen dari total produksi atau sekurang-kurangnya 1 juta ton. Penguatan nilai tukar mata uang dollar atau yen biasanya turut memengaruhi kinerja industri perikanan di Tanah Air. Namun, kali ini berbeda. Meski 2015 terjadi penguatan dollar AS terhadap rupiah, utilitas industri perikanan justru turun pada kisaran 3-8 persen.

Di luar A dan B ada bilangan C yang kerap terabaikan, tetapi memengaruhi anomali. Bilangan "C" merupakan estimasi volume ikan yang dicuri dari perairan Indonesia setiap tahun. Tidak ada jumlah pasti, tetapi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut nilai kerugian Indonesia akibat perikanan ilegal tidak diatur dan tidak dilaporkan mencapai 30 miliar dollar AS per tahun. Artinya, keberhasilan pemerintah memberantas pencurian ikan (sekaligus) menjelaskan ada potensi sekurang-kurangnya 1 juta ton ikan tidak terangkut dan berbiak di laut Indonesia.

Itu sebabnya pasca moratorium kapal-kapal eks-asing dan penenggelaman kapal pencuri ikan terjadi kelimpahan ikan. Namun, kelimpahan tersebut baru sebatas potensi, belum berhasil dipindahkan ke kapal-kapal nelayan Indonesia, khususnya nelayan tradisional.

Mengubah potensi

Potensi bukanlah produksi! Potensi hanyalah estimasi total ikan di laut Indonesia yang berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI jumlahnya mencapai 6,5 juta ton. Angka ini kabarnya segera dikoreksi menjadi lebih dari 7 juta ton. Adapun produksi adalah kemampuan mengelola potensi tersebut secara adil dan lestari. Artinya, tak cukup hanya mengumumkan potensi ikan di laut Indonesia, Menteri Susi harus memimpin peningkatan produktivitas rakyat.

Bergegaslah membenahi urusan hulu-hilir perikanan. Di hulu, percepatan akurasi data dan skema reformasi perizinan harus menjadi prioritas. Adapun di hilir, pembenahan pasar jauh lebih penting daripada sibuk membuka 100 persen industri pengolahan ikan kepada investasi asing. Perbaikan dapat dimulai dengan memperkuat soliditas Kabinet Kerja dalam mengoperasikan gagasan Revolusi Mental.

Persiapkanlah anak-anak Indonesia menjadi generasi sehat, cerdas, dan kuat dengan kampanye makan ikan yang lebih serius. Kementerian BUMN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, dan tentunya KKP dapat mengonsolidasikan anggaran "Revolusi Mental" setiap kementerian untuk memfasilitasi makan siang gratis di seluruh sekolah dasar negeri dengan berbagai produk perikanan.

Revolusi dengan makan ikan lebih bermanfaat daripada mereduksi "revolusi mental" menjadi proyek advertorial, spanduk, dan baliho. Di Jepang, tradisi makan ikan di sekolah telah menstimulasi bangkitnya industri perikanan dan pengolahan. Mari merayakan keberlimpahan ikan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar