Selasa, 16 Februari 2016

Koran Membunuh Koran?

Koran Membunuh Koran?

Sahala Tua Saragih  ;   Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad;
Mantan Wartawan (1978–2002
                                               KORAN SINDO, 11 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional, saya teringat sebuah judul; ”Koran Membunuh Koran”. Judul tajuk KORAN SINDO edisi Rabu, 16/12/2015 ini sangat provokatif.

Rupanya editorial tersebut merupakan ulasan terhadap berita halaman muka KORAN SINDO sehari sebelumnya yang berjudul, ”Alibaba Akuisisi Media Hong Kong”. Berita tersebut sungguh mengejutkan dan mengherankan, tetapi sekaligus menggembirakan kita di Indonesia.

Mengejutkan dan mengherankan, bahkan terkesan kontradiktif, mungkin ada pula yang menyebutnya kebodohan karena pada saat banyak media massa cetak kelas raksasa yang telah berusia lebih dari 100 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat mati satu demi satu, ada pengusaha Tiongkok yang membeli sebuah koran harian dengan harga yang sangat fantastis.

Seperti kerap diberitakan, sudah cukup banyak media massa cetak besar, berkelas internasional, dan berusia sangat tua di negara-negara industri maju (bukan di Asia) bangkrut total gara-gara kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat canggih. Sebagian media massa tersohor itu bermetamorfosis menjadi media digital atau dalam jaringan (daring).

Dalam berita langsung KORAN SINDO itu diungkapkan, Jack Ma, pendiri dan Direktur Utama Alibaba, mengakuisisi (membeli) kontan koran ternama berbahasa Inggris yang berpangkalan di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), seharga 2.060.600.000 dolar HongKong. Ini setara dengan 266 juta dolar AS atau kurang-lebih Rp3,75 triliun.

Bayangkan! Koran internasional yang terbit sejak tahun 1903 itu satu induk perusahaan (holding company) dengan majalah-majalah internasional tersohor, Esquire, Elle, Cosmopolitan, dan Harpers Bazaar. Sayang, dalam berita bagus itu tak ada kutipan ucapan Jack Ma sehingga kita tak mengetahui ada apa dibalik kenekatannya tersebut. Sebagai pengusaha senior kaliber internasional pastilah ia melakukan hal itu dengan penuh perhitungan bisnis.

Berita itu membesarkan hati kita karena peristiwa yang terkesan sensasional itu dapat meyakinkan para pengusaha media massa cetak di tanah air, rupanya bisnis media konvensional ini masih prospektif. Memang dalam pertemuan tahunan para pengusaha media massa cetak Asia selama ini juga selalu terungkap, tiras media cetak di berbagai negara industri maju, terutama Jepang dan Korea Selatan justru meningkat.

Rupanya serbuan TIK canggih tak mematikan minat warga masyarakat negaranegara maju di Asia untuk membaca media massa cetak. Di Indonesia beberapa media massa cetak yang sudah tua bangkrut total. Contohnya koran harian sore yang dahulu sangat terkenal, Sinar Harapan Jakarta, yang berhenti terbit sejak 1 Januari lalu. Ada pula sebagian media cetak konvensional beralih kemedia daring.

Sebagian media massa cetak besar mengalami penurunan tiras yang sangat berarti. Akan tetapi terjadi pula sebaliknya, beberapa koran harian yang berusia relatif muda (yang tergabung dalam kelompok perusahaan media ternama) justru tirasnya naik. Mungkin karena harga korannya sangat murah (hanya Rp2.000- Rp3.000/eksemplar). Korankoran murah namun berkualitas bagus itu ternyata menggeser (merebut) pasar koran-koran besar yang sudah tua, terutama di pasar eceran.

Pengamatan kita sehari-hari ini membantah anggapan banyak orang selama ini bahwa media daring, koran, tabloid, dan majalah elektronik telah membunuh media massa cetak konvensional. Ada pula satu fakta menarik. Ini aneh namun nyata. Majalah berita mingguan daring Detik Jakarta ternyata beberapa waktu lalu mati juga. Entah mengapa. Ini membuktikan, media (majalah) daring ternyata bisa mati pula.

Padahal ia bernaung di bawah kelompok perusahaan Trans milik Chairul Tanjung (pengusaha kaya-raya, masuk 10 besar terkaya di Indonesia). Terbukti majalah daring Detik tak mampu menggeser, apalagi membunuh majalah berita mingguan cetak konvensional, yakni Tempo, Gatra, dan beberapa majalah berita lainnya. Di bagian akhir ulasannya, penulis tajuk koran ini menulis begini, ”Lalu, apakah benar-benar media digital membunuh koran di Indonesia?

Tidak. Yang membunuh koran adalah koran itu sendiri. Tentu koran harus belajar pada peristiwa 1900 dan 1940 ketika diserang radio dan televisi. Apa yang membuat koran tetap eksis saat itu harus dicontoh oleh koran saat ini. Salah satunya adalah bagaimana melakukan perubahan gaya pemberitaan dan tampilan. Jika memang eranya digital, tentu artikel dan tampilan juga harus menyelaraskan dengan ciri media digital.

Sudah banyak media cetak yang mengubah tampilan dari print ke digital. Namun apakah sekadar itu, lalu koran akan tetap eksis di era digital? Tentu tidak. Pola pikir para pekerja media konvensional juga harus digital pula. Jadi, bukan media digital yang membunuh koran, namun koran itu sendiri, karena tidak mau menyesuaikan dengan kelebihan digital.”

Jurnalisme Mutilasi

Media daring terkenal dengan kecepatannya, hampir sama cepatnya dengan radio dan televisi siaran yang bersiaran langsung. Aktualitas menjadi nilai berita terpenting dalam media daring. Oleh karenanya, berita-beritanya sering sekali jauh dari lengkap dan utuh. Atas nama kecepatan (aktualitas) wartawan media daring sering sekali tidak memverifikasi atau mengecek kebenaran suatu fakta yang diterima atau diinderanya.

Fakta sebuah peristiwa mereka beritakan sepotong-sepotong. Bahkan hasil sebuah wawancara dengan seorang narasumber (ahli, misalnya) pun sengaja dibuat lima berita yang disiarkan dalam waktu yang berbeda-beda. Ibarat berita pembunuhan sadistis seseorang, misalnya dimutilasi, yang pertama diberitakan hanya kepalanya. Beberapa waktu kemudian diberitakan tangannya.

Berita kemudian tentang bagian dada dan perutnya. Berikutnya berita tentang kaki kirinya. Terakhir berita tentang kaki kanannya. Ini namanya jurnalisme mutilasi. Media daring tak mengenal periodisitas, juga tak punya tenggat waktu. Kalaupun ada, setiap waktu adalah tenggat waktu. Inilah kekuatan dan sekaligus kelemahan jurnalisme yang dianut media daring. Kita yakin tak semua pengakses media daring membaca semua berita bersambung tersebut.

Akibatnya, pembaca menyimpulkan sebuah peristiwa berdasarkan sepotong atau dua potong berita yang baru dibacanya di media daring. Berita yang tak lengkap dan utuh menjadi modal mereka dalam waktu singkat menentukan pendapat, sikap, bahkan keputusan (tindakan). Akibatnya, mereka bisa salah menyimpulkan sebuah peristiwa atau fakta. Mereka juga bisa salah menentukan pendapat atau sikap. Celakanya lagi bila mereka salah mengambil tindakan.

Media cetak konvensional mampu bertahan hidup, bahkan bisa lebih maju, hanya bila ia sanggup mempertahankan ciri khas dan keunggulannya yakni eksklusivisme, investigasi, kedalaman, komprehensif, independensi, keseimbangan, militansi, dan tidak partisan. Para wartawan media cetak konvensional semestinya tidak menerapkan jurnalisme kloning (saling berbagai berita yang telah siap hidang atau saling menjiplak berita).

Mereka seharusnya menjunjung tinggi eksklusivisme, berusaha keras menyajikan berita yang hanya ada di medianya. Salah satu modal utama untuk ini adalah rajin dan berani melakukan liputan penyelisikan (investigasi), termasuk penyamaran. Mereka harus militan (gigih) dalam mengungkapkan berbagai fakta yang dibutuhkan khalayak pembaca medianya. Kita akan tetap mencari, bahkan memburu, media cetak konvensional bila ia konsisten menyajikan berita-berita yang komprehensif (lengkap) dan mendalam.

Kita akan tetap memercayai media cetak konvensional bila ia tidak bersikap partisan. Segenap pengelola dan wartawannya mesti bersikap independen dan netral, terutama dalam peliputan dan pemberitaan konflik (dalam arti luas termasuk persaingan bisnis, persaingan dalam dunia olahraga, dan sebagainya).

Media harus bersikap adil terhadap semua pihak yang berkonflik dengan memberi mereka ruang/ waktu yang seimbang secara kuantitatif dan kualitatif. Dengan menerapkan jurnalisme yang menerapkan berbagai prinsip pokok ini, kita sangat yakin, media cetak konvensional tidak akan pernah mati. Media yang berbeda-beda jenis bukan saling membunuh.

Semua jenis media bersifat komplementer (saling melengkapi). Sejarah media di dunia dari dahulu hingga kini telah membuktikan ini. Selamat Hari Pers Nasional! Jayalah pers Indonesia! Terhormatlah profesi wartawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar