Senin, 22 Februari 2016

Kemelut Pertanahan Kereta Cepat

Kemelut Pertanahan Kereta Cepat

Iwan Nurdin ;   Sekretaris Jenderal KPA
                                                     KOMPAS, 20 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung kemudian diperkuat dengan Perpres 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional membuat masyarakat terenyak.

Dengan Perpres terakhir, pemerintah telah memantapkan posisi proyek kereta cepat sebagai proyek strategis nasional.

Proyek ini telah membuka tabir gelap UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang selama ini dikritik. Dengan mengeluarkan Perpres, proyek yang digadang-gadang sebagai proyek bisnis bisa "naik kelas" menjadi proyek kepentingan umum hanya karena pemerintah menghendakinya.

Padahal, sebuah proyek kepentingan umum sedikitnya mempunyai ciri pokok berupa: pengguna atau penerima manfaat proyek haruslah lintas batas segmen sosial. Sebaliknya, kereta cepat ini adalah kereta kelas elite, yang akan berjalan di atas rel eksklusif milik perusahaan, maka kereta cepat ini tidak dapat disebut sebagai proyek yang dapat dinikmati berbagai kelas sosial.

Ciri selanjutnya adalah proyek tersebut haruslah dibiayai anggaran negara dan tidak dimaksudkan untuk mengejar keuntungan semata. Dua ciri terakhir ini juga tidak dipunyai oleh proyek bisnis kereta cepat.  Karena itu, publik mafhum ketika pemerintah menyatakan proyek ini business to business.

Ketika proyek bisnis kereta cepat dinaikkan levelnya menjadi proyek strategis nasional, maka proses pengadaan tanah yang seharusnya berada dalam mekanisme bisnis biasa (izin lokasi) kemudian menjadi mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum (penetapan lokasi). Bukankah negara dibenarkan bersikap keras dengan istilah "penetapan lokasi"  karena ada unsur kepentingan umum?

Konflik agraria

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 dan 15 UU 2/2012 , pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui beberapa tahapan yang disusun dalam bentuk dokumen perencanaan. Isinya dari maksud dan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah, hingga letak dan luas tanah luas tanah yang dibutuhkan.

Karena proyek bisnis kereta cepat sebelumnya tidak terdapat dalam rencana pembangunan nasional, maka tidak terdapat dalam rencana tata ruang ataupun dokumen rencana kebutuhan pengadaan tanah dan sosialisasi ke masyarakat terdampak. Konsekuensinya, proses pengadaan tanah kereta cepat rentan konflik agraria yang sering terjadi.

Selama pemerintahan Jokowi-JK, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 285 konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur. Konflik ini menempati ranking pertama tahun 2014 (215 kasus konflik) dan ranking kedua tahun 2015 (70 kasus konflik).  Sepanjang 2015, konflik agraria mengakibatkan 5 korban tewas, 39 tertembak aparat, 124 dianiaya, dan 278 ditahan.

Beberapa masalah utama yang kerap membuat masyarakat melawan proyek pembangunan infrastruktur adalah karena proyek semacam ini selalu berdalih atas nama pembangunan bagi kepentingan umum dan bukan profit oriented. Padahal, kenyataannya proyek infrastruktur sebagian besar adalah proyek bisnis biasa yang mengejar keuntungan.

Pembangunan kereta cepat akan diikuti oleh pertumbuhan kota-kota di masing-masing stasiun yang dibangun. Bisnis properti akan mengikuti secara cepat. Kita mengkhawatirkan bahwa hal ini akan mempercepat alih fungsi lahan-lahan pertanian menjadi kawasan nonpertanian.

Lindungi lahan pangan

Pasal 44 (2) UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengamanatkan agar lahan-lahan pertanian pangan dilindungi dan jika dikonversi harus ada lahan penggantinya. Rencana kereta cepat tampaknya belum mempertimbangkan apa yang telah diatur UU 41/2009 ini sehingga pemerintah pusat dan daerah tidak menginformasikan lahan pengganti pertanian pangan yang akan dipakai sekaligus mencegah konversi susulannya.

Hal yang sama juga berlaku terhadap lahan kawasan hutan yang dipakai proyek. Pelepasan kawasan hutan di Jawa wajib disertai lahan pengganti seluas dua kali kawasan yang dipakai.

Akhirnya, karena terlalu banyak aturan pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, dan kehutanan yang dilanggar, proyek kereta cepat ini layak dihentikan. Proyek semacam ini harus melalui kaji tuntas pertanahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar