Sabtu, 27 Februari 2016

Menagih Janji Kampanye Pilkada

Menagih Janji Kampanye Pilkada

Sumbo Tinarbuko ;   Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 25 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo, seperti dikutip media massa, meminta gubernur dan wakil gubernur yang ia lantik konsisten memenuhi janji kampanye.
Presiden juga meminta semua gubernur dan wakil gubernur memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. ”Setelah pilkada serentak berakhir, saatnya melangkah untuk melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang mahaberat, mewujudkan janji-janji saudara untuk mencapai kesejahteraan rakyat,” kata Presiden seusai melantik tujuh gubernur dan wakil gubernur di Istana Negara, Jumat, 12 Februari 2016.

Permintaan Presiden Joko Widodo kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk melunasi janji kampanye selaras dengan nasihat nenek moyang kepada kita, ahli waris penerus peradaban ini. ”Janji adalah utang,” demikian nasihat leluhur kita.

Hal itu berlaku juga pada janji politik berwujud janji kampanye yang dikumandangkan peserta pemilihan kepala daerah serentak 2015. Artinya, janji kampanye Pilkada 2015 yang dikumandangkan bakal calon bupati, wali kota, dan gubernur dalam perspektif kebudayaan adalah bagian dari utang moral dan utang sosial.

Sebagai bagian dari utang, janji kampanye harus segera dilunasi sejurus mereka memenangi perhelatan pilkada serentak. Janji kampanye wajib ditunaikan saat mereka resmi dilantik sebagai pejabat publik: bupati, wali kota, dan gubernur.

Utang janji

Benarkah pejabat publik yang menduduki kursi nomor satu di wilayahnya memiliki banyak utang janji? Mengacu pada realitas sosial yang tercatat dalam media, banyak utang janji kampanye pilkada yang belum lunas dibayarkan. Hingga hari ini masih berserak tebaran nota-nota utang janji kampanye yang belum terbayarkan.

Hebatnya, si pengemplang utang janji kampanye tanpa merasa berdosa memajukan diri menjadi peserta Pilkada 2015. Bahkan, janji kampanye yang disiarkan ke ruang publik jauh lebih dahsyat ketimbang sebelumnya.

Buku catatan realitas sosial yang ada dalam ingatan masyarakat menyebutkan beberapa janji kampanye yang secara paritas dijanjikan para kandidat peserta pilkada saat kampanye. Janji kampanye yang senantiasa manis diucapkan di antaranya melayani rakyat dengan tata kelola pemerintahan yang baik, bebas korupsi, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, sawah bebas pajak, mencetak sawah sekian juta hektar, penguatan sistem ekonomi kerakyatan, menyediakan ribuan lapangan pekerjaan, mengembangkan budaya lokal, meningkatkan kesetaraan jender.

Mereka, sang pembuat janji kampanye, memosisikan diri bagaikan kakek Sinterklas yang membagikan pundi-pundi hadiah kepada anak kecil yang menunggu kehadirannya. Sudah menjadi perangai anak kecil, begitu mendapat hadiah dari Sinterklas, ekspresi riang gembira membahana di wajah anak kecil tersebut.

Ketika janji kampanye diposisikan bagaikan hadiah yang dibagikan Sinterklas, tentu sangat berbeda tabiat dan peruntukannya. Begitu hadiah diberikan langsung dari tangan Sinterklas, selesai sudah urusannya.

Sebaliknya, pelunasan janji kampanye menjadi rumit urusannya karena melibatkan berbagai pihak. Saat janji kampanye diucapkan, sang pembuat janji kampanye jarang sekali memikirkan teknis pengejawantahan yang melibatkan dinas terkait serta anggaran khusus untuk mewujudkan janji kampanye tersebut.

Bagi warga masyarakat, janji kampanye yang dikumandangkan sang pengutang janji kampanye ibarat petir di siang bolong. Terlihat mengentak. Terkesan merakyat sekaligus membumi. Namun, dalam perspektif realitas sosial sulit diwujudkan. Apalagi diejawantahkan. Kalaupun dapat direalisasikan, visualisasinya laksana langit dengan bumi. Alias mustahil.

Mengapa bakal calon bupati, wali kota, dan gubernur, gemar membuat janji kampanye? Rupanya janji dianggap sebagai senjata ampuh untuk merebut kekuasaan serta dimitoskan menjadi bagian dari komunikasi politik. Saat bakal calon tampil di depan publik massa pendukung, dengan berapi-api mereka memuntahkan janji kampanye, lewat seremonial orasi politik yang terlihat sangat meyakinkan.

Muntahan janji kampanye tersebut juga didokumentasikanlewat paparan iklan politik yang dipasang di koran, ditancapkan di ruang publik, dan disiarkan di media massa elektronik. Apa yang didapatkan dari muntahan orasi berisi janji kampanye tersebut?

Tidak perlu dituliskan di sini. Pembaca pasti dapat memaparkan bentangan janji kampanye yang terdengar manis di mulut, tetapi seret di tenggorokan.

Selaraskan ucapan dengan tindakan

Perhelatan pilkada serentak sudah usai. Para pemenang secara serentak dilantik Presiden Joko Widodo.

Sekarang menjadi tugas kita bersama mengingatkan para bupati, wali kota, dan gubernur yang terpilih secara demokratis agar taat asas saat menuliskan dan mengucapkan janji kampanye sebab realitas sosial mencatat: mewujudkan janji kampanye jauh lebih sulit daripada menuliskan dan mengucapkan janji kampanye.

Butuh energi besar dan moralitas tinggi menyelaraskan ucapan dengan tindakan. Itu jadi penting untuk menghindarkan diri mendapat predikat bupati, wali kota, dan gubernur yang jarkoni: isane ujar nanging ora isa nglakoni (pinternya bicara, tetapi tak bisa mewujudkan secara nyata atas apa yang diucapkannya).

Saat bupati, wali kota, dan gubernur mendapat julukan jarkoni, pada titik itulah personal branding dari pejabat publik nomor satu di kabupaten, kota, dan provinsi tersebut menempati kasta paling bawah.

Hancurlah sudah reputasi sosial dan intelektual yang mereka bangun puluhan tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar