Kamis, 25 Februari 2016

Jakarta Beijing Nan Bak Bandung Tianjin

Jakarta Beijing Nan Bak Bandung Tianjin

Dahlan Iskan ;   Mantan CEO Jawa Pos
                                                   JAWA POS, 15 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BENARKAH proyek kereta cepat Jakarta–Bandung terinspirasi kereta cepat Beijing ke Tianjin?

Presiden Jokowi memang naik kereta cepat dari Beijing ke Tianjin. Saat kunjungan kenegaraan ke Tiongkok tahun lalu. Konon, Bapak Presiden mendapat laporan yang istimewa: Tianjin maju pesat setelah ada kereta cepat itu.

Tapi, saya belum pernah mendengar sendiri bahwa perjalanan itulah yang membuat presiden ngotot membangun kereta cepat Jakarta–Bandung. Saya hanya membacanya di berita online. Belum tentu benar.

Tapi, apakah Jakarta–Bandung mirip Beijing–Tianjin?

Saya sudah puluhan kali ke Tianjin. Bahkan pernah tinggal di sana. Hampir dua tahun. Sudah seperti kampung sendiri.

Hati yang ada di dada saya ini misalnya. Adalah hati anak muda Tianjin yang tiba-tiba meninggal dunia. Lalu diberikan kepada saya.

Tapi, saya sudah sering ke Tianjin jauh sebelum itu. Sejak kota industri itu masih kumuh. Berdebu. Berbau. Belum ada jalan tol.

Beijing–Tianjin saya tempuh dengan naik bus lima jam. Mau naik kereta, tidak berani. Berjejal. Pengap. Berdesakan.

Tianjin masih dikenal sebagai kota buruh. Miskin –pakai sekali. Asap hitam di mana-mana. Cerobong pabrik seperti berlomba melukai langit.

Di halaman rumah sakit pun ada tumpukan batu bara. Di depan hotel juga. Berserakan. Untuk memasak air.

Ketika kota-kota lain mulai berbenah, Tianjin masih ketinggalan. Ketika kota lain sudah mulai cantik, Tianjin masih kumuh. Orang tidak perlu bertanya di mana toilet. Dari jauh pun sudah tahu. Baunya dari arah mana.

Lalu, ada jalan tol dari Beijing ke Tianjin. Sejauh 140 km. Langsung padat. Dibangun lagi jalan tol yang lain. Masih tidak cukup. Kini ada empat jalan tol dari Beijing (18 juta jiwa) ke Tianjin (14 juta jiwa).

Lalu, dibangun pula jalur kereta cepat. Jarak 140 km itu hanya ditempuh dalam 29 menit. Setelah ada kereta cepat, saya hampir selalu naik ini. Keretanya banyak banget. Tiap 15 menit, ada pemberangkatan. Pada jam sibuk tiap 10 menit. Hampir selalu penuh.

Apakah ekonomi Tianjin maju karena kereta cepat?

Saya belum pernah baca publikasi tentang itu. Mungkin saja. Salah satunya. Tapi, rasanya, jalan tol-lah pemegang peran pertama dan utama.

Lalu, ada pelabuhan. Pelabuhan Tianjin luar biasa besarnya. Bisa melayani kapal terbesar sepanjang waktu. Lautnya tidak pernah beku. Pada musim es sekalipun. Beijing tidak punya pelabuhan. Tianjin-lah pintu Beijing.

Lalu, ada jalan tol ke arah Shanghai (selatan). Jalan tol lagi ke arah Shenyang (utara). Jalan tol lagi ke arah Jinan (barat laut). Dan banyak lagi. Ke segala arah.

Kereta cepat memegang peran kesekian.

Tapi, orang Tianjin suka berseloroh begini: Tianjin maju bukan karena semua itu. Tianjin maju sejak Wen Jiabao menjadi perdana menteri.

Maksudnya: Sejak itulah banyak kebijakan pusat yang pro-Tianjin. Mungkin itu seloroh orang iri. Wen memang putra daerah Tianjin. Alumnus Nankai University, ”Unpad”-nya Tiongkok. Kebetulan, sejak saat itu saya melihat Tianjin berubah total. Modern, bersih, kinclong.

Apakah Bandung mirip Tianjin dan Jakarta mirip Beijing? Silakan berpendapat sendiri-sendiri. Hanya, bagi yang berpendapat proyek Jakarta–Bandung itu tidak layak, janganlah mempersoalkan teknologi dan pengalaman.

Tiongkok memang relatif muda di teknologi itu. Tapi, yang muda belum tentu kalah.

Harus diakui: Kereta tercepat di dunia saat ini ada di Tiongkok. Kereta cepat terpanjang di dunia saat ini di Tiongkok. Produksi kereta cepat terbanyak saat ini: Tiongkok.

Tiongkok sudah membayar sangat mahal sebelum mencapai tahap ini. Yakni, ketika memilih membangun kereta maglev. Teknologi Jerman. Kecepatan 415 km per jam. Rodanya tidak menempel di rel.

Itulah kereta tercepat di dunia. Di Shanghai. Untuk melayani penumpang yang menuju bandara.

Proyek itu berhenti di situ. Di Shanghai. Tidak jadi dikembangkan.

Tiongkok lantas menoleh ke Kanada. Ke Bombardier. Yang juga pemilik teknologi pesawat terbang Bombardier. Maka, kereta cepat Tiongkok itu pada dasarnya adalah teknologi Kanada.

Itulah yang akhirnya dikembangkan. Seperti halilintar. Menyambar segala jurusan. Kini sudah ada kereta cepat Beijing–Guangzhou. Delapan jam. Jaraknya hampir sama dengan dari Jakarta ke Bangkok. Ada jalur Shanghai–Kunming. Ada lagi Beijing–Shanghai. Atau Shanghai–Shenzhen.

Ke mana pun di Tiongkok, kini ada kereta cepat: 300 km per jam. Bahkan, awal-awalnya dulu Beijing–Tianjin atau Shanghai–Hangzhou dijalankan 319 km per jam. Saya suka memotret display digital di gerbongnya. Saat perjalanan menunjukkan angka 319.

Bagi yang tidak setuju proyek Jakarta–Bandung, sebaiknya cari alasan lain. Misalnya, apakah itu prioritas kita saat ini.

Misalnya lagi, apakah angka Rp 77 triliun itu tidak lebih baik untuk yang lain. Mungkin bisa untuk proyek lain yang lebih prioritas. Misalnya membuat KA Jakarta–Surabaya yang berkecepatan 200 km per jam. Jakarta–Surabaya 4 jam. Daripada hanya 70 km per jam saat ini.

Atau ditambah sedikit bisa untuk membangun jembatan Selat Sunda. Atau untuk membangun jalan tol seluruh Sumatera.

Atau membangun tol atas laut Jakarta–Surabaya. Atau. Atau. Atau. Atau tetap untuk Jakarta–Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar