Selasa, 16 Februari 2016

Ikon

Ikon

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
                                               KORAN SINDO, 11 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa yang dengan cepat terlintas di benak Anda ketika ditanya soal Paris? Menara Eiffel. Kalau London? Big Ben. Bagaimana dengan Roma, Italia? Colosseum.

Bahkan Negeri Piza itu punya satu ikon lagi, yakni Menara Pisa, menara miring yang berlokasi di Kota Pisa. Kita menyebut bangunan-bangunan tersebut sebagai ikon suatu kota atau negara. Ikon arti sederhananya adalah benda, gambar atau tanda yang menunjukkan atau mewakili sesuatu. Dalam kasus ini, sesuatu menunjuk pada kota atau negara. Setiap negara perlu punya ikon.

Sebab ikon itu bukan saja menjadi penanda, tetapi juga penting artinya bagi bisnis. Siapa saja yang pergi ke Prancis rasanya belum mantap kalau belum berkunjung ke Menara Eiffel. Begitu juga Anda belum akan dianggap datang ke London kalau belum berfoto didepan Big Ben. Belum ke Italia kalau tidak mengunjungi Colosseum dan Menara Pisa. Membangun ikon adalah pekerjaan besar dan sekaligus historis. Juga kerap diwarnai aksi penolakan.

Contohnya Menara Eiffel tadi. Jangan bayangkan hari ini, bayangkan saat ia dipersembahkan. Gustave Eiffel, sang perancang, ingin membangun menara tersebut di Barcelona, Spanyol. Namun penguasa kota itu menolak dengan alasan bangunannya terlalu aneh, biayanya mahal, dan tidak cocok dengan kondisi kota. Maka Eiffel pun kemudian mengalihkan proposalnya ke Paris, Prancis.

Pembangunannya melibatkan ratusan pekerja. Setelah jadi, kritik membanjir. Persis seperti saat Bung Karno membangun Istora atau Stadion Olahraga Senayan. Dikatakan proyek mercusuarlah dan sebagainya. Agak mirip juga dengan kereta cepat novelis Guy de Maupassant yang termasuk benci dengan Menara Eiffel.

Itu sebabnya dia selalu makan siang di restoran yang ada di menara itu. Alasannya, itulah satu-satunya tempat di Paris di mana dia bisa tidak melihat Menara Eiffel. Begitulah, setiap pekerjaan besar selalu menuai kontroversi di masyarakat. Ada yang senang, tapi tak sedikit pula yang mengkritik. Bahkan mencoba menghalang-halangi.

Proyek Ikonik

Sebagaimana lazimnya proyek besar dan ikonik, biayanya pasti mahal, tingkat kesulitannya juga sangat tinggi, mengerahkan begitu banyak tenaga kerja dan teknologinya rumit. Tapi, menurut saya, setiap negara dan setiap pemimpin perlu memiliki proyek besar semacam ini. Bukan hanya satu, tapi kalau bisa beberapa. Mengapa? Ini bukan sekadar proyek mercusuar.

Ada banyak makna, simbol, dan pelajaran yang bisa dipetik dari proyek-proyek raksasa dan ikonik semacam ini. Di antaranya proyek-proyek semacam ini bisa membuat suatu bangsa “naik kelas”. Lewat proyek ini, suatu bangsa bisa melahirkan banyak terobosan dan inovasi. Lalu proyek-proyek semacam ini juga bisa menjadi penanda seberapa jauh suatu bangsa bisa bersatu, bahu-membahu membangun negaranya.

Juga lewat proyek-proyek ikonik semacam ini sang pemimpin bisa menyampaikan banyak pesan kepada bangsanya. Contohnya, di Dubai kita bisa menyaksikan bangunan tertinggi di dunia. Namanya Burj Khalifa. Melalui menara setinggi 828 meter yang dibangun dengan biaya USD1,5 miliar (mungkin setara dengan Rp 15 triliun) ini, Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) ingin mengatakan bahwa penerimaan negara mereka tak lagi bergantung pada minyak dan gas, melainkan dari industri pariwisata.

Itu sebabnya banyak proyek raksasa dibangun di UEA untuk menunjang industri pariwisatanya. Di sana ada masjid terbesar Sheikh Zayed Grand Mosque, Bandara Al-Maktoum dan Dubai International, Dubai World Trade Center, Dubai Mall, dan masih banyak lagi. Presiden John F Kennedy ingin Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang unggul dalam teknologi ruang angkasa.

Maka ia mengirimkan astronot ke bulan dan membawanya pulang kembali ke bumi dalam keadaan selamat. China punya lahan yang luas. Sebagian lahan bisa digunakan untuk industri, sebagian lainnya untukpertanian. Hanyamasalahnya keduanya membutuhkan pasokan air yang kontinu. Maka Pemerintah China pun kemudian membangun bendungan raksasa, Three Gorges Dam, senilai USD 22 miliar (sekira Rp 220 triliun).

Proyek itu bukan hanya menjamin ketersediaan air, tetapi juga dilengkapi dengan 32 turbin pembangkit tenaga listrik. Begitulah, setiap bangsa yang besar, dengan pemimpin yang besar dan visioner, selalu menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya yang ikonik.

Proyek yang Menyatukan

Sejarah mencatat kita adalah bangsa yang mudah dipecah belah dan diadu domba. Itu sebabnya kita juga menjadi bangsa yang mudah dijajah. Kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Melalui politik pecah belah, Belanda dengan mudah mengadu sesama anak bangsa. Perang pun terjadi dimana-mana.

Di Maluku ada Perang Saparua yang dipimpin Pattimura. Ada Perang Padri di Sumatera Barat atau Perang Diponegoro di Jawa. Kekuatan bangsa kita pun akhirnya terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga dengan mudah ditekan oleh Belanda. Kini Belanda sudah tak lagi menjajah kita, tapi jejaknya masih bisa dengan mudah kita temukan.

Mereka yang kalah dalam pilkada mengerahkan massa pendukungnya untuk menolak hasil pilkada. Maka terjadilah bentrok sesama anggota masyarakat. Partai-partai di parlemen tak pernah berhenti berseteru meski pemilu sudah lama berlalu. Mereka saling melemahkan satu sama lain. Legislatif tak henti-hentinya menyerang eksekutif. Mereka menyebut dengan istilah kritik membangun, dilakukan untuk mengawasi pemerintah.

Tapi kita tak bisa ditipu. Itulah jejak-jejak mental dari bangsa terjajah yang belum berhasil move on. Kini kita tengah merancang proyek kereta cepat Jakarta- Bandung. Nilainya mencapai USD5,5 miliar atau sekitar Rp74 triliun. Ini proyek besar dan ikonik—setidak-tidaknya untuk ukuran Indonesia. Banyak pihak yang terlibat, mulai dari BUMN, pemerintah, baik di pusat maupun daerah, sampai lembagalembaga riset. Ini semua membutuhkan koordinasi.

Maka tak mengherankan jika tingkat kesulitannya juga tinggi. Tapi, coba lihat apa yang muncul ke permukaan. Semua menyerang, mengkritik, mencari- cari kesalahan dari proyek tersebut. Persis seperti anak SD yang berkelahi, pandainya cuma dipakai untuk mencari-cari kesalahan. Sekalilagi jangan bodohi kami dengan alasan demokrasi yang berarti bebas bicara sesuka hati, bebas menjegal-jegal, hal gampang dibuat sulit. Konteks dikarang-karang sesuka hati.

Ini proyek kereta cepat, tapi semua ribut ketika proses perizinannya dianggap terlalu cepat. Aneh. Bukankah dari dulu kita mengkritik birokrasi kita suka memperlambat dan menunda-nunda? Lalu masingmasing pihak bersikukuh mempertahankan kepentingan sendiri. Bukan apa yang bisa mereka “berikan” untuk menyukseskan proyek ini. Saya cuma berpikir, kalau sesama institusi negara saja susah, apalagi kita yang di bawah?

Pantas sukanya buat aturan dan mempersulit. Kita pernah punya proyek ikonik. Namanya Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa yang diluncurkan pada 16 Agustus 1976 di Cape Kennedy, Florida, AS. Ketika itu Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang memiliki satelit. Kalaudi dunia, kita yang keempat setelah AS, UniSoviet, danKanada.

Satelit Palapa terbukti mampu menyatukan kita dalam arti yang sesungguhnya—melalui teknologi telekomunikasi. Saya berharap proyek kereta cepat juga mampu menyatukan kita. Saya berharap tak ada lagi pertanyaan, “Bukankah Singapura saja yang lebih maju dari kita juga tidak membangun kereta cepat?” Bah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar