Senin, 22 Februari 2016

Populisme

Populisme

Budiarto Shambazy ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 20 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dua bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (Republik) dan Bernie Sanders (Demokrat), populer di mata publik karena branding sebagai tokoh yang anti kemapanan politik di Washington DC. Mereka memakai metode contrasting memisahkan diri dari capres-capres lain yang menyandang predikat dan beban sebagai "politisi mapan".

Cara ini cukup berhasil karena sebagian publik kecewa terhadap pemerintahan Presiden Barack Obama yang dianggap lemah dalam kepemimpinan global, menjalankan big government, membuat ekonomi terpuruk, dan seterusnya. Menurut survei Gallup, job approval Obama sepanjang Januari-Februari 2016 berkisar hanya 46 persen sampai 49 persen.

Kekecewaan itu dimanfaatkan dan juga dimanipulasi oleh Trump, miliarder yang tak memiliki latar belakang politik. Ironisnya, Republik justru mulai khawatir dengan slogan-slogan kampanye Trump yang populis, yang menyimpang dari konservatisme partai.

Sedangkan Sanders lebih dipandang sebagai politisi independen yang meminjam tiket dari Demokrat. Mirip seperti Trump, Sanders juga membuat partai agak panik karena dalam kampanye kerap tampil sebagai tokoh kiri, sosialis, dan progresif.

Sanders senator yang pernah menjadi wali kota, sementara Trump belum pernah menjadi pejabat publik. Trump dan Sanders membangkitkan animo publik memilih presiden yang populis dibandingkan calon-calon yang "dia-dia lagi" seperti Jeb Bush yang adalah adik George HW Bush, atau Hillary Clinton.

Populisme lebih kurang bermakna berpihak kepada kepentingan publik, bukan elite politik atau pemerintah. Itulah yang diperlihatkan Trump yang memenangi pemilihan awal di New Hampshire atau Sanders yang "bermain imbang" melawan Clinton di Kaukus Iowa.

Trump berjanji akan mengusir imigran gelap asal Meksiko sekaligus membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko. Sebagai seorang sosialis, Sanders bertekad menggelontorkan dana gratis, seperti untuk jaminan kesehatan dan uang kuliah untuk rakyat tidak mampu.

Sanders bangga dengan dana kampanye yang berasal dari urunan pendukung yang mencapai 27 dollar AS per orang, sementara Trump merogoh koceknya sendiri untuk dana kampanye. Trump mengancam akan membuat takluk Tiongkok dan Jepang dalam persaingan ekonomi global, Sanders mengutip Swedia sebagai "negara kesejahteraan" yang layak ditiru.

Kampanye "politik eceran" (retail politics) yang pro rakyat, terinci, dan radikal inilah yang rupanya mulai diminati publik. Bukan soal siapa yang akan memenangi Pilpres AS, tetapi populisme menjadi gejala menarik dalam kampanye kali ini.

Kita sendiri sedikit banyak telah menyaksikan kelahiran populisme ketika Jokowi memenangi Pilpres 2014. Ternyata kampanye blusukan langsung ke kantong-kantong persoalan di kalangan rakyat lebih diminati publik ketimbang mewacanakan tentang ideologi, NKRI, dan hal-hal yang berbau "empat pilar".

Seperti Trump di Washington DC, Jokowi seorang outsider yang kurang dikenal elite Jakarta. Untuk kasus kita di Indonesia, magnet Jokowi telah memicu kebangkitan pemimpin-pemimpin baru dari daerah yang bakal mengguncang panggung nasional seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Dan, suka atau tidak, publik kita mulai gemar kepada pemimpin-pemimpin baru yang kurang terafiliasi dengan partai. Mulai tampak gejala "deparpolisasi alamiah" akibat akumulasi kekecewaan publik terhadap partai yang dianggap "begitu-begitu saja".

Dengan kata lain, para pemimpin baru dan publik akan menjauh dari partai. Dan, sesungguhnya ini bukanlah sesuatu yang baru terjadi pada era Reformasi ini.

Pada dekade 1950, bahkan seorang Presiden Soekarno menegaskan akan "mengubur hidup-hidup" partai. Pada awal Orde Baru, sebagian dari jenderal-jenderal pendukung Presiden Soeharto sempat mewacanakan sistem dwipartai untuk membatasi peranan partai.

Dan, kita tahu Presiden Soeharto akhirnya "membonsai partai" lewat fusi pada awal 1970-an dengan mengurangi jumlah partai menjadi Golkar, PDI, dan PPP. Mungkin era Jokowi ini bisa menjadi penanda terulangnya sejarah kedengkian publik terhadap partai?

Kini tinggal partai-partai sendiri yang berhak menentukan masa depan mereka. Dalam kenyataannya dua partai yang berdiri sejak Orde Baru, yaitu Golkar dan PPP, masih dirundung perpecahan yang belum selesai.

Sedangkan partai terbesar pendukung duet Jokowi, PDI-P, terkadang malah kelihatan beroposisi terhadap pemerintahan. Pada kubu lain, keberadaan Koalisi Merah Putih (KMP) semakin mengundang tanda tanya setelah partai anggotanya satu per satu secara bergiliran menyatakan dukungan terhadap pemerintah.

Sekadar mengingatkan, popularitas Jokowi menurut survei harian ini mencapai sekitar 84 persen. Semoga saja ini bukan petunjuk arah bagi partai-partai bahwa mereka menuju ke jurang yang curam dan dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar