Rabu, 17 Februari 2016

Politik PDI-P Menyelamatkan KPK?

Politik PDI-P Menyelamatkan KPK?

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak perlu berpikir keras sambil mengerutkan kening untuk mengetahui motivasi utama para politisi dan unsur lain negara melakukan revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuan mereka hanya tunggal, memperlemah KPK. Mereka menganggap KPK tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga membuat mereka miris karena sepak terjang KPK telah memenjarakan puluhan tokoh politik tanpa pandang bulu.

Kegigihan sejumlah tokoh parpol di DPR membuat mandul KPK setidak-tidaknya dapat dirunut mulai 2011. Gagasan tersebut dilakukan dengan mengubah pasal-pasal UU KPK yang intinya ingin melumpuhkan kedigdayaan KPK. Namun, setiap kali politisi DPR mengusulkan revisi UU KPK selalu mendapatkan perlawanan ekstra keras dari masyarakat. Sejauh ini setidak-tidaknya sudah tiga kali kalangan DPR mencoba melawan kehendak rakyat dengan menyiapkan naskah revisi UU KPK yang menelikung lembaga anti rasuah tersebut.

Manuver politik paling akhir adalah revisi UU KPK diusulkan oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi dengan komposisi: 15 orang Fraksi PDI-P, 11 orang Fraksi Partai Nasdem, 9 orang Fraksi Partai Golkar, 5 orang Fraksi PPP, 3 orang Fraksi Partai Hanura, dan 2 orang Fraksi PKB. Sejauh pemantau- an publik, substansi revisi sangat memati- kan. Ketentuan-ketentuan yang diusulkan membuat kiprah KPK menjadi lembaga ampuh pemberantas korupsi dihapuskan.

Misalnya, memangkas kewenangan penuntutan, memberikan kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan, mere- duksi kewenangan penyadapan, membatasi proses perekrutan penyelidik dan penyidik secara mandiri yang akan mengakibatkan KPK bergantung pada lembaga penegak hukum lain. Bahkan, salah satu gagasan yang melawan kewarasan publik adalah rencana pembubaran KPK 12 tahun mendatang.

Pemetaan politik di DPR menunjukkan hanya Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera yang cukup tegas menolak revisi UU KPK. Sementara itu, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional baru menunjukkan tanda-tanda yang memberikan isyarat menolak revisi UU KPK. Di antara parpol yang mengusulkan revisi dan kader-kadernya bersuara lantang adalah PDI-P. Namun, sementara kalangan, meskipun amat terbatas, meragukan apakah PDI-P benar- benar ingin melemahkan KPK atau justru PDI-P sedang memainkan peranan yang cantik dan lihai untuk menyelamatkan KPK.

Perspektif tersebut tidak mustahil karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, Megawati Soekarnoputri menjadi presiden mulai 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004. Artinya, UU No 30/2002 tentang KPK, yang menjadi senjata ampuh untuk memberantas korupsi, lahir dari rahim pemerintahan perempuan presiden pertama di Indonesia. Kedua, sikap PDI-P konsisten 10 tahun di luar kekuasaan menjadi salah satu pilar pendukung KPK.

Ketiga, sekitar Juli 2012, PDI-P pernah menolak revisi UU KPK. Saat voting di Komisi III, PDI-P dikeroyok tujuh fraksi di DPR yang menyetujui revisi UU KPK. Mereka adalah Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Karena itu, mustahil, bahkan terasa anakronik, menyimpang atau melawan sejarah kalau PDI-P dianggap sebagai pelopor revisi UU KPK yang berakibat pelemahan KPK. Keempat, dinamika hubungan yang semakin akrab antara Joko Widodo dan Megawati. Tidak mungkin PDI-P tidak tahu sikap Jokowi yang gigih melawan korupsi. Perjuangan habis-habisan melawan korupsi juga merupakan salah satu tema sentral kampanye Pilpres 2014. Jadi, mustahil PDI-P melakukan langkah yang akan mematikan dirinya sendiri.

Berdasarkan pencermatan tersebut, bukan tanpa alasan kalau PDI-P sedang melakukan sebuah gebrakan yang akan menghasilkan dua kemenangan sekaligus, menyelamatkan KPK serta merebut simpati publik. Penalarannya adalah sebagai berikut. PDI-P sengaja mengusulkan revisi UU KPK yang secara kasatmata mudah dibaca sebagai pelemahan KPK dengan tujuan agar Presiden melakukan koreksi atau menolak usulan tersebut. Langkah ini untuk memberikan bobot politik kepada Jokowi, sebagai presiden ia lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan partai pendukungnya.

Selain itu, di mata publik, PDI-P juga mendapatkan kredit poin masyarakat karena telah membuat Jokowi semakin presidensial serta mempunyai sensitivitas tinggi terhadap aspirasi publik. PDI-P juga akan mendapatkan simpati masyarakat karena merelakan usulan merevisi UU KPK ditolak Presiden. Namun, tak kalah penting, PDI-P memperlakukan Jokowi tidak sekadar "petugas partai", tetapi kader dan pejuang partai yang menjadi presiden.

Sebagai penutup perlu diberikan catatan, masyarakat tidak mendewakan KPK. Namun, dalam konteks politik kekinian, KPK adalah lembaga anti korupsi yang memberikan harapan publik terhadap terwujudnya pemerintahan yang efektif dan bersih. Karena itu, apabila pada saatnya diperlukan revisi UU KPK, sebaiknya dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta melibatkan secara aktif masyarakat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar