Kamis, 18 Februari 2016

Paradoks pada Industri Pertahanan

Paradoks pada Industri Pertahanan

Evan A Laksmana  ;  Peneliti CSIS, Jakarta
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada Januari 2016 industri pertahanan nasional seperti mendapat angin segar. Dalam kunjungan ke PT Pindad, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan kembali komitmen politik pemerintah memperkuat-dan mendukung pembelian produk-industri dalam negeri.

Berikutnya, Markas Besar TNI menandatangani 389 kontrak pengadaan barang dan jasa militer (meliputi tiga angkatan) serentak senilai Rp 5,9  triliun. Masih di bulan sama, Kementerian BUMN mengumumkan target konsolidasi beberapa BUMN pertahanan, antara lain PT LEN, PT DI, dan PT Pindad ke dalam satu perseroan induk yang diharap berdiri akhir tahun ini.

Berbagai perkembangan ini patut dihargai sebagai upaya pemerintah menjalankan mandat UU Nomor 16 Tahun 2002 tentang Industri Pertahanan dan doktrin Nawacita. Namun, untuk menjaga kesehatan jangka panjang industri pertahanan, pemerintah perlu mengkaji setidaknya tiga paradoks kebijakan yang masih ujung pangkal berbagai masalah.

Pertama, paradoks antara kebutuhan konsumen utama produk industri pertahanan (dalam hal ini TNI) dengan sasaran atau harapan BUMN pertahanan. Di satu sisi, terlepas dari komitmen institusional TNI turut memperkuat industri pertahanan, sejarah tuntutan operasi dan kegiatan keseharian militer sejak kemerdekaan lebih condong ke arah keamanan dalam negeri. Data berbagai publikasi Pusat Sejarah TNI mencatat bahwa dari 249 operasi ABRI/TNI (1945-2004), sekitar 67 persen dilaksanakan menghadapi musuh atau tantangan dalam negeri.

Masalahnya, operasi militer dalam negeri, seperti kontrainsurgensi atau pembinaan kewilayahan, lebih banyak menggunakan alat peralatan pertahanan dan keamanan (APPK) berteknologi sederhana atau menengah, seperti panser atau senjata ringan. Alat utama sistem persenjataan (AUSP) udara dan laut lebih banyak digunakan sebagai pendukung-bukan ujung tombak-berbagai operasi darat.

Di sisi lain industri pertahanan kita cenderung butuh permin- taan produksi APPK berteknologi tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya dan kapa- bilitas riset, menaikkan kapasitas produksi, dan mempertahankan daya saing di pasar regional dan global. Selain itu, sebagaimana diharap Presiden BJ Habibie dulu, produk berteknologi tinggi hasil industri strategis nasional berpotensi menjadi gerbong pengembangan teknologi nasional.

Tuntutan serius

Pengalaman Taiwan, Tiongkok, dan Jepang, seperti dibahas dalam The Information Revolution in Military Affairs in Asia (2004), menunjukkan bahwa kebangkitan industri strategis mengembangkan dan menguasai sistem APPK berteknologi tinggi (sekarang dikenal sebagai revolusi krida yudha) berangkat dari arahan dan tuntutan militer yang serius ingin menghadapi tantangan luar negeri.

Kedua, paradoks antara strategi penguatan BUMN pertahanan yang cenderung mengendarai gelombang teknonasionalisme (disokong penuh dan dimotori aktor negara) dan menguatnya gelombang teknoglobalisme kawasan (bergesernya pasar APPK global ke Indo-Pasifik dan dimotori aktor nirnegara, seperti Lockheed Martin).

Di satu sisi, teknonasionalisme ingin mencapai kemandirian teknologi militer penuh demi kemandirian strategis negara, keamanan nasional, dan peningkatan status global, seperti digambarkan Richard Samuels dalam Rich Nation, Strong Army (1994) untuk kasus industri pertahanan Jepang.

Masalahnya, menurut Richard Bitzinger dalam Defense Industries in Asia and the Technonationalist Impulse (2015), proses "meminjam" teknologi asing yang jadi titik tolak model teknonasionalisme dapat kebablasan jika tak ada strategi dan konsistensi komitmen melampaui tahapan mempelajari dan meniru dan beralih ke tahapan inovasi mandiri lokal berdasar kepemilikan penuh dan pengembangan berkelanjutan. 

Di sisi lain, strategi mencapai inovasi mandiri lokal cenderung bergantung kepada kemampuan pemerintah memetik keuntungan teknoglobalisme dengan memperkuat daya saing produk dan meningkatkan berbagai kerja sama dengan perusahaan militer regional dan global. Langkah ini penting mengingat status Indonesia sebagai negara produsen pertahanan tingkat dua: berada di antara negara papan atas yang berbasis inovasi teknologi dan kapasitas produksi ekspor tinggi dengan negara papan bawah yang hanya mengandalkan impor.

Sayangnya, UU 16/2012 dapat disalahartikan sebagai insentif struktural mempertahankan ketertutupan pengelolaan manajemen dan keuangan BUMN sebagai aset strategis negara dan meningkatkan "subsidi dan jaminan" pemerintah terkait pengadaan APPK. Padahal, sejauh mana kita dapat mengeksploitasi teknoglobalisme melalui dua langkah di atas tergantung pada tingkat transparansi, kepemilikan saham publik, dan profesionalisme manajemen BUMN.

Terakhir, paradoks antara peningkatan anggaran pertahanan berlipat ganda pasca Orde Baru dan menurunnya performa berbagai BUMN pertahanan, termasuk pailitnya PT DI tahun 2007. Meski banyak kalangan menyalahkan politik anggaran pertahanan yang selalu berkisar kurang 1 persen dari PDB, soal justru terletak pada strategi pengalokasian anggaran itu. Lebih dari satu dekade terakhir mayoritas pembelanjaan (60-70 persen) cenderung berada di sektor personel dengan sisanya dialokasikan kepada belanja AUSP.

Namun, dalam konteks kesinambungan industri pertahanan menuju tahap inovasi lokal mandiri, alokasi anggaran penelitian, pengembangan, pelatihan, dan evaluasi (RDT&E) lebih penting daripada sekadar pembelian AUSP; apalagi jika sebagian besar adalah kontrak dengan industri luar negeri. Sayangnya, menurut data IHS Jane's, dari 2012 hingga 2019, anggaran RDT&E militer Indonesia diperkirakan berkisar 1,4-2,3 persen dari total anggaran pertahanan (atau 1,7-8,9 persen dari anggaran pembelian AUSP). Seberapa besar porsi anggaran ini yang langsung mendukung pengembangan produk BUMN pertahanan masih pertanyaan.

Ketiga paradoks ini-sejarah operasi militer, teknonasionalisme, dan anggaran inovasi-menunjukkan pentingnya visi strategis yang mengintegrasikan sistem ekonomi dan riset pertahanan dengan sistem ekonomi dan riset nasional (sipil dan komersial). Dalam hal ini, pemerintah perlu memperkuat wewenang politik Komite Kebijakan Industri Pertahanan merumuskan strategi jangka panjang penguatan industri pertahanan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar