Senin, 22 Februari 2016

Momentum Kebijakan Fiskal

Momentum Kebijakan Fiskal

A Prasetyantoko ;   Ekonom Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
                                                     KOMPAS, 22 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tujuan kebijakan fiskal terutama menciptakan lapangan kerja. Karena itu, efektivitasnya diukur dari seberapa banyak pengangguran bisa ditekan. Paling tidak, begitulah argumen pokok ilmuwan ekonomi John Maynard Keynes.

Dilema ini menjadi salah satu perhatian kita akhir-akhir ini. Di satu sisi, penerimaan turun, sedangkan di sisi pengeluaran justru terjadi akselerasi. Mengerem pengeluaran, terutama anggaran pembangunan infrastruktur, tak akan menjadi pilihan. Lalu, bagaimana menyelamatkan fiskal kita tahun ini?

Melesetnya penerimaan pajak bukan hal baru. Sudah sejak tahun lalu pemerintah digugat karena dianggap tak realistis menetapkan target pajak. Namun, akhir-akhir ini ada perkembangan penting lain, yaitu harga minyak di pasar dunia yang merosot, menyentuh angka 30 dollar AS per barrel.

Kejatuhan harga minyak yang diikuti kemerosotan harga komoditas menjadi perhatian global. Harga komoditas yang rendah menandai terjadinya stagnasi panjang (secular stagnation) pada perekonomian global.

Dinamika perekonomian domestik tak luput dari stagnasi global ini. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2015 sudah mulai meningkat, situasi perekonomian sepanjang tahun masih jauh lebih buruk daripada 2014. Tahun ini, meski diyakini akan membaik dibandingkan dengan tahun lalu, pertumbuhan tak akan signifikan.

Target pertumbuhan tahun ini minimal 5,2 persen bisa dicapai melalui berbagai upaya. Di bidang moneter, ada sinyal pelonggaran melalui penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia 25 basis poin selama dua bulan berturut-turut. Kini, suku bunga acuan BI 7 persen dan masih punya ruang diturunkan bulan mendatang. Sinyal itu tampak dari penurunan giro wajib minimum (GWM) 1 persen menjadi 6,5 persen.

Pengondisian sektor perbankan untuk lebih ekspansif ditopang target pemerintah menurunkan suku bunga kredit di bawah 10 persen. Kendati niat memacu kredit melalui penurunan bunga begitu besar, tetap harus memperhitungkan mekanisme pasar. Jangan sampai ada gejolak di tempat lain, khususnya di pasar keuangan.

Dalam upaya mendorong perekonomian domestik, pemerintah juga telah menyelesaikan 10 paket kebijakan yang disebut sebagai ”big bang” reformasi perekonomian.

Tahap berikutnya adalah menjaga kesehatan fiskal dari berbagai risiko, khususnya sisi penerimaan. Pertama, target penerimaan pajak 2016 sebesar Rp 1.368 triliun rasanya sulit tercapai. Pada 2015, penerimaan pajak hanya mampu Rp 1.055 triliun atau Rp 239 triliun lebih rendah dari target.

Kedua, asumsi harga minyak pada APBN 2016 sebesar 50 dollar AS per barrel terasa tak relevan sehingga perlu direvisi menjadi 30-40 dollar AS per barrel. Asumsi harga minyak sangat penting untuk mengalkulasi ketahanan fiskal kita. Penurunan harga komoditas merupakan indikator dini bagi prospek perekonomian di masa depan.

Jika pada sisi penerimaan terjadi pelambatan, situasi sebaliknya terjadi pada sisi pengeluaran. Pada akhir Januari ini, penyerapan APBN mencapai 8 persen atau Rp 167 triliun. Sementara pada periode yang sama tahun lalu sekitar Rp 106 triliun. Indikasinya, penyerapan anggaran tahun ini lebih baik. Tentu sebuah perkembangan positif, kecuali sisi penerimaan terlalu banyak turun, sehingga APBN tak lagi mampu menopang ekspansi perekonomian.

Seperti kita ketahui, pemerintah memprioritaskan pembangunan proyek infrastruktur melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggaran cukup besar, Rp 104 triliun. Dengan komitmen pemerintah yang cukup besar ini, diharapkan investasi swasta di sektor infrastruktur juga meningkat.

Menghadapi situasi ini, kebijakan fiskal perlu dikonsolidasikan. Pertama, pengeluaran rutin dan operasional perlu dipangkas, sedangkan alokasi pembangunan dan proyek infrastruktur wajib dipertahankan. Kedua, meminta pemerintah daerah mengurangi dana menganggur sehingga terjadi ekspansi di daerah.

Intinya, pemerintah harus memastikan kebijakan fiskal terus ekspansif dalam mendorong pembangunan ekonomi guna memastikan semakin banyak penciptaan lapangan kerja. Dalam situasi stagnasi global semacam ini, ekspor dan investasi sektor swasta agak sulit diharapkan.

Pemerintah harus ambil bagian lebih besar dalam perekonomian melalui kebijakan fiskal. Tujuan utama kebijakan fiskal, yakni menciptakan lapangan kerja, harus tetap dijalankan. Sebab, selain berfungsi mendorong pertumbuhan, kebijakan fiskal juga berfungsi meratakan perekonomian. Tanpa peran pemerintah yang lebih besar, terutama pemerintah daerah, pemerataan ekonomi tak akan pernah tercapai.

Jika efisiensi sudah maksimal, memperbesar defisit merupakan pilihan kebijakan. Saat ini ada pembatasan undang-undang, defisit tak boleh melewati 3 persen. Angka ini diambil dari referensi yang disepakati dalam Maastricht Treaty sebagai basis pembentuk Uni Eropa. Padahal, hampir semua negara Eropa dan negara maju lain sudah tak menggunakan lagi batas defisit fiskal.

Secara politis, memperbesar defisit di atas 3 persen akan sulit. Adapun secara ekonomis, langkah ini tak bisa dipertanggungjawabkan apabila efisiensi fiskal masih rendah. Kendati ada banyak cara menjaga momentum fiskal, efisiensi merupakan prioritas kebijakan kita saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar