Jumat, 19 Februari 2016

MEA dan Regulasi Praktik Kedokteran

MEA dan Regulasi Praktik Kedokteran

Sukman Tulus Putra  ;  Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak akhir 2015, tepatnya 31 Desember 2015, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia memasuki era baru yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sering kali diidentikkan dengan pelaksanaan pasar bebas atau liberalisasi di tingkat ASEAN, yang berarti akan terjadi aliran bebas barang dan jasa di kawasan ASEAN, termasuk jasa kesehatan. Di era MEA, dokter dan dokter gigi merupakan tenaga profesional yang telah disepakati dapat bekerja lintas negara ASEAN di samping tenaga profesional lainnya, seperti perawat, akuntan, insinyur, dan lain-lain, sepanjang memenuhi ketentuan regulasi yang ada.

Dalam kaitan inilah timbul kekhawatiran atau "kegalauan" bahwa tujuan awal ASEAN untuk "kolaborasi" dan saling membantu di antara sesama bangsa ASEAN akan menjadi suatu ajang "kompetisi". Kegalauan tersebut mungkin beralasan mengingat masih terdapat titik lemah dalam pelayanan kesehatan kita, khususnya dalam penguasaan teknologi mutakhir serta sistem pembiayaan.

Meski demikian, kekhawatiran tersebut tidak perlu berlebihan oleh karena untuk dapat bekerja lintas negara bagi dokter maupun dokter gigi di ASEAN memerlukan suatu persyaratan dan harus mengikuti aturan- aturan tertentu yang ada di setiap negara.

Di dalam mutual recognition arrangement on medical practitioners (MRA) telah disepakati beberapa hal yang terkait dengan mekanisme dalam memfasilitasi mobilisasi dokter di negara ASEAN. Selain itu bahwa dokter- dokter ahli Indonesia telah terbukti mempunyai keterampilan dan kompetensi yang tidak kalah dengan dokter dari negara ASEAN lainnya. Beberapa dokter ahli kita sudah ada yang diakui dan berpraktik di beberapa negara tetangga.

Peran Konsil Kedokteran

Mekanisme mobilisasi dokter dan dokter gigi lintas negara ASEAN harus mengikuti aturan yang telah disepakati bersama dan aturan dari masing-masing negara ASEAN (domestic regulation). Untuk ini setiap negara mempunyai suatu badan yang disebut Profesional Medical Regulatory Authority (PMRA) untuk dokter dan Professional Dental Regulatory Authority untuk dokter gigi. Badan ini merupakan institusi yang menyusun regulasi dalam praktik kedokteran dan berlaku untuk semua dokter atau dokter gigi baik dokter asing maupun dokter Indonesia.

PMRA untuk Indonesia adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran, KKI adalah lembaga independen yang langsung bertanggung jawab pada Presiden dan mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis (Pasal 6).

Pengesahan suatu keahlian dan tingkat kompetensi dokter atau dokter gigi harus dilakukan KKI sebelum dokter tersebut mendapat lisensi atau surat tanda registrasi yang merupakan salah satu syarat untuk melakukan praktik. Dalam kaitan inilah pentingnya peran KKI dalam pengaturan praktik dokter di Indonesia termasuk dokter atau dokter gigi yang berasal dari luar negeri.

Selain KKI, Kementerian Kesehatan juga merupakan PMRA untuk Indonesia yang mempunyai peran yang cukup penting dalam pengaturan penempatan berdasarkan kebutuhan dokter dan dokter gigi di seluruh Tanah Air. Verifikasi dokumen profesi termasuk letter of good standing dari negara asal harus dilakukan oleh KKI.

Selain itu semua dokter asing yang akan bekerja di Indonesia secara legal harus mengikuti program adaptasi atau penilaian kompetensi terlebih dahulu oleh karena mereka berasal dari negara-negara yang berbeda sistem pendidikan kedokteran termasuk pendidikan dokter spesialis. Meski demikian, KKI dapat melakukan "diskualifikasi" terhadap dokter dari luar negeri yang akan bekerja di Indonesia yang tentu saja harus dilakukan secara obyektif dengan bekerja sama dengan organisasi profesi terkait sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.

Akhirnya, MEA dapat merupakan peluang maupun tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya dokter dan dokter gigi di Indonesia. Kerja sama dalam bidang kesehatan di tingkat ASEAN diharapkan mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, saling berbagi informasi, saling tukar menukar pengalaman dan alih teknologi kedokteran, pendidikan, dan pelatihan serta penelitian sesuai dengan tujuan dari MRA. KKI yang mempunyai peran penting dan strategis dalam era MEA. KKI harus melakukan pengawasan dan kontrol terhadap praktik profesi kedokteran dalam upaya melindungi masyarakat dari tenaga yang tidak profesional baik oleh dokter Indonesia sendiri maupun dokter dari luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar